"Hidup ini ibarat permainan. kalau kau lemah, maka bersiaplah untuk kalah."
Untuk mencapai kesuksesan tidak semudah membalikan telapak tangan. Butuh perjuangan dan pengorbanan. Seperti halnya Reyhan. Dia pernah ada di titik terendah, memulai usahanya dari nol lagi setelah ditipu rekan bisnisnya, bahkan wanita yang sangat ia cinta juga meninggalkannya saat dia terpuruk.
Saat itu Reyhan mengerti satu hal, uang memang paling berkuasa. Dia berpikir keras bagaimana caranya untuk bangkit hingga akhirnya bisa sampai di titik ini.
Reyhan menyandarkan punggung di kursi kebesarannya. Menatap tajam penuh kebencian pada sosok wanita di cover sampul majalah, setelah itu dia melemparnya ke tempat sampah yang aja di pojok, namun tidak tepat sasaran. Tempat sampah jatuh Karna tidak kuat menahan beban.
Reyhan tersenyum sinis saat membaca caption di majalah. 'Fokus merintis karir, Mariana anggelia mengaku belum pernah pacaran' Perempuan munafik!
Reyhan menarik nafas, menetralkan emosi ketika mendengar ketukan pintu, Bima yang datang, membawa selembar map berwarna biru.
"Kenapa, Bos. Pagi-pagi tuh muka udah suram aja." Bima berdiri di samping Reyhan, menaruh map di depannya. "Gue butuh tanda tangan lo di sini." ujar Bima menunjuk sisi kiri bawah dokumen.
Rey melirik tempat sampah, lalu mengamati isi dokumen sebelum dia tanda tangani. Bima mengerti sumber masalahnya sekarang, ketika dia tidak sengaja melihat majalah di lantai.
Dia tidak ingin membahas itu lebih jauh. Tidak semua hal harus di bicarakan. Terkadang ada hal yang harus dibiarkan membusuk dalam ingatan saja.
"Jadi, siapa wanita itu?" Bima menghempaskan tubuh ke kursi di hadapan Reyhan, tangannya melipat di dada. "Bener, dia hamil?"
Bos nya ini memang playboy, sering gonta-ganti wanita, tapi kalau untuk sexs bebas, sepertinya tidak. Sahabatnya tidak se_bajingan itu. Dia baik, dia hanya pernah terluka. Bima sahabat sekaligus sekretaris Reyhan. mereka saling mengenal sejak di bangku kuliah. Sedikit banyak dia tahu perjalanan hidupnya.
"Lu percaya sama omong kosong gadis kecil itu? Lagian dari mana lu nemu gadis penggosip seperti dia?" Reyhan menyodorkan map yang sudah dia tanda tangani.
"Dia Naura. Temannya adek gue, Vita. Anaknya memang gitu, kalau ngomong suka asal jeplak aja. Tapi anaknya baik."
**
"Kalau gue berhenti kerja, gimana, ya?" gumam Naura. melempar baju kedalam loker, lalu menutupnya. Hari ini dia nampak lesu, tidak bersemangat. Biasanya dia yang paling berisik diantara para pegawai lain. Kerjadian tadi malam terus mengusik pikirannya. Mengingat kejadian memalukan itu, membuat perutnya mual. Rasanya dia ingin sembunyi saja dilubang semut.
"Kenapa, Ra?" Indah mendekati Naura yang kini duduk di bangku. "Lo ada masalah atau ada yang jahatin lo di sini? Ayo, cerita ke gue!"
"Gak ada yang jahatin gue, tapi ..." Naura menjerit prustasi. Membuat Indah semakin penasaran.
Menarik nafas panjang sebelum keluar dari ruang loker, berdo'a saja semoga hari ini orang itu tidak datang ke cafe.
Semakin siang pengunjung cafe semakin ramai. wajar saja, suasana cafe yang elegan, dengan taman bunga di beberapa spot membuat orang betah lama-lama berada di sana.
Sepanjang hari Naura tidak fokus bekerja, seperti buronan yang sembunyi dari kejaran polisi, selalu melihat ke arah pintu. Mau ditaruh di mana mukanya kalau bertemu Reyhan. Dua atau tiga kali seminggu dia datang kesana, hanya untuk sekedar minum coffe atau bertemu orang, dan bodohnya Naura tidak sadar kalau lelaki yang bersama Bima itu adalah Reyhan.
Naura menarilk nafas lega, sebentar lagi jam pulang, dia tidak akan bertemu Reyhan. Untuk hari ini Naura selamat.
Ketika selesai membersihkan meja, seorang pengunjung yang baru datang memanggil Naura untuk memesan minuman. Dia berada di meja sebelah.
Ketika menoleh, dia melihat wanita yang memanggilnya itu tidak sendiri, melainkan bersama lelaki yang ia hindari.
Astaga, baru saja kemarin dia membuat insiden di sini, dan sekarang dia datang dengan wanita yang berbeda.
Untuk beberapa saat Naura terpaku. lalu memutar tubuh membelakangi mereka. Apa yang harus ia lakukan? Kalau pergi begitu saja pasti akan langsung mendapat teguran dari managernya. Ah, kenapa dia datang di saat yang tidak tepat. Saat ini pria paruh baya itu berdiri di dekat kasir, sambil mengawasi keadaan sekitar, padahal biasanya dia selalu menghabiskan waktu di ruangannya.
Perempuan itu kembali memanggil Naura, dia nampak kesal karna diabaikan.
"Pelayan! Gue manggil lu dari tadi! Dengar gak, sih?"
"Udahlah, Sil. Jangan bikin masalah," sambar Reyhan.
"Siapa yang bikin masalah, Sayang. Aku manggil dia buat pesen minuman. tapi dia cuekin kita. Cafe apaan ini, pelayanannya gak memuaskan sama sekali."
"Sisil!" Reyhan membentak. "Kamu gak lihat, dia lagi beresin meja! Kamu sabar, dong."
"Iya. Mba. Maaf. Mba mau pesan apa aja?" Dengan terpaksa Naura mendekat, sebelum nantinya pertengkaran mereka semakin berkepanjangan. Di depan kasir, managernya juga mulai memperhatikan.
Entah kemana perginya perasaan takut itu, lebih tepatnya rasa malu. Reyhan pun bersikap tenang saat melihat Naura. Mungkin kepalanya terbentur sesuatu, hingga dia lupa kejadian memalukan itu.
"Sayang, coba deh liat ini. Bagus, ya." Wanita yang bernama Sisil itu menunjukan gambar tas di hpnya. "Ini murah kok, cuma 20 juta. Beliin ya."
Setelah lima belas menit, Naura kembali menghampiri meja, menaruh minuman dan desert di sana. Dia mendengar percakapan mereka.
Melirik hp, lalu mengalihkan pandangan ke Naura. "Iya. Nanti aku minta Bima buat nemenin kamu." jawab Reyhan tenang.
"Kok Bima, sih! Aku mau nya ditemenin kamu. Aku mau jalan bareng sama kamu, Sayang."
"Aku sibuk, Sil."
Tatapan Reyhan seolah meng-intimidasinya, merasa tidak nyaman. Naura ingin cepat-cepat pergi dari sana. Ketika meninggalkan mereka Naura bergumam. "Matre banget, sih. Ceweknya. Untung lakinya kaya."
"Heh, apa maksud, Lo?" seru Sisil. Sepertinya dia mendengar apa yang Naura ucapkan. Marah, Sisil berjalan mendatangi Naura.
Naura menoleh. "Ada apa lagi, Mba?"
"Lo bilang apa barusan?" Sisil mendorong dada Naura.
Sejenak berpikir, lalu Naura berkata, "Aku ga bilang apa-apa."
"Sayang, kamu dengar sendiri, kan. Pelayan kurang ajar ini ngomong apa?" adu Sisil, minta pembelaan. Reyhan hanya mengangguk, dia tetap stay di kursi. Sepertinya ini menarik. Dia ingin melihat apa yang akan dilakukan gadis kecil itu selanjutnya. Sebenarnya dia sudah bosan dengan Sisil. Reyhan tidak perduli padanya. Entah kenapa dia lebih tertarik pada Naura.
"Naura, ada apa ini?" Tiba-tiba Dodi, manager cafe datang.
"Gak ada apa-apa, kok. Pak. Cuma kesalah pahaman aja."
"Jadi anda managernya. Pelayanan macam apa ini! Dia sudah menghina saya. Apa ini yang kalian ajarkan dalam melayani tamu?!"
"Maaf atas ketidak nyamanannya, Mba." Dodi terus menunduk beberapa kali, dan memohon maaf seperti orang ketakutan, peluh mulai bercucuran. Bahkan dia tidak berani menatap Sisil ataupun Reyhan.
"Saya tidak mau tau. Pecat dia sekarang juga, atau ... nama baik cafe ini akan hancur!"
Naura terbelalak, bagaimana nasibnya nanti kalau sampai dia kehilangan pekerjaan. Mencari pekerjaan di kota tidak mudah belum lagi biaya hidup yang semakin menyekik.
"Sil, gak perlu sampai seperti itu. Udahlah, Jangan cari gara-gara."
"Nggak, Sayang. Dia harus diberi pelajaran biar dia gak ngulangin lagi." Reyhan diam. Apa yang dibilang Sisil benar. Naura harus belajar mengendalikan dirinya, terutama dalam hal berbicara.
"Saya minta maaf, Mba. Saya janji gak akan ngulangin lagi, tapi jangan minta Pak Dodi buat mecat saya, Mba," sesal Naura. Pepatah mengatakan mulutmu harimaumu, ini bukan pertama kalinya Naura terkena masalah gara-gara ucapan dia yang tidak mengenal situasi.
"I-iya, Mba. saya akan pecat Naura sekarang juga."
"Tapi, Pak. Saya gak sepenuhnya salah, kok." Naura mencoba membela diri. "Kasih saya satu kesempatan, saya janji gak akan mengulanginya lagi."
Naura. Saya sudah perhatikan kamu dari tadi. Dan kamu memang salah. Kamu tahu, kan. Saya paling tidak suka jika karyawan saya membuat masalah. Jadi silahkan angkat kaki dari sini sekarang juga.
Rehan masih tidak bergeming. Menurutnya Naura memang salah. Dia bisa saja meminta Dodi untuk tidak memecat Naura, tapi dia pikir untuk beberapa waktu biarkan Naura merenungi kesalahannya.
Naura pergi dengan kesal. Masuk keruang loker untuk ga nti baju. Perasaannya begitu kacau. Dia benci wanita itu, Pak Dodi bahkan tidak memberinya kesempatan, dan Reyhan, dia acuh, seolah tengah menonton drama.
Naura keluar dari ruang staf, hampir semua teman kerja menatapnya. Rasanya seolah sedang dilucuti didepan umum. Amarahnya kembali berkobar ketika melihat Sisil dan Reyhan masih ada di sana.
Ketika Naura melewati meja mereka untuk menuju keluar cafe, dengan sengaja tangannya menyenggol minuman yang ada di pinggir meja, sehingga jatuh dan mengenai baju Sisil.
Sontak dia kaget dan mengumpat.
Naura berhenti, lalu menegok kebelakang. Ups, sory. Gak sengaja."