Chereads / BERSEMAYAM DALAM DOA / Chapter 9 - Sebuah Nama Terselip Dalam Doa

Chapter 9 - Sebuah Nama Terselip Dalam Doa

Tek tek tek

Suara detik jam terdengar lebih keras dari biasanya, persis seperti saat tengah malam ketika penghuni rumah sudah terlelap. Semua mata melihat kearahku, aku terpaku. hatiku tengah sibuk memilah kata-kata yang pantas untuk ku ucapkan.

"tidak...." kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku tanpa control.

Mama melepas tangannya dari bahuku, adira menyenggol kakiku.

Papa tampak gelisah, duduknya jadi gusar.

"Mira?" Bilal lirih menyebut namaku. Mataku kembali bertemu pandang dengan Fatih, masih seperti tadi, tak ada reaksi yang berarti apa lagi berlebihan seperti yang lain.

"Mira, ini keputusanmu, tapi bapak ingin tau, apa gerangan yang membuat kamu menolak pinangan laki-laki sebaik Fatih. Bapak rasa dia sangat pantas mendapat penjelasanmu" pak Zainuri angkat bicara.

Aku membuka bibirku siap untuk bicara, tapi air mataku lebih dulu luruh kepipiku. Aku memejamkan mataku, menyedihkan benar keadaanku.

"aku tau aku perawan tua" kata-kata itu menghujam jantungku sendiri.

"oh tidak Mira, siapa yang berani berkata demikian" Ibu Mirna, istri pak zainuri ikut bicara sekarang.

"betapapun aku rindu akan sebuah pernikahan, aku tak akan mengorbankan sahabat-sahabatku." Aku menelan ludah, kerongkonganku terasa kering dan tercekat.

"Mira..."Sarah membujuk dengan suara yang serak. Mungkin dia ikut menangis, hatinya sangat lembut.

"dan kamu Fatih, aku tidak butuh kebohonganmu, aku tidak butuh pengorbananmu. Kamu tau, suatu saat kamu akan menyesali keputusanmu untuk membohongi hatimu sendiri. Heh, kamu pikir aku sahabat seperti apa yang rela bahagia diatas penderitaan kawan-kawanku sendiri."aku menghapus air mataku yang menggenangi pipiku yang bulat.

Fatih makin tajam menatapku, rahangnya tampak mengencang. Aku menunduk, tak berani menatapnya lagi. Ada aura lain diwajah dan tubuh Fatih, aura yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"kamu bicara apa Mir" Sarah kembali bersuara. Kali ini dia berjongkok dihadapanku, meraih tanganku yang terkepal diatas pahaku.

"Hanna..." aku menatap lekat pada Sarah. Bibir sarah kini membulat penuh.

"kamu fikir aku tidak tau bagaimana perasaan Hanna pada Fatih, dan bagaimana perasaan Fatih pada Hanna. Aku tidak buta Sarah, aku punya hati. Aku tidak akan egois dengan merebut raga Fatih padahal hatinya untuk orang lain."

"Hati?" suara itu lantang sekali, aku mendongak, Sarah berdiri dan kembali kekursinya. Mata Fatih menyala menatapku.

"sejak kapan kamu menjadi Tuhan yang bisa melihat isi hati manusia Mira?"

DEG...

Kata-kata itu seperti boomerang yang kemarin kulempar pada Kak Rina dan kini kembali padaku melalui bibir Fatih. Menghantam tepat dikepalaku, aku pening dan hampir rubuh mendengarnya. Aku membuka mulutku, tapi aku tak tau apa yang harus dan akan aku ucapkan.

"apa Hanna sendiri yang mengatakannya?"

"aku melihat bagaimana kalian saling memandang" aku menemukan kata-kata-kata itu, pelan dan ragu-ragu kuucapkan. Fatih sedikit menakutkan saat ini.

Fatih terkekeh, dia menggeleng-geleng begitupun Bilal.

"Hanna bahkan mengatakan sendiri bahwa malam ini dia sedang berdo'a untuk kesuksesan khitbah ini Mir" enteng saja Bilal mengatakannya.

"uh,,,"aku jadi makin bingung.

"Hanna tau? Bagaimana mungkin, oh tidak, dia pasti sedang menangis sekarang"

"berhenti menjadi orang yang sok tau Mira" Fatih menghardikku lagi.

Aku menutup mulutku, bibirku kembali bergetar. Hujan yang sudah reda sepertinya akan turun lagi. Sedetik, dua detik ....tiba-tiba tatapan Fatih berubah lagi, kembali teduh.

"bagaimana mungkin kamu berfikiran aku menyukai Hanna?" senyumnya merekah damai sekali. Aku menunduk tak tau bagaimana cara menjelaskannya.

"Almira Binti Bukhori, aku memang bukan lelaki yang baik seperti para Sahabat Nabi, tapi bagaimana aku mencintaimu seperti Ali yang diam-diam mendamba Fatimah. Namamu diam-diam terselip dalam tiap obrolanku dengan-Nya. Mengisi sepertiga malamku dalam kesunyian. Seperti Ali yang tak punya cukup kepercayaan diri untuk meminang Fatimah yang istimewa. Maka aku memendamnya, sampai kupastikan hatiku bahwa aku harus melindungimu dari siapa saja yang mencoba memetikmu. Bismillahirohmanirrohim...Almira Binti Bukhori bersediakah kamu menjadi teman hidupku, makmum sholatku, bidadari surgaku, kekasih dunia akhiratku?"

Rahangku jatuh ketanah mendengar kalimat-kalimat indah yang mengalir dari bibir Fatih. Aku mendengar orang-orang disekelilingku bertasbih. Dia masih lekat menatapku, detik melambat. Bulu kudukku mendadak berdiri seperti tentara kedatangan komandannya secara mendadak.

"bila mencintaimu selama ini adalah dosa, bila diam-diam menyelipkan namamu didalam tiap do'aku adalah dosa, bantu aku Mira, bantu aku agar semua itu menjadi pahala bagiku. Jika diam-diam memandangmu adalah haram bagiku, mengagumi senyummu adalah haram bagiku, bantu aku almira, agar semua itu menjadi halal bagiku" dia sedikit mengangguk dan memicingkan matanya. Gigiku gemelutup, mendadak suhu ruangan ini begitu dingin membuatku menggigil.

Lagi-lagi orang-orang disekelilingku bertasbih, alangkah indah rayuan ini.

"Subhanallah..." lirih Dira, tangannya melingkari pundakku.

Air mata tampak penuh di pelupuk mataku, ketika aku berkedip jatuhlah dia. Benarkah ini, Fatih menyukaiku bukan Hanna. Aku menatapnya lagi, kulihat sekilas senyum dibibirnya. Kali ini aku mengaguminya dengan cara berbeda, sudah lama...lama sekali aku tak lagi merasakan perasaan ini. Tuhan, aku berdosa...detik ini aku jatuh cinta pada lelaki yang meminangku.

Aku mengangguk pelan, Fatih tersenyum dan mengucap hamdalah diikuti semua orang yang ada disana. Bismillah, semoga ini keputusan yang tepat. Mama mempersilahkan para tamu untuk menyicipi hidangan yang sangat alakadarnya. Dua buah piring bolu, sepiring martabak dan seteko teh. Itulah yang bisa kami hidangankan untuk pinangan yang sangat mendadak ini. Namun semua orang tampak bahagia. Kulirik wajah papa yang sedang bercakap-cakap dengan Pak Zainuri, senyum dan tawa dari tadi menghiasi bibirnya. Sedikit beban dipundaknya terangkat.

"Alhamdulillah, terimakasih Fatih" lirihku dalam hati. Tak sengaja mataku bertemu pandang dengannya, dia tersenyum, aku malu. Ah...perasaan apa ini. Baru kali ini aku malu pada Fatih, malu tanpa alasan yang jelas.

"ini mungkin belum bisa dianggap pinangan yang resmi, mengingat saya belum membawa orang tua kandung saya. Rencananya sekitar dua minggu lagi saya akan pulang ke Bukittinggi dan memberikantahukan kepada kedua orang tua saya tentang Almira"

Papa hanya mengangguk sekenanya, begitupun mama.

"ah...ikut" Sarah memajukan bibirnya sambil melirik Bilal.

"iya kita ikut" Bilal luluh dengan permintaan istrinya.

"kau ikut saja Mira, biar bisa langsung kenalan dengan keluarga calon mertuamu" Sarah sumringah kepadaku.

"ah, tapi" aku ragu, kulirik Fatih. Apa tidak apa-apa aku ikut bersamanya padahal tujuannya kesana adalah untuk mengatakan kepada orang tuanya tentang aku.

"bagaimana Fatih, bolehkan. Kami rindu pada Hanna juga" Sarah kembali menebar bujukannya.

" Mira masih tanggungjawab orang tuanya Sarah, kalau aku tidsak masalah" jawab Fatih.

Sarah memohon kepada Mama dan Papa, dan akhirnya mereka luluh juga dengan bujukan maut dari Sarah.

Jam menunjukan pukul 22:00, Fatih dan rombongannya mohon pamit. Papa tampak bahagia saat Fatih menyalaminya. Papa menarik tubuh Fatih kedalam pelukannya, dia mengguncang-guncang tubuh Fatih didalam pelukannya. Fatih melirikku sekali lagi sebelum pulang, lagi-lagi aku malu.

***

"apa kabar" pesan terkirim.

1 pesan diterima "baik, gimana acara tadi malam. Sukseskah?" aku tersenyum sendiri.

"terimakasih banyak yah.." pesan terkitim.

1 pesan diterima " terimakasih apa? Selamat ya ukhti, ditunggu kedatangannya di Negeri saya"

"wah, sudah bocorkah?" pesan terkirim.

1 pesan diterima "mana bisa tidur Sarah kalau belu menuntaskan cerita padaku, hahaha"

"ah anak itu, sekali lagi terimakasih Hanna, aku sempat mengira kamu dan Fatih cocok. Ternyata Fatih jodohku" pesan terkirim. Aku memejamkan mataku mengenang bagaimana sok taunya aku dan Sarah yang kadang-kadang menggosipkan Hanna dengan Fatih. Kulihat lagi layar ponselku, tak ada balasan dari Hanna.

"ya, aku tunggu kalian disini. Aku pergi dulu yah, ada keperluan" jawabnya setelah hampir sepuluh menit. Aku tersenyum.

Bang Ridho menghentikan mobilnya tepat didepan akademik Fakultas sains dan teknologi tempatku mengajar. Setelah mencium tangan Bang ridho dan kak Dira aku keluar dari mobil sedan berwarna hitam. Hari ini secara special mereka mengantarku, karena tak mau aku kecapean menyetir. Kekhawatiran yang berlebihan.

Aku melihat Luthfi dan teman-temannya tengah duduk ditangga Akademik. Kali ini aku bisa menegakkan badanku, dia tak lagi bisa melecehkanku. Aku sudah dipinang orang, bukan perawan tua yang tak jelas statusnya.

"Assalamu'alaikum" aku menoleh. Pria berkemeja putih, lengannya sedikit dilipat. Tingginya sekitar 20 diatasku. Rambutnya terlihat mengkilat disisir rapi kepinggir, aromanya yang maskulin menyejugan hidungku pagi ini. Dia menyejajarkan langkahnya denganku. Seperti pengantin yang berjalan menuju pelaminan. Aku menunduk, aku tak ingin pria ini tau wajahku kini bersemu merah saat bertemu dengannya.

"hari ini mengajar berapa mata kuliah" tanyanya lagi.

"dua" jawabku singkat.

"aku langsung kekelas yah" dia menghentikan langkahnya. Akupun begitu.

"nanti kita makan siang bersama, tunggu aku" dia membelokan kakinya menuju ruang kuliah.

Aku menarik nafasku dalam-dalam, aromanya masih tertinggal. Ah, berapa lama kami bersama, baru kali ini aku menyadari aroma parfum yang dia kenakan.

Aku berpapasan dengan luthfi dia tersenyum saja. Seolah-olah tak ada apa-apa antara aku dan dia. Dia cuek saja seakan tak pernah mengirim pesan macamn-macam padaku.

"Almira..." ibu Susanti dosen kimia memanggilku, aku menghentikan langkahku menunggu dia yang menghampiriku. Kulirik sedikit, Luthfi masih memperhatikanku yang kini berada di tangga paling puncak sementara dia ditangga paling bawah.

"selamat yah, Istri Pak Dekan ngasih tau saya" ibu Susanti mencium pipi kiri dan kananku.

"ah ya buk" jawabku gelagapan.

"apa saya bilang, kamu dan Fatih pasti jodoh" lanjutnya.

DUG... dentuman keras dari bawah tangga. Aku dan beberapa orang lainnya kontan menoleh. Luthfi menatapku dengan pandangan yang aneh. Aku melihat kebawah kakinya, Laptop yang tadi dia pangku jatuh, LCDnya terlihat retak-retak. Dia tak bergeming saat kawan-kawannya menggoncang-goncang bahunya, dan berisik memberekan laptopnya yang pecah. Dia masih mempertahankan focus pandangannya padaku. Aku jadi gelagapan dan tak enak hati, apa benar dia terkejut mendengar ucapan ibu Susanti. Mengapa?

Mungkinkah dia benar-benar menginginkanku?

Tatapannya benar-benar menghakimiku, aku gagal bergerak meskipun aku bersikeras ingin berlari kemana saja asal tak menerima tatapan itu. Aku menunduk menghindari api yang menyala dari matanya.

"selamat..." ujarnya pelan namun masih terdengar ditelingaku.

Aku mengangkat pandanganku. Saat itu aku hanya dapat melihat punggungnya yang semakin menjauh. Entah mengapa, mataku terasa begitu panas, jantungku berdebar, seperti terluka. Aku berhenti melihatnya saat Luthfi membalik badannya dan menatapku.

"anak itu kenapa sih" celoteh ibu Susanti. Aku ragu menjawabnya. Aku khawatir suaraku akan tercekat dan membuat beliau berfikir macam-macam. Aku mengangkat bahuku lalu berjalan meninggalkannya.

***

Fatih menungguku didalam mobilnya, aku sedikit ragu memasuki mobilnya. Entah mengapa aku merasa canggung. Fatih memutuskan keluar meihatku hanya berdiri dan kunjung membuka pintu mobil.

"kenapa Mir?" dia tak benar-benar keluar, tubuhnya berdiri dibelakang pintu yang telah terbuka.

Aku menggeleng dan segera membuka pintu, duduk senyaman mungkin dan memasang sabuk pengaman.

"mau makan apa ?"tanyanya saat mobil mulai melaju pelan dijalanan kampus.

"terserah" ujarku pelan. Aku mendengar Fatih terkekeh pelan, sontak aku menolehnya. Apa ada yang salah dengan jawabanku.

"bagaimana nanti setelah menikah kita membuat tempat makan dengan nama terserah, aku yakin pasti banyak pengunjungnya" ujarnya dengan tersenyum, matanya sesekali melihatku.

"aku hanya bingung mau makan apa, aku hanya memberimu kesempatan untuk memilih kali ini" jawabku seraya memajukan bibirku beberapa centi kedepan.

"Astaghfirullah..." ujarnya.

"kenapa?"

"kamu jangan sering-sering manyun seperti itu Mira saat bersamaku"

"ah, kukira kamu menyukaiku apa adanya, aku sedikit keberatan bila kamu mulai mengatur ekspresiku"

"Mira, aku takut lebih berdosa lagi karena tergoda akan gayamu itu" seketika tanganku menutup mulutku yang melongo. Sementara Fatih acuh saja, fokus pada jalanan yang mulai ramai.

"sekembalinya kita dari Bukittinggi, kita harus secepatnya menikah." Ujarnya seraya menyentuhku dengan tatapannya yang begitu hangat. Jantungku berdetak hebat, aku menelan ludah yang sebenarnya mengering. Aku enggan berkedip, tak akan, aku tak mau kehilangan momen indah ini. Dagunya sedikit runcing, bibirnya tipis berwarna pink, hidungnya mancung, matanya tajam menghangatkan, alisnya hitam bertaut dengan pangkal hidungnya.

"itulah alasanku ingin kita cepat menikah, aku tak mau kamu berfikiran macam-macam sambil melihat wajahku" godanya. Aku menarik wajahku, menghadiahinya tatapan mengancam.

"aku hanya ingin melihat dengan pasti wajah seseorang yang akan menjadi ayah anak-anakku, aku harus memastikannya bahwa keturunanku nanti haruslah tampan dan cantik" ucapku asal.

"Mira, jangan berfikir itu dulu. Zinah fikiran nanti"

"ah,,,, bukan itu maksudku" aku jadi geram karenanya. Fatih malah tertawa seenaknya, dan aku makin mengagumi tawanya yang menambah ketampanannya 10 kali lipat.

Fatih memarkirkan mobilnya disebuah restoran yang bernuansa minang. Sederhana namun berkelas. Dari depan restoran ini memberi kesan modern dengan atap khas rumah gadang, dindingnya terbuat dari kaca, sebuah taman kecil dan air mancur menyambut didekat pintu masuknya. Kami berjalan masuk, beberapa kariawan berseragam putih menyambut kami. Kursi-kursi tampak kosong semua, mungkin baru dibuka. Seorang pria berpakaian khas koki menghampiri kami.

"Assalamu'alaikum da.." ujarnya seraya bersalaman.

"walaikumsalam..." Fatih mengambut tangan pria tersebut.

"kenalkan, Almira..." aku dan pria itu sama-sama menangkupkan tangan kedepan dada.

"silahkan da, makanannya sudah disiapkan. Beberapa menu yang akan jadi andalan kita" Fatih hanya mengangguk lalu mengajakku lebih kedalam lagi.

Tak lama para pelayan dan koki tadi muncul dengan makanan yang beragam. Fatih mengajakku mencicipi semua makanan dan memberi penilaian. Bagiku semua makanan itu enak, namun Fatih tampak kurang puas dengan beberapa makanan lalu memberikan pengarahan pada koki tersebut.

"kamu bingung?" tanyanya saat kami tinggal berdua sambil menikmati jus buah naga yang akan menjadi ciri khas restoran ini. Aku mengangguk pelan.

"rencananya aku akan meresmikan restoran ini saat hari pernikahan kita nanti"

"hah... restoran ini punya kamu" aku berdiri dan mengamati interior restoran.

"akan jadi milik kita Mira" dia tersenyum ringan. Ah, aku menggigit bibirku sendiri. Aku tak menyangka ternyata Fatih penuh gombalan. Kali ini dia menatapku lagi, tersenyum sempurna padaku. Hatiku berdebar hebat, udara terasa panas menyentuh ubun-ubunku. Gemericik air dari kolam kecil disisi ruangan menemati hatiku yang menari.

"kita kembali kekampus atau langsung pulang" tanyanya.

"urusanku dikampus sudah selesai, kalau kamu?" aku balik bertanya.

"aku juga sudah, kalau begitu aku antar ya" aku hanya mengangguk. Entah mengapa, saat ini semuanya terdengar romantis bagiku.

Diperjalanan pulang, kami tak banyak bicara. Pikiranku asik bermain tebak-tebakan dengan hatiku, aku jatuh cinta----tidak aku hanya sedang baper----iya, ini cinta-----tidak aku hanya mengagumi caranya mengagumiku----tidak ini awal dari cinta----tidak ini hanya simpati karena dia melamarku.....

Drrrt...ddrrttt...

Handphoneku bergetar, sebuah pesan kuterima dari nomor ponsel Mas Fandi.

"Rina, drop lagi. Aku butuh kamu Al"

"aku tak bisa..."

"kamu yang membuatnya begini lagi"

"Daebak...." makiku seraya menghempaskan ponselku.

"ada apa Mir...?" Fatih bertanya tanpa menoleh padaku.

Aku diam saja. Menimbang-nimbang apakah aku harus menceritakan atau tidak kepada Fatih. Bagaimanapu dia harus tau baik buruk kondisiku. Namun bagaimanapun dia tahu bahwa Mas Fandy adalah mantan kekasihku. Aku takut akan ada rasa cemburu nantinya.

"kalau rahasia jangan ceritakan" kali ini dia menatapku tersenyum.

"aku ingin memperlihatkan isi pesannya tapi kamu kan sedang menyetir"

Dia malah tertawa, sambil menggelengkan kepalanya.

"ini SMS dari Mas Fandi, istrinya koma"

Ssrreeetttt......ban mobil Fatih beradu dengan aspal. Mata Fatih memerah menatapku seksama, tajam seperti samurai menghujamku. Detak jantungku mengeras, aku terganggu dengan suaranya yang berisik.

***