Seorang pria muda memakai setelan hitam, mendatangi sebuah rumah. Dua pria berbadan kekar mengikuti dari belakang. Di teras ada beberapa anak perempuan bermain boneka, beberapa anak lain berlarian di halaman yang cukup luas. Di sisi kanan terdapat bangku yang ada di bawah pohon yang cukup rindang.
Lelaki itu mencari Ratih. Ibu pemilik panti asuhan. Beberapa menit menunggu, Ratih pun datang. Dia membawa lelaki itu ke ruang tengah. Berjaga-jaga, takutnya ada salah satu anak yang mendengar pembicaraan mereka.
Tujuan lelaki itu masih sama, dia meminta Ratih beserta anak-anak untuk meninggalkan tempat itu.
Lelaki itu dari perusahaan kontraktor. Sudah beberapa kali dia mendatangi panti, namun selalu mendapat penolakan. Semua orang yang tinggal di sekitar sana sudah setuju dengan biaya konfensasi yang perusahaan berikan, dan sudah mulai pergi meninggalkan lokasi kecuali Ratih.
Sulit baginya untuk meninggalkan tempat itu. Panti asuhan itu sudah berdiri sejak puluhan tahun. Setelah ibunya meninggal, Ratih yang bertanggung jawab atas panti. Terlalu banyak kenangan yang tidak bisa tukar dengan apapun.
"Bu, perusahaan akan memberikan uang ganti rugi. Dengan uang itu ibu bisa mendapatkan tempat yang jauh lebih baik dari ini," bujuk lelaki itu. "Secara tidak langsung ibu sudah menghambat pekerjaan saya. kalau ibu tidak mau pergi, saya bisa di pecat dari pekerjaan. kalau sudah seperti itu bagaimana saya bisa menghidupi anak dan istri saya."
Ratih diam, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Ia merasa iba dengan apa yang dikatakan pria itu. Bagaimana jika ini menimpa salah satu anak-anaknya yang sudah mandiri bahkan berkeluarga. Ini bukan salahnya, dia hanya menuruti perintah dari atasan.
"Kasih saya waktu, saya harus berkemas dan mencari tempat tinggal baru untuk anak-anak," ucap Ratih pada akhirnya.
"Oke. Saya akan memberikan waktu," Lelaki itu tersenyum senang. "Tiga minggu." Dia menambahkan.
Ketika lelaki itu memberikan map yang berisi surat perjanjian untuk ditandatangani, Naura datang. Dia buru-buru masuk saat melihat dua lelaki kekar berdiri di depan pintu. Walau sebelumnya mereka mencoba menghadang Naura.
Dia langsung merebut kertas itu membuat Ratih kaget. "Apa ini, Bu!" Naura membaca kertas itu.
"I-itu ..." Ratih terbata, tidak bisa menjelaskan.
"Pembebasan lahan?!" Naura meninggikan suaranya, kaget. "Aku gak setuju, Bu. Jangan tandatangani ini!"
"Siapa kamu! Beraninya ikut campur masalah kami!" Lelaki itu nampak kesal. Padahal tinggal sedikit lagi dia berhasil mendapatkan tandatangan Ratih.
"Oh, jadi anda biang keroknya! Pergi dari sini!" usir Naura. Tangannya menunjuk ke pintu. "Dan ingat satu hal, kita tidak akan pindah dari sini! Sampai kapanpun," ucapnya penuh penekanan.
Mendengar kegaduhan yang ada di dalam, salah satu bodyguard masuk, Lelaki itu mengangguk padanya.
Pria berbadan kekar itu menyeret Naura untuk keluar dari sana, namun Naura berontak.
Ratih memohon untuk membebaskan Naura. "Tolong jangan sakiti Naura. Dia salah satu anak saya."
Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan. "Oke. saya tidak akan menyakitinya, tapi tanda tangani ini dulu, biar urusannya cepat selesai." Lelaki itu menyodorkan pena dan kertas perjanjian itu.
"Jangan, Bu!" Seketika Naura menggigit tangan pria itu membuat dia kesakitan. Reflex, dia mendorong Naura sehingga terdorong dan keningnya membentur tembok. Setengah sadar, Naura Buru-buru mengambil kertas itu lalu merobeknya.
Lelaki itu tersulut amarah, "Perempuan sialan!" dia melayangkan tangan untuk menampar Naura, Ratih menjerit. Namun Naura menahan lengan kekar itu dengan tangannya lalu mendorongnya. Beruntung saat SMA dia ikut ekstra kulikuler karate. Sehingga sedikit sedikit dia bisa bela diri.
Ratih mendekati Naura, berdiri di depannya untuk melindungi Naura dari lelaki itu. "Tolong jangan sakiti Naura, biar saya yang menjelaskan padanya." Ratih memohon.
Tempat itu adalah rumah Naura. Dia dan anak-anak kurang beruntung lainnya tumbuh di sana. Seseorang menaruh dia di teras rumah dua puluh satu tahun yang lalu. Jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam, dia berharap jika suatu hari ada orang tua yang mencarinya ketempat itu. Mungkin itu juga harapan dari anak yang senasib dengan dirinya.
Walau harapan itu cuma setitik.
Ratih menuntun Naura agar duduk di sebelahnya. mengusap punggung tangan naura. "Ra, semua orang yang ada di sekitar kita sudah pindah ke tempat baru," terang Ratih. "Mau tidak mau kita juga harus pindah."
"Ini tanah kita, Bu. Kita punya sertifikatnya. Almarhum Bu Dewi pernah berpesan, kalau kita tidak boleh meninggalkan tempat ini. Ibu tau, kan?"
"Iya, ibu tau, tapi ..." Seketika kesedihan menyelimuti Ratih.
Naura menatap lelaki itu sinis. lalu berkata, "Mungkin anda sudah berhasil menipu warga sekitar, tapi tidak untuk kami!"
"Apa maksudmu!"
Naura berdiri dan mengambil sobekan kertas di lantai. "Harga yang kalian berikan terlalu rendah. Harganya setengah dari harga pasaran di sini. kalian mau membodohi kami?" seru Naura. "Atau jangan-jangan ...."
Lelaki itu menyambar ucapan Naura. Keringat dingin mulai bercucuran. "Kamu pikir saya memalsukan dokumen itu?!"
"Saya gak bilang gitu."
**
Menghembuskan nafas, lelah. Jam sembilan malam Naura baru pulang. Hari ini cukup melelahkan. Untungnya setelah diancam melaporkan tindak kekerasan lelaki itu pada pihak berwajib, lelaki dan dua bodyguardnya itu pergi. Dilengannya masih terlihat memar bekas cengkraman lelaki itu, begitupun di keningnya.
Ketika hendak membuka pintu, Naura menemukan paperbag tergeletak di sana. Penasaran, dia mengambil dan membukanya. Isinya sebuah kotak.
Dia menengok ke kanan dan kiri, mencari siapa pemilik paperbag itu, tapi tidak ada orang di sana. Naura mengeluarkan kotak itu, dan isinya ternyata ponsel keluaran terbaru.
Ini punya siapa? batinnya. Dia membolak balik paperbag warna coklat itu, mungkin di sana ada nama pemiliknya. tapi nihil.
Ketika Naura ingin memasukan kotak ponsel itu ke tempatnya, dia menemukan kertas kecil, di sana tertulis 'Untuk Naura'
Semakin bingung, siapa yang mengirimkan ini. Yang tahu dia tidak punya hp cuma Indah. dan dia tidak mungkin memberikan barang semahal ini untuknya.
Perekonomian Indah hampir sama dengannya. Dia hanya anak rantau yang mengadu nasib dikota besar.
Ketika hendak menutup pintu, Naura melihat mobil yang tidak asing berada tidak jauh dari tempatnya.
Sepertinya dia tahu itu mobil siapa. Tidak mau menduga-duga, Naura berjalan menuju mobil yang terparkir itu, tapi belum sempat Naura mendekat mobil itu sudah berlalu.
"Reyhan?"
Masuk kedalam rumah, Naura menyimpan paperbag itu di atas nakas, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Naura berbaring di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamar. Pikirannya di penuhi banyak hal. Memikirkan nasib panti, orang itu pasti tidak akan tinggal diam, dia akan terus meneror mereka. Belum lagi tentang dirinya sendiri yang sampai sekarang masih jadi pengangguran. Sepertinya mulai besok dia harus mulai membuat surat lamaran pekerjaan, yang banyak!
Ketika memiringkan badan menghadap kanan, dia melihat bungkusan coklat itu. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa Reyhan memberikannya itu. Apa dia pikir dengan memberikan Naura barang mahal, semua masalahnya akan selesai saat ini juga? Kenapa sejak dia bertemu Reyhan masalah datang bertubi-tubi padanya.