***
Hampir tiga minggu berjalan, Fatih seperti tidak menanggapi omongan orang tuaku secara serius. Disatu sisi aku bersyukur dengan cara dia yang tidak berubah padaku, seolah tak pernah ada percakapan kearah sana. Namun ada seridikit goresan dihatiku, mungkin sebagai wanita yang telah rindu dengan sebuah pernikahan aku sedikit berharap padanya. Terlebih orang tuaku, mereka selalu menanyakan Fatih padaku. Aku diam saja, aku tak tau harus berkata apa. Haruskah aku berkata
'ma, pa, anakmu ini tidak cantik, tidak pintar, dan jauh dari kata soleha, lalu lihatlah Muhammad Al Fatih, dia memang bukan Khalifah dari zaman Utsmaniah yang menakhlukkan konstatinopel, tapi dengan wajahnya yang rupawan, otaknya yang genius, kesantunan dan kesholehannya yang tak perlulah diperdebatkan karena semua orang sudah tau, gadis mana dan calon mertua mana yang tak takhluk padanya. Semua yang ada padanya adalah idaman, sedang anakmu ini adalah guyonan'
Oh, tak akan sampai hati aku mengatakan itu, maka diam adalah jalan terbaik karena aku tak akan memberi harapan palsu kepada kedua orang tuaku.
Drrrttt....drrrtt...
Sebuah pesan singkat kuterima dari 'kak Rina istri Mas Fandy, dia memintaku menemuinya dirumah sakit. Aku berusaha menjauh, namun seperti ada benang penghubung diantara kami. Terakhir kali aku melihatnya seminggu yang lalu saat aku mendapat kabar bahwa dia telah sadar dari komanya. aku memutuskan untuk berhenti menemui anak-anaknya, aku bukan ibu mereka, bukan tante mereka, aku tak punya hubungan apapun dengan mereka, aku tak ingin kehadiranku merusak kebahagiaan mereka. namun bagaimanapun aku menjauh, selalu saja mereka menghubungiku. ini tak hanya menyakitiku, tapi kemudian hari akan menyakiti mereka juga, aku yakin itu. Kali ini aku akan membawa gunting, gunting yang sangat tajam. Akan kuputuskan segala ikatan antara kami.
***
Angin berhembus pelan menyapa hijabku yang menjuntai sampai ketengah perutku. Suara dedaunan yang saling bergesekan memecah kesunyian yang memenuhi hidupku. Kuhirup udara hingga memenuhi paru-paruku. Lalu perlahan kubuang dan kuhirup lagi begitu seterusnya.
Beberapa pasien hilir mudik ditaman rumah sakit, ada yang berjalan dengan keluarga atau rekannya, ada yang bertongkat atau berkursi roda bersama para perawat dan aku sendirian dibangku taman yang tempatnya sedikit terpencil dari yang lain. Seorang wanita kurus duduk dikursi roda maticnya menujuku. Aku berdiri menghampirinya, dan membawanya ketempatku semula.
"langit yang indah" begitulah mukadimahnya yang terdengar sakartis ditelingaku.
"langit yang ini yang mungkin tak akan pernah kulihat lagi" dia menengadah kelangit dan memejamkan matanya.
"kita tak akan pernah melihat cahaya saat terpejam" aku menimpali kalimatnya yang terdengar putus asa.
"bagiku, harapan juga cahaya. Selama aku punya harapan maka aku bisa melihat cahaya sekalipun terpejam" dia tersenyum kearahku, sudut matanya berair. Wajahnya yang putih kini sedikit kebiru-biruan.
"kamu tak akan menemukan cahaya diwajahku Al" aku mengerjap, tak nyaman karena kepergok mengamati wajahnya yang banyak berubah akibat penyakit yang dideritanya.
"kamu akan melihatnya saat kamu mau berbagi kesusahan bersamaku, cahaya itu akan bersinar Al, sekalipun aku terpejam dan tak membuka mata lagi"
"bicara apa kakak ini" aku berdiri tepat dihadapannya. Aku tau kearah mana pembicaraan ini akan kami lanjutkan. Aku tau dia akan memintaku menjadi istri dari suaminya. Dan aku juga memastikan kearah mana akan kubelokan pembicaraan ini. Aku telah mempersenjatai diriku dengan gunting untuk memutus ikatan ini, aku akan memotongnya tanpa menoleh air matanya. Itu satu-satunya cara agar tak ada lagi tangisan antara kami.
"umurku tak akan lama lagi Al, "dia meraih tanganku. Aih...dingin.
"sejak kapan kakak berani berlagak seperti Tuhan yang memegang hak umur setiap makhluk?" aku menarik tanganku dengan kasar.
"lihat aku Al, lihat baik-baik dengan matamu. Berbagilah kesusahan denganku, dan aku akan merelakan cintaku untukmu"
"berbagi kesusahan?" aku tertawa dengan nada yang dibuat-buat.
"egois sekali untuk ukuran orang yang tak ingin hidup lagi" aku menatapnya dengan tajam. Aku mengomandoi diriku untuk Jadi gunting yang tajam, agar tak menjadi pisau yang menikam.
"aku tak mau, jangan berlagak seperti orang yang paling menderita dimuka bumi ini. Karena masih ada Nizam dan Nailah yang jauh lebih menderita. Jadilah kuat agar anak-anakmu bisa melihat langit dengan segala cahayanya" aku tak dapat lagi menahan air mataku. Aku melukainya lebih dalam disaat hatinya benar-benar berdarah.
"Cuma kamu Al...Cuma kamu yang bisa membuat anak-anak dan suamiku bahagia. Hanya saja izinkan aku menumpang kasih sayang selama Tuhan belum berkenan memanggilku" sesenggukan dia menangis sambil meraih tanganku.
"berapa lama? Hah.... Setahun, dua tahun...berapa lama kau akan menumpang dirumahmu sendiri. Mereka anak dan suamimu, mengapa kau harus menumpang"
"tolong Al, aku hanya membawa penderitaan bagi mereka, darahku yang ada pada anak-anak adalah sumber kelemahan mereka" aku berusaha menarik jemariku yang semakin kuat digenggamnya.
"aku tak akan egois lagi Al, telah empat tahun aku tak menjalankan tugasku sebagai istri bagi Mas Fandy. Dia lelaki Al, dia membutuhkan itu. Dan kondisiku hanya akan mendekatkannya pada zinah" kali ini aku menarik paksa jemariku, kursi rodanya sedikit terdorong karenanya.
"dia memilihmu, dan dia telah berjanji akan menerimamu dalam kondisi apapun, kamu tanggung jawabnya. Dan kakak tau keegoisan kakak yang mana yang paling menyakitiku, kakak tak mau egois pada mas Fandy, tapi kakak tak pernah berfikir tentang aku dan anak-anak."
"jadilah istri untuk suamiku Al" dia menatapku dengan mata yang kian basah.
"kamu mencurinya dariku, jangan pernah kembalikan dia padaku" tandasku.
aku berlalu meninggalkannya. Aku memberi tahu seorang perawat agar menjemput kak Rina sebelum langit benar-benar tumpah. Perlahan namun pasti air menetes menyapa si bumi, apa kabar minggu ketiga di Januari? Aku melihat seorang gadis susah payah menekan hatinya yang kacau balau.
Aku tau aku melukainya dengan pisau yang tajam namun tekanan ku begitu lemah...
Setidaknya aku tak menghujamnya dengan pisau yang tumpul dengan tekanan yang kuat....
Aku menolak menyakitinya karena aku menolak menyakiti diriku sendiri,,,,
Aku tau dia bisa... sekecil apapun harapan hidupnya aku ingin dia menikmatinya bersama anak dan suaminya, tanpa aku atau orang lain diantara mereka.
***
malam begitu sepi, suara keponakanku yang kembar sesekali terdengar melintasi kamarku. Tapi aku tetap merasa sepi, dadaku sesekali terasa nyilu. Jika apakah aku ditakdirkan untuk menjadi yang kedua, mengapa itu harus orang yang telah melukaiku.bayangan Fatih muncul sesaat, dia memang tak terlahir untukku. harusnya aku sadar dan ingat bahwa ada sesuatu antara dia dan Hanna sahabatku. apa kabar gadis minang itu, terakhir kali dia mengirim SMS padaku justru meledek kejadian orang tuaku yang menanyai Fatih, saat itu aku malu sekali. bagaimana tidak, Hanna selain sekampung dia juga masih kerabat dekat Fatih. dan lagi, aku tau ada sesuatu yang istimewa diantara mereka. oh...memalukannya.
Line....
Sebuah pesan masuk, kuraih ponselku. Sebuah foto masuk dari ID baru.
Foto sebuah cincin berlian. Lalu masuk foto selanjutnya sebuah kertas bertuliskan namaku lengkap dengan gelarnya. Selanjutnya sebuah pesan singkat "jika tuhan mengizinkan, tunggulah dua tahun lagi. Kau akan jadi milikku"
Aku menutup mulutku dengan tangan, agaknya rahang lupa cara mengatup. Ku lihat profil pengirim, fotonya kurang jelas karena dia menghadap kebelakang. Dan siapa gerangan pengirim pesan, kulihat lagi id penggunanya. Luthfi Hadi, daebak...anak ini. setelah apa yang dia lakukan saat ditaman, dia melanjutkannya. mempermainkan hatiku yang rindu akan pinangan. dia tau betul hatiku.
Ku lempar ponselku sembarangan, kurebahkan tubuhku diranjang. Kupejamkan mataku kuat-kuat, bayangan pemuda itu muncul lagi. Tak ada yang salah dengan caranya merayu seorang gadis, hanya saja aku statusku kini adalah dosennya. Bagiku ini sedikit menyinggung harga diriku sebagai seorang wanita, tidak sebagai seorang gadis...gadis berusia matang. Katakana saja gadis tua. Ahhh...
Tuk...tuk..tuk...
Ketukan keras menghantam daun pintuku, aku terperanjat. Apa ada gempa atau bencana lainnya sampai-sampai harus mengetuk pintu sekuat itu.
"Mir, ini kakak..buka pintunya Mir" suara Adira terdengar sedikit panik. Aku segera turun dari ranjang dan membuka pintu.
Adira menghambur masuk sambil memegang pundakku. Bibirnya terbuka lalu menutup lagi seperti mencari pasokan oksigen. Dia mundur beberapa langkah, mengamatiku dari atas sampai bawah.
"emh.."gumamnya sambil menekan bibirnya dengan ujung telunjuk kanannya.
Dia berbalik membuka pintu lemari pakaianku.
"ada apa sih kak?"aku menyusulnya, aku kebingungan melihatnya memilah-milah gamis dilemariku.
"ini belum pernah kau pakaikan" dia menjinjing tinggi-tinggi gamis berwarna peach yang memang belum pernah kupakai.
"belum"
"ya sudah ganti baju mu dengan ini" dia mendorongku kearah kamar mandi.
"iya tapi ada apa?" dia tak menjawab malah menutup pintu kamar mandiku.
"kak...ada apa? kenapa Mira harus pakai baju baru segala sih malam-malam gini"
Ujarku lagi saat keluar telah memakai gamis pilihannya.
"ini pakai..."dia melempar pasminah berwarna senada kepadaku.
" aku tak mau kalau kakak gak jawab alasannya" bantahku.
"Mira,, didepan ada Fatih, Bilal dan beberapa orang lainnya. Dia melamarmu Mir..."
Pasmina yang kupegang jatuh tergeletak dilantai sekenanya. Aku mengerjap, suara barusan apakah benar suara Adira atau hanya halusinasiku semata. Adira terlihat sedikit sibuk didepan meja riasku. Aku menelan ludah, namun gagal. Aku mohon, bangunkan aku dari mimpi ini.
"Mir..Mira, ayo buruan" Adira menarikku. Aku menurut saja, ah tidak aku tak punya kekuatan untuk membantahnya.
Aku tak dapat bersuara, kubiarkan tangan adira bermain diwajahku. Memoles sedikit bedak dan lipgloss dibibirku. Aku bahkan tak dapat melihat wajahku dipantulan cermin. Kuingat lagi kata-kata yang terlintas ditelingaku tadi, Fatih. Apa aku begitu mengharapkannya, ah bukankah aku dan dia berteman biasa, tak ada cinta atau rasa sayang. Tapi mengapa aku bermimpi dia meminangku. Apakah aku begitu frustasi.
Baiklah Almira, saat kau bangun dari mimpi ini kau harus ke psikiater.
"ayo kedepan" Adira menarikku, aku menatapnya lekat. Dia meraih kedua tanganku, lalu tersenyum menghangatkan.
"ini yang kau tunggu Mira, jangan takut, jangan gugup, aku akan selalu disampingmu"
Adira meraih tubuhku kedalam pelukannya. Aku tak bergeming, mataku terasa panas.
Jangan takut Mira, ini mimpimu. Batinku
Semua mata melihat kearahku dan Adira yang perlahan menuruni tangga. Aku makin gugup, tiba-tiba aku merasa mual, tangan dan ujung kakiku terasa dingin. Sekilas kulihat Sarah cengar-cengir disamping mama. Lalu seorang laki-laki menunduk dihadapan papa, diapit Bilal dan Prof. Zainuri, M.si dekan difakultas tempatku menempa ilmu dan mencari nafkah.
Aku menunduk, memejamkan mata sesaat menikmati detak jantungku yang lebih cepat dari biasanya. Oh, tuhan benarkah ini mimpi, alangkah piawainya alam bawah sadarku memainkan peran. Aku sampai tak tau harus mengungkapkan rasanya dalam satu kata, apa kata yang pas untuk rasa ini.
Adira kembali menarik lenganku, untuk menuruni anak tangga lagi. Langkah demi langkah yang begitu lambat. Aku hanya melihat ujung kaki mama untuk tau bahwa langkahku usai dan aku harus duduk disamping mama.
"Mira, laki-laki yang duduk dihadapan papa ini meminangmu untuk menjadi istrinya"aku tak kuasa menahan air yang siap jatuh kapan saja dari pelupuk mataku. Bibirku bergetar hebat menahan haru.
"papa dan mama menyukainya, begitupun Ridho dan Dira, namun kami menyerahkan keputusan ini sepenuhnya kepadamu" suara papa terdengar sedikit asing, ada getaran tak biasa disetiap kata yang dia ucapkan. Mama mengelus bahuku dengan lembut, aku diam saja, menikmati tiap detiknya. Tiba-tiba dua buah jari menjepit punggung tanganku.
"Aw,,,"rintihku. Yang kudapat adalah seringai khas dari Sarah sahabatku.
"ini nyata Almira, bukan mimpi seperti dalam pikiranmu" cibirnya.
Aku mengankat kepalaku, mataku mengitari orang-orang yang kini menatapku dengan emoticon tanda Tanya ditepi kepalanya. Benar, ini nyata, bukan mimpi. Mataku kini berada disatu garis lurus dengan Fatih, lelaki dihadapan ayahku. Matanya seperti pedang yang tercipta dari semburat cahaya, tajam menembus sudut terdalam dihatiku, hangat. Jantungku berpacu lebih cepat, dia membisu, membungkamku yang tak mengenal lagi setiap kata. Aku hanya tau ini seperti mimpi, cepat dan spontan. 29 tahun aku menanti seorang lelaki gagah untuk menyapa orang tuaku dan memintaku untuk dihalalkan padanya. Lalu, respon yang bisa kuberikan hanya diam. Sungguh ironi saat dulu aku mengira aku akan menari, atau berpuisi saat seseorang meminangku.
"calon imamku...aku pernah mengecewakan keluargaku dengan pilihanku yang sembrono, calon imamku...bila engkau menginginkanku, aku tidak ingin seperti pakaian, mulanya menjadi teristimewa namun kemudian dijadikan baju harian bahkan kain perca. Calon kekasih surgaku, jika memang kau ingin mencintaiku, aku ingin cintamu seperti biji mangga. Berkecambah, tumbuh dan semakin tumbuh. Lalu dengan cinta itu akan menebar lebih banyak lagi cinta (buah). Meski akhirnya mati, matinya karena tutup usia, bukan pengabdian terakhir sebagai sesuatu yang menyedihkan.
Papa, dulu aku sangat melukaimu, kini saat hati ini jatuh cinta aku ingin jatuh cinta pada detik restumu dan halalnya suatu hubungan. Papa, restuilah aku pada dia yang Allah berikan untukku, bukan yang aku inginkan."*NB