Almira POV
Udara pagi ini benar-benar dingin, hujan tak berhenti turun sejak petang kemarin. Sebenarnya hari libur begini dengan cuaca seperti ini. Paduan pas untuk mengurung diri dalam selimut, tapi mama subuh tadi sudah menelpon agar aku pulang. Aku meluncur dari apartemenku yang berada didekat kampus menuju rumah mama yang jaraknya cukup jauh. Beruntung, walau sebagian jalan tergenang tapi tidak macet karena jarang sekali kendaraan yang lewat. Siapa juga yang mau keluar rumah kalau tak terpaksa.
Setibanya dirumah mama aku lihat mobil Bang Ridho suami kak Dira sudah terparkir digarasi. Kata mama mereka memamg menginap dirumah mama malam tadi. Aku berlari keteras karena hujan yang kian deras, pintu rumah langsung terbuka.
"aunti...." Sikembar menghambur kepelukanku. Aku membalas pelukan itu, sikembar ini menggemaskian dan membuatku rindu.
Mama, papa dan bang Ridho duduk manis didepan meja makan, secangkir teh mengepul dihadapan ketiganya. Aku melirik seluruh makanan masih utuh dipiring masing-masing kecuali dua piring milik sikembar. Pastilah mereka sengaja menungguku untuk sarapan bersama. Aku merasa bersalah, semenjak aku memutuskan menjadi dosen, aku memilih menyewa apartemen dilingkungan kampus. Sementara kak Dira dan keluarga kecilnya memilih tinggal dirumah yang dibeli bang Ridho saat masih bujangan. Aku sedih membayangkan mama dan papa justru menikmati masa tua berdua, kesepian.
Setelah mencuci piring dan membereskan meja makan, kami memilih mengobrol sambil menonton tv. Aku merebahkan kepalaku dipangkuan mama, entah mengapa hari ini aku merindukannya. Mama dengan lembut membelai kepalaku yang masih terbungkus jilbab.
"jadi kapan kamu ngasih mama cucu?"
Oh tuhan, aku cinta mama, aku tak ingin jauh darinya tapi pertanyaan inilah yang selalu berhasil membuatku tak betah dirumah ini.
"ya,,,mama ngacok deh, suami aja belum ada gimana mau ngasih cucu" kali ini Dira ikut-ikutan. Suaminya terkekeh tapi matanya tetap berpura fokus pada acara tv.
"ya udah kapan Mira punya suami"
Yah...ini adalah pertanyaan intimidasi yang beruntun, aku bosan. Kuangkat tubuhku agar duduk dengan benar.
"nanti mah, Allah sedang mempersiapkan yang pas" selorohku.
"masak iya Mir, kalu masih disiapin Tuhan yah belum lahir dong" uhh siapa yang mengajarkan kak Dira jadi rese gini sih. Yah sudah pasti pria yang kini bahunya bergetar menahan tawa.
"ridho, kamu punya teman gak, promoin dong adik ipar kamu ini" mama meraihku dan mengusap-usap kasar bahuku.
"mira tu sangar ma, yah cowok pada takut. Kalem dikit dong mir" aku mendelik kearah kakak iparku, dia yang terpandai dalam memperolok dirumah ini.
"anak teman papa baru pulang S3 dari Mesir tu Mir, kapan-kapan kita undang yah biar kalian bisa kenalan."
"papahhhhh" kali ini aku tak ada pembela, biasanya papa hanya jadi pendengar dan penonton kali ini juga ikut mengolokku. Lihat kan semua jadi menertawakanku.
Aku berdiri meraih tasku.
"mira ada praktikum hari ini ma, mira pulang dulu yah"
"yah...Mir, jangan ngambek ah" mama menahan tanganku saat aku hendak mencium punggung tangannya.
"enggak kok mah, emang ada praktikum"
Tak menunggu penahanan aku langsung meninggalkan mama yang masih berusaha menahanku, bahkan beliau meminta maaf merasa ucapannyalah yang membuatku pergi. Aku bersikukuh bahwa bukan itu soalnya, aku benar-benar ada praktikum. Semoga tuhan mengampuniku, aku memang malas mendengar keluargaku membahas pernikahanku, tapi aku memang ada praktikum walaupun aku masih punya waktu sekitar tiga jam.
Aku bukan trauma dengan pernikahan, aku juga ingin menikah. Tapi sampai saat ini tak ada pria yang mengajakku menikah. Aku juga takut membayangkan usiaku yang semakin dekat dengan kepala tiga. Aku bahkan selalu diam-diam menangis saat satu persatu temanku mengirim undangan. Tidak hanya undangan pernikahan, aku sudah pernah menerima undangan khitanan anak teman SMA-ku. Aku memijit-mijit pangkal hidungku, tiap kali memikirkan pernikahan kepalaku berdenyut serasa kan pecah.
Aku bukan tak berusaha, aku membuka diri kepada lawan jenisku, walau aku tak ingin pacar-pacaran, tapi tak ada satupun pria yang mendekatiku mau serius denganku. Mereka mengatur langkah mundur saat tau bahwa hubungan pernikahanlah yang aku dambakan. Nyaris setiap malam selama aku tak berhalangan, aku melakukan Shalat malam. Dan satu do'a yang selalu kupanjatkan agar Allah mendekatkan jodohku. Tapi semua belum terjadi, artinya sekarang belum waktunya. Aku yakin Allah pasti memberikanku jodoh namun bukan sekarang, tapi kelak diwaktu yang tepat. Walau aku sendiri penasaran, kapan, dimana, dan siapa jodohku?
**
Fatih POV
Udara masih sedikit basah akibat hujan lebat dari malam hingga pagi tadi, matahari malu-malu mengintip dibalik awan yang enggan beranjak dari langit kota macet ini. Ini hari libur, tapi tak ada hari libur yang benar-benar libur untuk mahasiswaku. Mereka menawarkan diri agar hari libur ini diisi dengan praktikum mata kuliah dikelasku. Beberapa mahasiswi telah datang dan ku biarkan mereka bergosip ria menjelang yang lain datang. Aku juga tak ingin buru-buru mulai karena rekanku juga belum Nampak batang hidungnya. Kuputuskan untuk mengirim pesan singkat untuk memastikan dia jadi atau tidak membantuku, mengingat kali ini kami melakukan praktikum outdoor bisa jadi dia urung turut dalam kegiatan ini mengingat dulu praktikum ini yang paling dia benci.
Saat aku mengetik pesan, kudengar suara mobil berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Aku urung mengirim pesan, kumasukkan lagi ponselku kesaku celanaku. Tampilannnya hari ini lebih casual, persis saat kami kuliah dulu.
Saat dia keluar mobil, beberapa mahasiswiku bersorak, aku jadi tidak enak dengannya. Entah apa yang terjadi selama aku di Jerman dan dia mulai menjadi tenaga pengajar disini, tapi sejak aku kembali aku merasa banyak mahasiswi yang memusuhinya. Tapi dia Almira yang kukenal, kuat dan tangguh, ejekan seperti itu tak akan membuatnya memutar mobil lalu pulang, justru dia mengibaskan ujung jilbab yang menjuntai didepan dadanya.
"kalah cantik mereka" ujarnya saat tepat berdiri dihadapanku. Aku menggeleng geli, harusnya sebagai dosen dia berhak minta untuk dihormati, tapi dia tak melakukannya. Justru menikmati perseteruannya dengan gadis-gadis labil ini.
"aku telat yah...." dia menatap jam yang melingkar dipergelangan kirinya.
"masih banyak yang belum datang kok"
"oo" mulutnya membulat lagi, tiap kali dia melakukan itu aku selalu teringat salah satu ikan dalam akuariumku. Dan hatiku jadi geli dibuatnya.
"harusnya Hanna ikut ni, uh pasti senang dia kalau lihat pemandangan disana nanti"
Aku diam saja tak menanggapi ucapannya, aku tak mengerti, sejak beberapa tahun lalu setiap denganku Mira jadi rajin ngomongin Hanna. Dia melirikku, seperti menunggu reaksiku. Dan seperti biasa pula aku diam saja menikmati rasa penasarannya.
"kamu kok ganteng hari ini Fat" sekilas aku melihat ujung kakinya berjinjit, dia mendekatkan wajahnya padaku. Dia memang harus berjinjit karena tubuhnya yang hanya sebatas bahuku. Kelakuannya ini entah mengapa membuatku gugup.
Hukk,,,ehemmm
Dia mundur lagi, lalu berjalan kemobilnya, sesaat kemudian kembali lagi membawakan aku air mineral.
"makanya kalau dingin gini pake syal, batukkan?" dia menyodorkan botol air mineral padaku.
Aku mengambilnya, dan segera meneguk air mineral itu. Dia menatapku dengan matanya yang berbinar, bibirnya melengkung membentuk bulan sabit, begitu lugu.
"Astaghfirullah.... Zina mata" aku membatin.
Seorang mahasiswa melapor bahwa semua praktikan telah datang. Sebelum memulai praktikum, aku meminta mereka duduk membentuk lingkaran. Sebagian telah duduk serampangan diatas tanah tapi yang lain tampak masih enggan duduk ditanah karena takut mengotori pakaian mereka. Aku pun masih berdiri ditengah lingkaran, jujur saja aku sedikit bingung dengan respon mahasiswaku ketika kupinta duduk santai diatas tanah, sebagian menjerit. Aku menatap Almira, aku yakin dia juga berfikiran sama sepertiku. Beberapa tahun lalu saat kami diminta hal yang sama oleh Dr. Handoyo yang mengampu matakuliah ini, jeritan Mira dan Sarah melengking. Rutukannya tak selesai sampai keesokan harinya, celananya kotor, Mamanya marah, sampai dia harus minum obat cacing. Aku meletakkan kepalan tanganku didepan bibirku menyembunyikan sebuah senyuman.
Diluar dugaanku, aku mengira reaksi almira akan sama seperti dulu atau membentak seperti pak handoyo, tapi ternyata dia memilih bersikap cool. Dia bersila ditengah lingkaran, tak ada rasa jijik, takut kotor atau gengsi seperti dulu. Lihatlah, alam telah mendidik anak manusia ini. Waktu dan persoalan menyulap gadis manja menjadi dewasa. Dengan tenang dia membolak balik materi praktikum. Aku takjub padanya, ada getaran kecil didadaku saat dia mendongak menatapku seolah mengajakku duduk disampingnya. Benar, mereka yang masih ngoceh dan berdiri seketika luruh dan turut bersila meski berbisik-bisik. Aku tersenyum geli, ini masih Almira, dia tak memaksa namun mempermalukan lawannya.
**
Aku sampai di Apartement sebelum Maghrib, lobbi Apartemen cukup sepi saat diwaktu seperti ini. Seorang gadis berjalan kearahku, senyum manisnya menyapaku terlebih dahulu sebelum salam terucap dari bibirnya.
"Assalamu'alaikum da" gadis berpakaian syar'i ini menangkup kedua tangannya didepan dada.
"wa'alaikumsalam warahmatullah, ada apa Han?" kami berjalan beriringan menuju kursi tamu yang ada dilobbi apartemen.
"maaf da kalau kedatangan Hanna mengagetkan, ada hal yang ingin Hanna bicarakan sebelum Hanna pulang kepadang" tutur Hanna saat kami telah duduk berseberangan
"pulang ke Padang?" ya, aku dan Hanna berdarah Minang. Orang tua Hanna tinggal di Kota Padang, sedangkan neneknya adalah tetanggaku di Bukit Tinggi.
"ada hal apa, tiba-tiba pulang" lanjutku.
"tidak tiba-tiba da, sudah direncanakan" wajahnya masih tertunduk.
"lalu apa yang mau Hanna bicarakan" kali ini dia sekilas mengangkat wajahnya. Bibirnya seperti akan berucap sesuatu namun sulit diutarakannya.
"sebenarnya uda...." Suaranya sedikit bergetar. Aku jadi penasaran ada apa gerangan, apa Hanna terkena masalah sehingga ingin meminta bantuanku. Sedetik...dua detik... hanna seperti urung melanjutkan kata-katanya. Aku melirik jam tanganku, pukul 17:35, dan aku belum mandi sementara sebentar lagi magrib.
"Hanna maaf sebelumnya, kalau Hanna ada masalah yang ingin dibicarakan, katakanlah..sebentar lagi Maghrib, uda belum lagi mandi"
"maafkan Hanna Uda" kali ini aku menangkap setetes air jatuh dari mata gadis anggun ini. Suaranya menjadi lebih parau, bahkan seperti tercekat.
"Astaghfirullah Hanna, maafkan kelancangan Uda" aku merasa ucapanku tadi menyinggung perasaannya.
"bagaimana kalau Hanna menunggu disini sebentar, uda mandi dulu. Nanti kalau uda kemasjid barulah Hanna menunggu di apartement uda. Kita bicarakan sambil makan malam saja." Tak ada jawaban darinya. Aku anggap dia setuju, mungkin dia butuh waktu untuk mengatakan permasalahannya. Aku berdiri, namun langkahku terhenti saat sebuah kalimat lugas keluar dari bibir gadis ini.
"apakah Uda mau menikahi Hanna?"
DEG....
Kata-katanya barusan menghentikan waktu sejenak, aku seolah tak yakin dengan apa yang kudengar. Aku berbalik dan menatapnya, kucari kebohongan atau candaan diwajahnya, namun tak kutemukan. Hanna serius mengatakannya, tapi kenapa begitu tiba-tiba.
"Hanna, ada apa ini?"
"jawablah uda, iyo atau indak?" dialeg minangnya kentara kali ini, padahal kami berdua memang jarang menggunakan dialeg minang walaupun bicara berdua saja. Aku jadi tak tau harus berkata apa, bibirku kelu. Tapi gadis ini menanti kepastianku, air matanya kian deras mengalir dipipinya yang memerah dan aku berdosa membuatnya menungggu.
"Hanna, biarkan Uda istikharah dulu, Hanna lebih tau perkara ini tak bisa semudah itu membicarakannnya" kedua tangannya menyeka air mata yang membasahi pipinya yang kemerahan.
"malam ini Hanna berangkat penerbangan jam delapan, Hanna hanya memastikan itu saja." Dia memungut tasnya yang tergeletak begitu saja dikursi.
"Assalamu'alaikum" Hanna berlalu dari pandangan mataku meninggalkan aku mematung seorang diri dalam kebingungan. Selama aku mengenalnya, Hanna buka tipe gadis yang frontal dalam menyampaikan sesuatu, dia tak segamblang Almira dalam menyampaikan sesuatu. Dia bukan pula gadis cengeng seperti Sarah, dia bukan Hanna yang kukenal.
sudah jadi kebiasaanku bangun disepertiga malam, mencurahkan isi hati pada Sang pemilik alam. sejak tadi sore kedatangan Hanna dengan tanpa tedeng aling-aling menanyakan kesediaanku untuk menikahinya, pikiran dan hatiku jadi tak tenang. belum lagi saat ini dia telah tiba di kampung halaman kami. aku yakin, Hanna bukan tanpa sebab bicara demikian.
aku besila diatas sajadah alas sholatku, aku mengadu pada-Nya. Dialah Hanna Al Hamid Binti Hamid Syamsudin perempuan biasa, dengan kadar keanggunan yang luar biasa, putri seorang pensiunan Tentara, petang tadi menanyakan padaku 'bersediakah aku menikahinya?'
Dialah Hanna Al Hamid, S.si seorang teman kuliahku peraih IPK tertinggi setelahku dijurusan Biologi. Memilih karir sebagai fotografer untuk menuntaskan ke'gila'annya pada keragaman hayati CIPTAAN TUHAN. sejak dulu, mimpinya mengabadikan semua yang dilihat mata jernihnya melalui lensa kamera. tergila-gila akan keindahan alam, hutan, sungai dan gunung.
Dialah Hj. Hanna Al Hamid, S.si Binti H. Hamid Syamsudin, kerabat jauhku dari pihak ibu. tak ada yang tau luka yang dipendamnya, hanya sedikit yang aku tau. lelaki yang dia kagumi dulu semasa SMA justru dijodohkan dengan kakak perempuannya.
perempuan anggun dengan tingkat kesholehan dan kematangan ilmu diatas dua sahabat perempuanku yang lain. tapi, baru hari ini aku memikirkannya sebagai seorang perempuan. dia terlalu mandiri hingga kadang terabaikan olehku dan Bilal. dia tak ceroboh seperti Almira, tak pula manja seperti sarah, kemampuan akademisnya kadang diatasku, ketangguhannya setara Bilal. nyaris tak pernah mengadu apalagi berkeluh kesah pada kami, semua tugas kuliah dibuatnya dengan rapi, segala urusan pribadi diselesaikan seorang diri. matanya kadang terlihat sembab, tapi senyum tak lepas dari bibirnya yang dihiasi lesung pipi. pengetahuan agamanya tak perlu diragukan, mengingat dia berasal dari keluarga beragama tinggi. sungguh beruntung laki-laki yang kelak jadi suaminya, sungguh beruntung anak-anak yang kelak lahir dari rahimnya, lalu diasuhnya.
hatiku bergetar mengingat air yang mengalir perlahan dipelupuk matanya. apa gerangan bebannya itu, apa Buyanya dikampung memintanya segera menikah. tabu memang diusianya yang hampir kepala tiga belum menikah, dan tinggal di Jakarta berdua saja dengan Eteknya yang Janda sedang Khairul anak Eteknya tinggal di Pekalongan setelah menikah dan memiliki usaha disana.
"Ya Rabb, andai Hanna memang ditakdirkan padaku tunjukan jalannya, mudahkan segala urusannya. dan...dan..." kali ini aku tak kuasa menahan air mataku.
"bila gadis yang dengan lancang kuselipkan namanya dihatiku, ku sebut selalu namanya dalam do'aku bukanlah orang yang di takdirkan untukku, maka mudahkan juga jalan baginya. hilangkan luka hatinya, pertemuakan dia dengan jodohnya, lelaki yang baik dan dapat melindunginya dunia dan akhirat. ya Rabb Ijabahlah do'a-do'aku 'tiada daya upaya melainkan dengan kuasa-Mu'. aamiin,,,aamiin Ya Rabbal'alamin" kutangkupkan kedua tanganku ke wajah. Aku berserah pada Allah, atas dua wanita yang kini ada dalam do'aku.
**
Almira POV
Entah keberapa kalinya mama memintaku meninggalkan apartement dan pindah kerumah. Hatiku terluka tiap kali aku menolak permintaan itu. Aku memijit pangkal hidungku sambil menunggu lift yang kunaiki tiba dilantai dasar. Kakiku makin lemas saat mataku menangkap sosok pria yang ingin kubuang dari hidupku telah berdiri dilobbi apartement. Kehadirannya sangat menggangguku, mungkin akan kupertimbangkan lagi untuk pulang kerumah mama.
"Assalamu'alaikum al..."
"walaikum salam, ngapain kesini?" ketusku sambil terus berjalan.
"minggu depan Nilah ulang tahun Al, aku ingin kita mempersiapkannya" nada bicaranya antusias, aku menghentikan langkahku yang tadi kubuat-buat seolah terburu-buru.
"kita?" sergahku. Dan yang kudapat hanya anggukan kepalanya.
"dia anakmu mas, bukan anakku" aku memutar lagi tubuhku dan bergegas melangkah.
"dia menganggapmu ibunya Al, setega itukah kamu pada anak kecil Al"
Cukup sudah, pria ini sangat menyebalkan. Aku menggenggam tanganku hingga buku-buku jariku memutih. Ingin kutonjok rasanya hidungnya yang mancung berlebihan.
"cukup yah masa, jangan libatkan aku dalam urusan rumah tangga kalian" aku mengarahkan telunjukku tepat kebatang hidungnya. Dia menatapku lembut, dan itu menghipnotisku, menguap sudah amarah yang tadi melegak-legak. Mata emasnya itu,,,, aku menunduk memejamkan mata.
"jangan ganggu kehidupanku lagi" aku bergegas meninggalkannya.
Tuhan kuatkan hatiku untuk tak tergoda padanya
Jauhkan dia dari kehidupanku
Datangkan padaku benteng yang dapat menjaga harga diriku
Seorang suami...
Andai benar aku di takdirkan memilikinya nanti
Janganlah aku ditakdirkan menyakiti wanita lain untuk mendapatkannya
Aku tau rasa sakitnya,,,
Aku tak ingin ada wanita lain yang merasakannya, cukup aku, aku saja....
"Ya Rabb, Tuhan sekalian Alam... yang membolak-balikkan hati, yang Maha Tahu apa yang tersembunyi didalam gelap, hamba mohon terangkan persoalan yang masih gelap padaku"