Chereads / KERATON, SARANG SERIGALA / Chapter 4 - Part 1: Kota Pemimpi; Berawalnya Menjadi Master of The Universe

Chapter 4 - Part 1: Kota Pemimpi; Berawalnya Menjadi Master of The Universe

BINGUNG. Kawan, pernahkah kalian menghadapi situasi dimana semuanya serba dilemma? Dimana keadaan menghempit dan serba membingungkan. Tidak mudah! Tidak mudah! Namun Dina harus membuat keputusan. Karna waktu mengejarnya, dan dia sudah tiba di Yogyakarta. Tidak mungkin dia pulang ke Makassar tanpa membawa sebuah hasil. Karna itu hanya akan memalukan dirinya. Jadi Dina memutuskan, untuk mengambil Psikotes di pagi hari itu.

''Do it or never!'' Ujarnya dengan begitu tegas ketika Dina mencerminkan dirinya.

Dina memesan maxim. Karna menggunakan maxim jauh lebih murah daripada menggunakan gojek dan grab. Disebabkan Maxim masih baru. Jarak kantor dan kosan Dina lumayan jauh. Kalau menggunakan ojek online memperlukan sepuluh menit perjalanan. Dina sudah melihat dari google maps, jika dia berjalan kaki dari kosannya ke kantor akan mengambil masa sekitar tiga puluh menit. Transportasi di Yogyakarta tidak susah, semuanya serba gampang, ada bis TransJogja, kereta dan sebagainya. Namun, karna Dina belum begitu mengenali Kawasan Yogyakarta, dia sudah salah pilih untuk menyewa kosan yang harus masuk ke gang kecil dan agak jauh dari jalan raya. Karna biaya perbulan di kosan Dina jauh lebih murah daripada lainnya. Salah satu keburukan hidup di Jogja sebagai anak perantau, biaya kosan mahal berbanding kota seperti Semarang. Mungkin karna Yogyakarta dikenali sebagi pusatnya kota pelajar di pulau jawa.

Maklum lah, kosan disini kebanyakan bukan kosan esklusif yang semuannya sudah tersedia, kamar mandi didalam menggunakan AC, tempatnya juga agak jauh dari jalan raya harus melewati gang kecil plosokan makanya sewa perbulanannya murah. Dina masih untung, di Kawasan ini dia masih bisa mendapatkan kosan yang murah dan ekslusif walaupun kamar mandi di luar. Apalagi tempat seperti di Yogyakarta, untuk mendapatkan kosan yang murah dan semua sudah tersedia dengan harga perbulanan RP400000 ribu itu begitu sulit. Memang tempatnya harus masuk gang kecil dan terpencil. Kalau mau berjalan ke jalan raya aja harus melalui selokan yang kotor dan bersampah. Terkadang jika berjalan, sudah begitu terbiasa bagi pejalan kaki gang tersebut akan bertemu dengan tikus mahupun kecoak yang berjalan di Kawasan itu. Jadi mereka hanya bisa pasrah dan bersahabat dengan keadaan, bertembung sap ajika melihat tikus mahupun kecoak berjalan. Kawasannya tidak bersih dan bagunan terlihat seperti bagunan tua. Pantas aja sewanya murah. Untuk mereka yang mengutamakan keselesaan pasti tidak mahu memilih untuk tinggal dikawasan seperti itu. Berbeda dengan Dina, yang semakin hari uangnya semakin menipis semenjak dia tinggal di Yogyakarta. Dina harus hidup berjimat cermat. Hari-harinya serbat ketar-ketir. Dina menjatah dirinya, untuk makan sehari sekali dan berhemat cermat sebisa mungkin. Karna Yogyakarta bukan seperti di kampungnya. Kehidupanmu masalah kau, kehidupanku masalah diriku. Berbeda dengan kehidupan dikampungnya, dimana banyak kerabat dan keluarga yang akan saling tolong menolong antara satu sama lain jika salah satu ahli keluarga ditimpa dengan kesusahan.

''Anjir kau Jogja!'' Dina memaki dengan frustrasi. Dia merasa semuanya serba ketidak pastian. Dia marah dengan keadaan. Tapi disaat yang sama, Dina ingin menguatkan dirinya untuk lebih bersabar demi bertahan. Tidak lama kemudian Dina mendapatkan notifikasi dari ponselnya bahwa maxim yang dipesannya sudah tiba di tempat penjemputan.

HP Dina berdering. ''Hallo.''

''Hallo mbak, ini saya dari maxim. Mbak sekarang posisinya dimana ya? Soalnya saya sudah sampai ditujuan seperti yang diarahkan google map nih mbah.''

Dina menoleh ke kanan dan kiri. Dina pun melihat seorang pengemudi motor berbaju kuning dengan tulisan Maxim di depan kos hijau yang letaknya tidak jauh dengan kosan Dina. ''Mas, saya sudah melihat mas tuh. Putar balik mas, saya di depan kosan ujung yang berwarna merah.''

Memang tidak terkalahkan dengan fasilitas di kota Metropolitan semua serba canggih dan user friendly. Yogyakarta juga semakin maju. Fasilitas semakin hari di kota ini semakin menyamai di kota metropolitan. Salah satunya ojek online dan taksi online. Dina tiba di perusahaan tepat waktu. Hatinya berdebar-debar. Kantor perusahaan terletak tidak di Kawasan baru, yang letaknya tidak jauh dengan jalan solo menuju arah bandara Adisutjipto. Dulu bandara lama itu rame, namun semenjak adanya bandara baru di Kulon Progo kebanyakan destinasi pesawat sudah tidak lagi mendarat di bandara lama karna pindah ke bandara baru. Namun bukan berarti bandara lama tidak digunakan lagi, masih digunakan. Contohnya destinasi menuju ke Syurabaya dan juga digunakan oleh pleatihan militer AU.

Yogyakarta Kota yang unik tersendiri daripada kota-kota lainnya. Jakarta terkenal untuk tempatnya para elite dan orang ber kapasitas, yang juga dikenali sebagai 'New York' nya Indonesia. Namun perlu diketahui juga, banyak terlahirnya mahasiswa yang berpotensi dari Yogyakarta. Karna kampus-kampus yang terkenal berada di kota ini. Sebelum masuk ke dalam perusahaan, Dina harus menyerahkan identitasnya di security check point. Setelah pak sekuriti mengkonfirmasi identitas Dina dengan list kandidat calon psikotest, pak sekuriti membenarkan Dina memasuki Gedung kantor yang itu.

Nasib baik Dina berpenampilan yang sesuai dengan keadaan. Dia memakai kemeja putih, rok pensil hitam dan high heels yang sesuai dengan penampilan bajunya. Dina menunggu lift untuk menuju ke lantai 3, dimana semua para calon yang akan mengambil psikotest telah diarahkan dengan bantuan mbak resepsionis.

Tepatnya di lantai 3. Dina tidak sendirian. Ternyata banyak juga yang akan mengikuti psikotest. Sekitar lima puluh dari mereka mungkin, atau lebih.

''Kamu juga mahu ikut test ya?'' tanya seorang perempuan berambut perang dan bermata sipit. Dina tidak mengenalinya.

Dina hanya bisa menawarkan sebuah senyuman kecil. Disini, dia tidak mengenali siapa-siapa. Instinct Dina mengatakan dia harus meluaskan relasinya di kota yang keras ini jika dia ingin bertahan. ''Iya. Kamu juga ya?''

''Iya, sama. Perkenalkan, nama ku Jessica. Nama kamu siapa?'' Perempuan yang berambut perang menghulurkan tangannya. Dina pun berjabat tangan dengan kenalan barunya yang Bernama Jessica itu.

''Aku Dina.'' Jawab Dina.

''Kamu asli mana?'' tidak heran, jika di dalam sebuah perkenalan aka nada pertanyaan seperti siapa nama kamu? Asal mana? Dan sebagainya.

''Aku asli Makassar. Kalau kamu?'' Dina pun mengikuti alur obrolan mereka.

''Aku asli Gunung Kidul. Ini pertama kali kamu ke Jakarta? Dan pertama kali juga buat kamu join perusahaan ini?''

''Iya, semua serba pertama kali bagiku.'' Ujar Dina.

''Goodluck! Kalau aku sebenarnya udah pernah kerja disini. Cuma sempet keluar dua tahun yang lalu. Bukan keluar sih, lebih kepada dibekukan. Tapi manager ku nyuruh aku tetap ikut psikotest.''

Dina tersipu kaget. Mendengar sekilas cerita tentang Jessica membuat Dina menjadi ingin tahu alasannya perempuan yang berambut perang itu keluar dari perusahaan itu, dan apa yang membuat dia Kembali pulang kerja ke kantor itu. Sebelumnya Dina pernah dengar, dan pernah membaca dari sosmed, banyak marketing dan konsultan di perusahaan disini keluar karna mereka tidak mendapat closingan dan tidak tahan dengan skema piramida perusahaan yang katanya begitu keras. Memang dari awal Dina sudah dikasih tahu, jika dia tidak ada closingan dia tidak akan dapat gaji mahupun komisi. Jadi tidak heran, di perusahaan ini banyak yang keluar masuk. Apakah ini juga yang menjadikan alasan Jessica keluar dari perusahaan ini? Tapi kalau iya mengapa dia ingin Kembali? ''Oh, kenapa kamu keluar?''

''Dulu aku belum begitu sedia menerima sistem di kantor ini. Makanya aku keluar dulu. Sekarang aku lebih sedia, makanya aku masuk lagi.'' Jawab Jessica. Jawaban itu tidak memuaskan rasa ingin tahu Dina.

''Maaf sebelumnya, boleh nggak aku nanya sesuatu?'' Dina meminta izin terdahulu kepada Jessica.

''Boleh. Kamu sama aku nyantai aja ya, aku orang nya open minded kok,''

Dina tersenyum kecil lagi. ''Apakah kamu keluar karna nggak dapat closingan?''

Jessica terdiam seketika sebelum menjawab pertanyaan Dina. Sebenarnya itu bukan pertanyaan yang sensitive. Tapi Namanya orang kita tidak tahu. Apalagi kita baru mengenal mereka. Jadi, lebih baik berjaga-jaga.

''Nggak juga sih. Malah aku udah punya dua closingan waktu itu. Cuma ada beberapa factor yang bikin aku keluar, personal.'' Dina tidak lagi menanyakan. Karna itu merupakan hak Jessica. Dan terus terang, Dina tidak ingin terlalu ikut campur urusan orang lain. Masalahnya Dina aja sudah bertubi-tubi. Di waktu yang sama, semua calon kandidat psikotest disuruh untuk masuk ruangan training.

Mereka berjalan melewati sebuah ruangan bermeja mahagoni labirin dan di atasnya ada telephone kantoran hitam mengarah ke jendela berkaca yang dari sana bisa dilihat sebuah pemandangan bangunan apartemen baru di Kawasan yang baru di bangun itu, karna kantor juga berdekatan dengan bandara Adisutjipto, maka ketika ada pesawat militer mahupun helicopter yang melalui udara Yogyakarta, dari kantor ini mereka bisa melihat pemandangan itu dengan jelas. Kantor ruangan itu terlihat begitu luas, mungkin seukuran lima puluh, tujuh puluh kaki. Tempat ruangan tersebut terlihat opresif, di isi dengan meja kantor, telephone, komputer dan berkas-berkas. Di dalam ruangan tersebut ada sekitar Dua puluh orang. Mereka semua memakai pakaian yang begitu kemas. Ada yang memakai jas, baju kemeja kantoran, namun ada juga yang memakai pakaian santai. Dina dengar, di kantor ini pakaiannya bebas, asalkan kita berpakaian yang kemas, pihak kantor tidak akan mempermasalahkan ini.

''Ini ruangannya team Yuliana. Semua yang disitu adalah anak buahnya Yuliana. Kalau yang pakai jas merah itu bukan anak buahnya Yuliana, dia merupakan salah satu kepala devisi di kantor ini. Kayaknya mereka sedang meeting routine.'' Jessica berbisik. Dari cara Jessica berbicara, kelihatan Jessica sudah mengenali orang-orang di dalam sebelumnya.

''Kamu dari teamnya mereka juga?'' Dina bertanya dengan nada yang begitu kecil.

''Nggak. Aku teamnya mami. Ruangan mami di M5, ruangan paling ujung itu.'' Jessica sambil menunjukkan jarinya kearah ruangan yang terletak di sudut kantor ini.

''Mami?''

''Iya mami. Aku panggil manager ku mami. Kita semua di kantor ini panggil manager ku dengan panggilan mami. Nanti kamu tau sendiri deh.''

Dina tidak mempertanyakannya lagi. Kemudian mereka melewati sebuah ruangan lagi yang interior design dan isinya tidak kalah jauh dengan ruangan team Yuliana seperti yang Jessica katakana. Bedanya, ruangan ini kelihatan lebih ramai. Ada yang sedang menelpon, ada yang sedang berdiskusi ada juga yang sedang bersenderan di tempat duduk mereka sambil membaca koran di pagi hari dengan jas mereka digantung di kerusi masing-masing. Berjalan sambil melewati situasi yang sedang terjadi di dalam kantor tersebut, Dina yang memakai kemeja putih murahannya itu bilang kepada dirinya bahwa suatu hari dia juga akan berjaya seperti mereka yang sudah mempunyai hiraki diatas.