SIKLUS, Yogyakarta. Dan siklus Yogyakarta yang begitu terkenal adalah, siklus kemacetan di perjalanan apalagi menjelang jam orang pulang kerja atau jam makan siang. Siapa bilang hanya Jakarta yang terkenal dengan kota kemacetan? Yogyakarta ini bagaimana dengan ceritanya! Aslinya, kota-kota di Indonesia itu sama saja, macet apalagi jam-jam tertentu. Karna Indonesia mempunyai penduduk yang begitu padat. Tidak asing lagi. Mengapa kemacetan? Pertanyaan yang hampir seluruh penghuni kota keratonan ini sering mempertanyakannya selain faktor penduduk yang padat. Dina baru saja lulus kuliah dari Makassar. Inilah pertama kali Dina merantau ke kota Yogyakarta. Mengapa memilih Yogyakarta dan tidak kota metropolitan Jakarta? Seperti orang lain, untuk mencari pekerjaan demi uang, karna Dina pernah mendengar bahwa kota keraton ini juga merupakan tempat gudangnya uang bagi mereka yang tahu pengelolahannya.
Bukan saja siklus Yogyakarta mahupun Jakarta yang kadang menyebalkan, namun siklus kehidupan dan kedewasaan yang terkadang menyesakkan dada. Kita dilahirkan di dunia, kemudian kita belajar untuk merangkak, setelah bisa merangkak kita belajar berjalan, kemudian kita disekolahkan dari TK hingga lulus kuliah, dan setelah lulus kuliah kita diekspektasikan untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan taraf kelulusan masing-masing. Gaji juga harus lumayan. Siklus kehidupan yang pahit namun harus diterima dengan nyata dan lapang dada. Andai saja dunia seindah dan semudah yang kita ekspektasikan dan bayangkan. Dengan adanya pandemi Covid-19, begitu susah untuk Dina mencari pekerjaan yang dia inginkan. Setelah mencari dan mengirimkan CV nya ke beberapa perusahaan namun di tolak oleh mereka, Dina telah memasang profil dan biodata tentang dirinya di applikasi LinkedIn untuk berusaha lagi mencari pekerjaan, sebuah aplikasi dimana kita bisa mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan untuk para job seekers. Dan bagi para job hunters, mereka akan mendapatkan informasi tentang calon job seekers. Jadi memang fungsi priority applikasi LinkedIn adalah untuk memudahkan komunikasi para professionals, job seekers, job hunters dan sebagainnya.
Dina merupakan anak kelulusan dari jurusan Akuntansi dan Finansial. Ekspektasi dan realitas kehidupan memang terkadang jauh berbeda. Katanya, jika seseorang berkelulusan S1 dari sebuah universitas terkenal dan merupakan sebuah universitas negeri, sangat begitu mudah bagi mereka untuk melamar pekerjaan dan mendapatkan gaji yang tinggi. Berapa banyaknya penolakan yang telah gadis itu terima. Dina sudah hampir putus asa. Dia sudah tidak tahu lagi, banyak lamaran yang telah Dina mencobanya dan mengalami tamparan penelokan. Jujur, itu sangat melelahkan. Satu tahun lamanya Dina menjadi pengangguran setelah lulus dari kuliahnya. Ketika Dina mencoba melamar lowowngan dan mendapat respon baik dari sebuah LinkedIn milik Raka Brian, seorang Senior Business Consultan disebuah perusahaan di Jakarta, Dina bermodal nekad dan terbang ke Jakarta dari Makassar demi mengubah nasib hidupnya itu. Dia tidak tahan lagi dengan pertanyaan kerabat dan keluarganya; udah lulus, sekarang kerja dimana? Gaji berapa? Kok nganggur?
Percaya atau tidak, ekspektasi itu melelahkan. Lelah. Rasanya, hanya satu kata itu yang bisa keluar dari bibir apalagi ketika ekspektasi sungguh berbeda dengan kehidupan realitas. Terkadang Dina berpikir, mungkinkah imbas modernisasi telah beitu dalam? Tapi apa mau di kata. Life goes on, walaupun apa yang terjadi.
''Aku udah all out. Semoga aja kali ini aku benar-benar diterima.'' Dina benar-benar berdoa, dan ucapannya bukan hanya sekedar kata. Namun kata-kata dari hatinya.
Tepat pada pukul satu dua puluh, Dina tiba di lokasi. Raka Brian ingin bertemu dengannya secara personal terdahulu sebelum Dina dipanggil untuk formal interview di kantor pusat. Dina akan bertemu dengan Raka disebuah restoran sushi yang berdekatan dengan Hilton. Memang iya, sebenarnya Dina agak takut. Bukan agak lagi, Dina takut. Bagaimana tidak? Dina benar-benar mengharap pekerjaan ini. Sudah jauh-jauh dia dating dari Makassar. Sebuah keputusan yang tidak mudah untuk diambil. Dina memasuki restoran Jepang yang mewah itu. Dina disapa dan dilayani dengan begitu baik oleh yang bekerja disitu. Sepertinya, pekerja di restoran ini harus belajar menggunakan Bahasa Jepang walaupun hanya sekedar perkataan 'arigato' atau 'Konichiwa'. Tapi logatnya masih menggunakan logat jawa. Jadi kalau dirumuskan Bahasa Jepang berlogat Jawa.
''Sudah reservasi kak?'' waitress yang berseragam baju hitam dan rapi itu bertanya.
Dari awal lagi, Dina sudah di kasih tahu oleh Raka Brian melalui text bahwa jika mau masuk ke restoran Jepang ini harus menggunakan reservasi.
''Sudah kak, atas nama Raka Brian.'' Dina juga tidak lupa menunjukkan nota booking table yang telah dikirim oleh Raka Brian. Karna jujur, inilah kali pertama Dina ketemu dengan Raka Brian.
''Meja nomor 24 ya,'' Si pelayan manis itu tersenyum dengan begitu ramah. ''Mari kak, saya hantar kakak ke meja kakak yang sudah di reserved.''
Dina pun menundukkan kepalanya dengan senyuman kecil sebagai tanda terimakasih. ''Terimakasih kak.''
''Sama-sama kak.''
Tanpa ditunda Dina berjalan menuju ke meja yang sudah di reservasi oleh si Raka dengan bantuan arah dari waitress restoran ini. Memang berbeda, restoran para si 'Elite' dengan restoran biasa. Dekornya saja terlihat beitu mewah. Bukan hanya dekornya, para pengunjungnya kelihatan orang yang berduit. Perempuan yang menggunakan Tas branded seperti Gucci, Louis Vuitton dan sekelasnya. Walaupun Dina tidak pernah memiliki brand tersebut, namun Dina adalah pencinta barang berbranded. Perempuan mana yang tidak suka barang mewah? Dina yakin, hampir semua perempuan bermimpi untuk memiliki brand-brand tersebut. Bedanya, Dina bukan berasal dari keluarga yang 'elite' atau 'konglomerat'. Jadi untuk membeli barang-barang mewah tersebut, Dina tidak mampu.
Takdir itu sudah ditentukan oleh yang maha kuasa. Memang. Seperti ajal, rezeki dan jodoh. Dina tidak pernah menyalahkan bahwa dia terlahir dari keluarga yang sederhana. Namun, salah satu cita-cita Dina yang begitu besar adalah, untuk menggubah nasib keluarganya dan melahirkan keluarga yang kaya. Jika seseorang hanya berserah dengan takdir tanpa usaha, bagaimana mereka dapat menggubah nasib?
Dina sering membaca buku Rich Dad Poor Dad. Dina ingin mempunyai pendapatan pasif. Masalahnya Dina tidak mempunyai modal awal. Jadi, Dina harus bekerja dengan orang lain terdahulu untuk mengumpulkan modal. Cita-citanya, menjadi Wanita pembisnis. Rich Dad Poor Dad, dalam bukunya Robert T.Kiyosaki menggambarkan bagaimana dan mengapa terjadi ketidakstabilan di sosialitas kita, yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Permainan tikus, itulah mengapa kebanyakan pekerja biasa terjebak dalam permaian itu, karna mereka harus bekerja mengikuti jam kantor dan jadual, dan pada akhir bulan mereka akan mendapatkan pendapatan yang tetap. Sedangkan biaya kehidupan semakin hari semakin meningkat. Nggak usah jauh-jauh, contohnya aja biaya kehidupan di Jakarta kota Metropolitan. Gaji UMR memang tinggi, tapi masih banyak juga yang miskin. Kalau dibandingkan, gaji UMR di Yogyakarta itu jauh lebih rendah daripada UMR Jakarta, tapi kenapa Dina memilih kota keratonan ini? Hanya satu jawaban, Dina ingin menjadi kaya dan mengadu nasibnya di kota Jogja! Memang konsep kehidupan yang tidak stabil dan sadis! Kebanyakan dari mereka harus berputar-putar mengikuti siklus lomba tikus, terjebak dalam lingkaran yang sama. Makanya dari awal Dina dating ke Jakarta, hanya satu fikiran yang ada pada dirinya. Ingin menjadi kaya raya. Dan seseorang harus percaya dengan diri, percaya akan potensi diri dan mempunyai pandangan yang luas. Karna banyak orang kaya itu open mind, cara pemikirannya luas dan terbuka dengan opsi.
Raka datang pada tepat waktu. Walaupun Dina tidak pernah ketemu dengan calon managernya itu secara langsung, Dina langsung mengenali bahwa itu Raka. Karna Dina pernah melihat fotonya di profil LinkedIn sebelumnya. Dina tidak lupa mengucapkan terimakasihnya kepada waitress yang telah menunjukkan meja yang direservasi oleh Pak Raka.
''Dina ya?'' Pak Raka langsung berdiri dari tempat duduknya.
''Iya pak. Saya Dina. Senang bisa bertemu dengan Pak Raka.'' Ujar Dina. Dina pun berjabat tangan dengan Pak Raka yang usianya terlihat masih beitu muda. Mungkin seumuran dengannya, kalua tidak umur mereka tidak berbeda jauh.
''Panggil saya Raka aja Dina. Jangan terlalu formal. Umur kita nggak beda jauh kok, kalau kamu panggil saya Pak nanti saya kelihatan begitu tua. Gimana dengan perjalanmu dari Makassar ke Jogja?'' Tanya Raka.
Dina terlihat cangguh. Awalnya Dina hanya ingin menghormati calon managernya itu karna Raka lebih senior daripadanya dari segi pengalaman di kerjaan. Raka orangnya tidak begitu tinggi, namun orangnya ganteng dan berkarisma.
''Tapi kalau saya panggil dengan nama begitu saja kelihatan nggak professional nanti. Perjalanan yang jauh dan agak melelahkan. Tapi sampai juga saya di Jogja.'' Dina tersenyum kecil.
''Oh begitu ya. Gimana kalau kamu panggil saya Kak Raka?'' Raka memberikan alternatif panggilan untuknya.
''Baik, kak Raka.'' Dina lebih selesa memanggil Raka dengan panggilan 'Kak' daripada 'Pak' atau 'Mas'.
Raka tersenyum kecil. Terus Raka memberikan menu order restoran tersebut. ''Kamu pasti lapar, mau makan apa?''
Dina melihat menu restoran Jepang yang mewah itu. Tidak ada yang cocok. Bkan selera makanannya, tapi harganya yang mengila. Padahal Dina seharian belum makan.
''Udah pesan aja, kakak kok yang teraktir.'' Raka bisa membaca hesitasinya Dina.
Dina terkejut. Apakah ekspresinya begitu mudah dibaca orang lain? Bukan karna Dina pelit, tapi uangnya semakin menipis. Dina merasa malu, ''nggak kak. Aku udah kenyang kok. Tadi barusan makan.''
Raka tersenyum. Kemudian Raka memanggil waitress restoran tersbut dan memesan 2 Gyudon bersama minuman.
''Kenapa kakak memesan dua set?''
''Kakak lapar dek. Jadi kamu nanti temenin kakak makan ya.''
Dina terdiam malu.
''Kakak dulu seperti kamu. Datang dari Kupang ke Jogjakarta, hanya bermodal diri. Kakak begitu paham keadaan kamu dek.'' Raka berhenti seketika. ''Apalagi kakak, punya tanggungjawab yang begitu berat. Karna kakak menjadi tulang punggung keluarga. Jadi mau nggak mau, kakak harus berhasil. Karna kakak harus menghidupi keluarga kakak, menyekolahkan adik perempuan kakak. Cuma tu kakak dulu kuliahnya di sini, nih kampus UPN. Kamu tau kan? Yang dekat dengan jalan raya itu?''
''Iya tau kak.'' Dina pernah melalui kampus UPN yang berdekatan dengan jalan raya. Dulu Dina juga pernah mendaftar untuk kuliah ke kampus itu namun orang tua Dina menyuruh Dina untuk melanjutkan kuliahnya di kampus yang masih berdekatan dengan rumahnya.
''Nah kampus itu. Sebenarnya dek, di Jogja itu punya potensi juga seperti kota Jakarta. Bahkan kalau kamu benar-benar tahu gimana caranya, Jogja juga bisa dijadikan sebagai kota gudangnya uang selain menjadi kota pelajar. Kakak itu dek, bener-bener paham emosi yang di dalam kamu itu. Karna dulu kakak juga dari kampung datang merantau ke tanah jawa demi menggubah nasib.''
Mata Dina merabang merah. Ternyata, banyak orang yang senasib dengan dirinya. Memang nasib sudah ditakdirkan, namun Dina begitu percaya dia masih bisa menggubah nasibnya itu. Dengan merantau, dengan keluar dari zona nyamannya, dan bekerja keras. Karna orang seperti Dina bukan berasal dari orang kaya.
''Bagaimana kakak bisa bangkit seperti sekarang?'' Tak terasa, dirinya sudah memasuki dunia kedewasaan. Dan kini Dina harus jauh dari keluarganya. Bertahan dan berjuang sendiri di tanah perantauan. ''Padahal umur kakak tidak beda jauh dengan aku.''
''Presistence.'' Jawab Raka dengan tegas. ''Bertahan dan focus. Itulah persistence. Kakak itu kalau udah mau menyerah udah dari dulu, sering banget jatuh, terjatuh dan jatuh. Bahkan ada kalanya kakak ngrasa hidup di perantauan itu bener-bener susah. Mau makan aja bingung dulu, uang recehan 100 rupiah kalau kita lagi nggak ada tu penting dan berharga banget dek. Kakak pernah dititik itu.''
Dina tidak berkomentar apa-apapun. Dia terdiam. Selain takt ahu mesti ngomong apa, Dina juga tersentak dengan istilah yang dahsyat itu.
''Apa tujuan mu? Mengapa kamu datang jauh-jauh dari Makassar ke Jogja?'' Raka bertanya, matanya bertembung dengan Dina secara langsung.
''Uang. Aku ingin menjadi kaya.'' Dina yang awalnya terdiam dan membisu karna tersentak dengan kata-kata Raka sebelumnya menjawab dengan tidak ragus, cepat dan jelas. Karna Dina tahu, tujuannnya datang ke kota keraton ini adalah uang. Karna uang dia bisa menjadi kaya. Karna uang dia bisa menggubah nasib keluarga. Karna uang hidupnya tidak akan susah. Siapa yang bilang uang bukan segalanya adalah Bullshit! Karna fakta dan realitanya hampir semuannya membutuhkan uang. Memang uang bukan sepenuhnya tujuan kehidupan, namun jika seseorang tidak mempunyai uang hidup akan terasa susah. Ada istilah, no money no talk.
''Bagus! Welcome to Jogjakarta, dimana tempat uang berada! Tempat gudangnya uang!''
''Emang iya kak?'' tanya Dina yang terlihat agak ragu dengan istilah tersebut.
Raka menganggukkan kepalanya. ''Kamu tahu perusahaan kami bergerak di bidang apa kan? Sebelumnya kamu bikin PR kan sebelum melamar?''
''Iya aku tahu.''
''Bidang apa coba?'' Raka menindas lagi dengan pertanyaannya.
''Investasi.''
''Bagus! Berarti kamu bener-bener bikin PR. Kamu udah dapat gambaran apa tugas kamu sebagai business konsultan di perusahaan ini?''
Dina menggeleng-gelengkan kepalanya. ''Itu aku kurang tahu kak.'' Jawab Dina dengan jujur. Karna bagi Dina, lebih baik Dia berakata apa adanya daripada tidak tahu tapi sok tahu. Nggak ada faedahnya.
''Nah, tugas kamu nanti adalah menggelolah data. Nanti kamu akan diajarin setelah kamu lulus tes Psikotes. Besok pagi tepat pada jam 8 tes kamu akan bermula, jadi jangan lambat yad ek dating ke kantor untuk melakukan Psikotes.'' Raka menggingatkan kepada Dina.
''Baik kak. Maksudnya, itu aja tugasku. Untuk menggelolah data?'' Dina ingin tahu lebih lanjut tentang pekerjaan yang akan diceburinya.
''Iya. Kamu akan diajari bagaimana tracing data, mencari data, contacting dan bagaimana caranya untuk mengasah skill closing power. Karna kerjaan kita nggak berkonsepkan kantoran biasa, kita akan bekerjasama sebagai team.''
''Begitu ya kak. Kalau gaji gimana kak?''
''Gaji menurut UMR. Masih ada gaji pokok. Tapi bukan itu yang kita kejar. Kita kerja di perusahaan ini bukan hanya sekedar mengejar gaji tetap tiap bulan. Disini kalau kamu udah closing kamu akan dapat dua jenis pendapatan. Pendapatan pasif dan aktif. Adek pernah dengarkan?''
Dina tidak begitu asing lagi dengan konsep itu. Karna Dina begitu suka dengan konten buku Robert T.Kiyosaki. ''Pernah, soalnya aku pernah baca buku Rich Dad Poor Dad.''
''Bagus. Di perusahaan kami, kita akan mendapatkan gaji pokok. Tapi fokus kita adalah mengejar komisi. Perusahaan kami itu merupakan gudangnya uang. Kenapa begitu? Karna dengan komisi pendapatan kita itu unlimited.''
''Bener ini kak? Nggak ada syarat-syarat tertentu?''
''Syaratnya simple. Kamu harus cepat closingan. Kalau kamu udah closingan, udah dapat nasabah, kamu akan mendapatkan gaji pokok dan juga komisi dari lot yang ditransaksikan.'' Raka menjelaskannya dengan begitu jelas.
''Per lotnya berapa?''
''Kalau kamu dapat investor dari luar negeri dan investor kamu bisa masuk sebagai investor dengan menggunakan mata uang dollar, per,otnya kamu akan mendapatkan RP300 000. Tapi untuk investor local dengan mata uang rupiah, kamu hanya akan mendapatkan per lotnya sejumlah RP150 000. Hitung aja, diperusahaan kita, kita estimasikan per bulan client untuk bertransaksi 20 lots. Jadi dari komisi aja satu nasabah kamu bisa mendapatkan 3juta hingga 6 juta. Belum lagi gaji pokok. Kalau ditotalin, untuk mendapatkan uang 10 juta itu begitu mudah di perusahaan kami. Coba fikir dek, kalau kamu dapat lebih dari satu nasabah, komisi kamu juga akan makin bertambah. Itulah yang kakak maksudkan sebagai pendapatan unlimited.''
''Kalau kita belum closing, belum dapat klien masih dapat gaji kan kak?'' Di waktu yang sama pesanan makanan mereka tiba di meja. Dina tahu, sulit bagi mereka yang baru lulus dari kuliah dan tidak mempunyai pengalaman magang untuk mendapatkan gaji diatas UMR. Karna memang itu sudah undang-undang nya. Kecuali mereka yang berkualifikasi tinggi dan sudah punya pengalaman magang. Jaman sekarang, apalagi di Jogjakarta dan kota-kota besar lainnya, hanya dengan pegangan S1 itu tidak mudah untuk langsung berkarir dan mempunyai posisi yang tinggi dengan gaji yang tinggi. Karna Jakarta merupakan kota kompetitif, banyak saigan dan banyak yang berkelulusan S1. Pendapatan lebih dari 10 juta itu merupakan pendapatan yang cukup lumayan.
''Kamu harus closing dulu dek. Supaya menjadi karyawan tetap. Kalau kamu udah cosing, gajimu akan keluar, dan status kontrak pekerjaanmu juga akan diproses.''
Dina terdiam lagi. Dia memikirkan, benar-benar memikirkan. Karna di kota mana-mana di seluruh indonesia semuanya membutuhkan biaya. Mahu ke WC pun harus bayar. Karna Jakarta kota yang keras. Kota serba uang. Time is money disini, dan waktu adalah emas. Jika kitab isa bertahan dengan prinsip kedua ini, kita akan survive. Inilah kenyataan kota keraton Yogyakarta, yang juga dikenali sebagai kota 'LA' nya Indonesia
Raka bisa membaca keraguan Dina dimatanya setelah mendengarkan tersebut. ''Tapi dek, asalkan kita tidak putus asa, asalkan kita mengikuti system di kantor dan apa yang diajarkan oleh atasan, kita pasti akan closing. Syaratnya, sering ke kantor tepat waktu, sering dekati atasan kita untuk ilmu, sering bertanya jika tidak tahu dan jangan menyerah. Pasti kita akan closing.''