***
Udara memanas terbakar matahari yang menyala menyirami bumi dengan segenap cahaya dan panasnya. Jantungku masih saja berpacu keras seolah aku habis marathon dengan tenaga penuh. Fatih keluar mobil lebih dulu, sementara aku masih duduk dengan berusaha mendamaikan suasana hatiku.
Klek...
Fatih membuka pintu mobil untukku, wajahnya kini tak tegang seperti tadi. Aku bahkan dapat melihat kilatan senyumnya yang mampu mendamaikan lagi detak jantungku.
"ayo..." bisiknya. Bagai terhipnotis aku mengikuti langkah kakinya yang mendahuluiku masuk ke gedung rumah sakit, melonyor ke ICU.
Seperti beberapa waktu lalu, keluarga besar Mas Fandy berkumpul diruang tunggu didepan ICU. Seperti saat itu, ibunya masih menatapku dengan tatapan aneh, seperti saat itu aku gugup menghadapi situasi ini, seperti saat itu Nailah berlari mengejarku. Namun kali ini ada yang berbeda, aku memiliki laki-laki yang mensejajarkan langkahnya denganku, siap untuk kukenalkan sebagai calon suamiku.
Mas Fandy tersenyum menyambut kedatangan kami, begitupun Askar dan istrinya. Askar dengan ramah lebih dulu menghampiri kami.
"Assalamu'alaikum" sapanya
"Walaikumsalam" jawab Fatih, sementara aku hanya diam tanganku sibuk mengusap-usap kepala Nailah yang menggelayut dikakiku.
"kar, kenalkan dia Fatih rekan kerja Almira..." Mas Fandy berjalan kearah kami. Dia begitu percaya diri mengenalkan Fatih pada Askar seolah dia memiliki kewajiban akan itu. Oh, ya mereka pernah bertemu sebelumya, direstoran saat penyambutan Fatih kembali ke Indonesia.
Askar mengulurkan tangannya dan disambut hangat oleh Fatih.
"Askar"
"Fatih, calon suami Almira"
Jantungku berhenti berdetak sesaat, aku merasa ada kecemburuan dan penegasan dari cara Fatih memperkenalkan diri. Rahang Mas Fandy mengeras, aku melirik tangannya yang mengepal kuat. Matanya berkilat kemerahan, satu sama lain, antara dia dan Fatih seperti siap saling menyerang. Aku terpaksa menelan ludahku yang mengering.
"calon suami" Suara Mas Fandy terdengar bergetar.
"oh...selamat yah, wah kapan diresmikan ini" Askar berusaha mencairkan suasana dengan menepuk-nepuk bahu Fatih sambil tertawa sekenanya.
"kalau kamu ingin menolakku, jangan pakai cara konyol seperti ini, Al. heh... kamu pikir aku akan percaya, cari orang lain yang aku tidak kenal sehingga aku dapat percaya." Mas fandy menatapku mengancam, aku gugup dan ketakutan. Tubuhku bergetar tak terkendali, aku bahkan kesulitan mencari pasokan oksigen diudara.
"kami tidak perlu membuatmu percaya, kami juga tidak perlu membuktikan apa-apa."Fatih mewakiliku untuk menjawab. Namun suasana justru memanas.
"diam kau" bentak Mas Fandy. Nailah ketakutan dan berlari menuju Diah.
Fatih terpancing emosinya, maju satu langkah kedepan.
"sudahlah Fatih kita pulang saja" bujukku.
"satu hal yang menjadi alasanku membawa Almira kesini, agar kamu tau bahwa dia calon istriku. Dan berhenti mengganggunya" Suara Fatih lantang menggema. Mas Fandy maju selangkah, namun dengan sigap Askar menariknya mundur.
"baiklah kami tau, maafkan sikap kakakku. Aku sendiri yang akan memastikan dia tak akan mengganggu Almira" Askar menahan tubuh Mas Fandy dengan tubuhnya.
"kami permisi, maaf atas keributan ini, Assalamu'alaikum" Fatih berhasil menguasai dirinya. Kami melangkah memutar arah. Fatih tersenyum ramah padaku, agaknya dia tau aku ketakutan, dan dia tau senyumnya adalah obat untukku.
"aku akan merebutnya, kau bukan suaminya, kau hanya calon. Dan itu bisa dibatalkan." Teriak Mas Fandy. Fatih menghentikan langkahnya, dia menolehku, aku menggeleng.
Ku mohon, jangan hiraukan, kali ini aku menyerahkan hati dan hidupku padamu. Dia hanya masa lalu yang mengganggu dan aku telah memilihmu.
Fatih membalik tubuhnya. Aku kembali ketakutan, namun semua itu sirna saat aku melihat senyumnya yang sempurna. Bukan Cuma aku yang terpesona, bahkan Mas Fandy yang meronta terhenyak melihat senyuman yang begitu indah.
"kamu seorang pria muslim, kamu pasti tau bahwa haram hukumnya meminang diatas pinangan saudaramu. Aku yakin kamu tak akan mengganggunya. Aku tau kamu begitu mencintai Almira, untuk itu kamu akan melakukan apapun agar Almira bahagia. Dan saat ini akulah kebahagiaannya. Aku tak akan membiarkannya terluka, sedikitpun. Kujanjikan itu padamu"
Kata-kata itu menghipnotisku, kakiku meleleh seperti jeli. Sepasang sayap tumbuh di bahuku, dan aku terbang. Ya... dia kebahagiaanku, dia perayu nomor satu.
Mas Fandy kehabisan kata-kata karenanya, tubuhnya tampak tak lagi bertenaga. Tak ada lagi teriakan bahkan saat kami semakin menjauh. Lihatlah calon imamku ini, dia tak perlu beradu fisik, bahkan kata-katanya yang santun sudah membunuh lawannya. Aku bangga padanya.
***
Kulirik lagi bayangan tubuhku didinding kaca restoran. Sebuah gaun berwarna tosca dengan motif bunga merah muda melekat ditubuhku dipadu khimar berwarna senada dengan motif gaunku. High heel sederhana yang menyatu dengan kakiku menambah rasa percaya diriku. Kuamati lagi wajahku, lipgloss merah muda menghias bibirku. Cukup, tanpa bedak, tanpa tambahan alis dan mascara untuk bulu mata. Namun entah mengapa, aku ingin Fatih terkesan denganku, ah... haramkah ini.
Ku lihat Bilal dan Sarah telah tiba dan asik bersenda gurau disalah satu meja. Dalam hati, suatu saat nanti aku juga ingin mesra dengan Fatih seperti Sarah dan Bilal. Aku ingin segera mengakhiri kesendirianku. Jauh dalam hatiku, aku ingin segera dihalalkan setelah pulang dari Sumatra.
"Assalamu'alaikum gadis" seseorang mengagetkanku dari belakang. Fatih, aku terperangah. Dia menggenakan kemeja dusty blue, lengannya dilipat hingga sedikit dibawah siku. Celana jeans hitam dan sepatu yang membuatnya sangat maskulin. Aku menghirup aroma cologne yang menebar dari tubuhnya, segar dan menambah nilai untuknya. Aku jadi merasa kurang cantik malam ini.
"hei...sini" teriak Sarah. Kamipun berjalan beriringan menuju meja Bilal dan Sarah.
"ei...udah datang barengan aja ni" ledek Sarah kemudian.
Aku hanya tersipu malu. Malu... lagi, akhir-akhir ini aku jadi pemalu untuk alasan yang tidak jelas. Malam itu adalah makan malam pertama dimana aku lebih banyak mengunyah dari pada bicara. Mengunyah tanpa membuka bibirku, mengunyah tanpa bersuara, memotong tanpa membuat sara berdenting saat piring beradu dengan pisau.
Satu hal yang aku sayangkan malam itu adalah mengapa aku harus menolak diantar sopir. Fatih gagal mengantarku pulang. Ah, sekarang aku jadi mencari-cari alasan agar lebih sering bersama Fatih. Jatuh cintakah aku, entahlah hatiku saja tak tau.
Waktu begitu cepat berlalu, hari ini aku sudah harus berkemas untuk menyeberangi pulau. Ini bukan yang pertama kali, namun ini pertama kali aku jadi gugup dan salah tingkah. Baju-baju yang semula sudah rapi ku masukan kedalam koper, ku keluarkan lagi. Kupakai satu-satu lalu kupatut diri didepan cermin.
Aku rela menghabiskan pulsaku untuk menelpon pribumi sana agar aku tak salah kostum.
"Udah, apa bedanya sih Padang sama Jakarta. Asal gak pakai rok mini ini" celoteh gadis diseberang telpon.
"aduh tapi Han, udara disana sama sini kan pasti beda"
"iya, makanya jangan pakai rok mini"
"ih, Hanna siapa juga mau pakai rok mini. Baju apa yang biasa dikenakan perempuatn disana"
"sama dengan yang kau kenakan"
"ih...aku pakai baju tidur sekarang, apa aku harus berangkat kesana pakai baju tidur" omelku.
"hahhaha....Mira, Mira..." dia malah terdengar geli.
"apa aku harus membeli baju kurung, Hanna"
"tidak, tidak usah. Cara berpakaianmu sudah bagus dan sopan, itu saja sudah cukup"
"benarkah, ah aku gugup Hanna" rengekku.
"Mira, sesampainya di Bandara Minangkabau, aku jemput kalian. Kita menginap dirumahku dulu. Biar Bilal dan Fatih dirumah Kakaknya Fatih. Kita hilangkan kegugupanmu dulu baru kita sama-sama berangkat ke Bukittinggi."
"iya Hanna, setuju" teriakku girang
"tapi Mira, " suara Hanna terdengar ragu.
"ya Hanna"
"ibuku kurang ramah pada orang yang baru dikenalnya, aku harap kalian memakluminya"
"wah, mana mungkin begitu. Putrinya saja ramah begini"
"tidak Mira, aku serius" suara Hanna tercekat.
"iya, iya..tenang saja" aku tak ingin Hanna menceritakan lebih lanjut. Mungkin dia jadi tidak nyaman karenanya.
"ya sudah, aku tunggu kedatangan kalian. Assalamu'alaikum"
"walaikumsalam Warahmatullah"
Aku sempat kepikiran persoalan Ibu Hanna yang katanya kurang bersahabat. Namun kemudian otakku kembali mengarahka pikiranku tentang Fatih. Bagaimana ibunya Fatih, apakah dia akan ramah padaku, atau mengujiku mengerjakan tugas rumah tangga. Atau malah membenciku. Pikiran itu semakin membuatku gugup.
Kutarik udara dalam-dalam melalui mulutku menuju paru-paruku. Kubuang perlahan dan terkuras tanpa ampun. Muhammad Al Fatih seperti apa orang tuamu, akankah mereka menyambutku. Akankah semua ini memperlancar urusan kita menuju pelaminan atau malah mempersulitnya. Muhammad Al Fatih kalifah hatiku, aku memiliki trauma yang dalam tentang calon mertuaku, akankah aku mengalaminya dua kali. Pegang tanganku saat ini kau akan merasakan dingin yang menjalar ditubuhku yang menggigil.
***
Papa dan Mama mengantarku langsung ke Bandara, persis seperti orang tua murid yang anaknya akan pergi bertanding. Memberi dukungan dan sermangat sampai sejauh ini. Mama bahkan berkali-kali mengacukan tangannya sambil mengucapkan "Fighting" hayo drama Korea mana yang mama tonton.
"mama titip Mira ya Fatih" kali ini mama seperti melepas anaknya yang masih SMP akan pergi berkemah.
"iya Ma..." jawab Fatih seraya tersenyum menenangkan.
"sayang, kamu jangan lupa pakai pakaian tebal dan hangat. Ah, kamu bawa syalkan" aku menangguk seraya mengangkat syal yang sebenarnya sudah melilit dileherku.
"ah iya...pakai terus ya...jangan sakit." Katanya lagi.
"bersikap yang baik. Rebut hatinya, ingat semua latihan memasak kita." Kali ini dia berbisik ditelingaku.
aku menyalami kedua orang tuaku, begitupun Fatih, Sarah dan Bilal. Mama menitikkan air mata terharunya. Aku pun sama, entah mengapa penerbangan ini sedikit mengganjal hatiku. Semakin dekat waktu pesawat lepas landas, hatiku semakin berdebar. Kegugupanku sudah diluar batas toleransi, aku bahkan seperti orang yang mengalami mabuk udara. Keraguan menerpa hatiku disana-sini. Ku lihat lagi Fatih yang duduk disampin Bilal, matanya terpejam, tangannya dilipat didepan dada.
Fatih taukah kamu perasaanku kini?
Aku punya firasat buruk tentang ini.
Bisakah aku mengatakan padamu, aku takut dan kedinginan.
Segumpal daging didadaku ini membeku.
Aku kehabisan udara, aku ragu...
bukan tentang hati siapa didalam hatiku.
tapi......
Fatih bisakah aku batalkan semua ini?