Chereads / Istri Rahasia Sang Mafia / Chapter 21 - Pembicaraan Elleard Dan Xavier

Chapter 21 - Pembicaraan Elleard Dan Xavier

Xavier berdiri di sana melihat Elleard dan Elena secara bergantian. Elleard terus saja menikmati kopinya dengan tenang, sama sekali tidak memandang ke pintu.

"Kau datang?" tanya Elleard tenang.

Sudah sejak lama Xavier jarang sekali ke mansion ini. Kalaupun ia datang Elleard lah yang terpaksa memanggilnya. Ia sudah menduga adiknya akan datang begitu mendengar rencana pernikahannya. Ah, pasti Xavier ingin membahas hal itu.

Xavier menarik kursi di tengah-tengah meja makan. Ia berkata, "Ada yang ingin aku bicarakan."

Xavier menatap Elleard saat berbicara, kemudian tatapannya beralih pada wajah cantik Elena. Pandangan mereka beradu.

Elena tampak membuka mulutnya hendak menyapa Xavier, tetapi pemuda itu telah melengos, dan bersikap seolah tidak mengenalnya.

Elena menundukkan wajahnya dan menyimpan sendiri ucapan yang hampir ia keluarkan. Apakah… ini tanda bahwa Xavier tidak ingin Elleard tahu bahwa Elena pernah menginap di rumah Xavier?

"Jangan bicarakan bisnis di meja makan," Elleard berkata masih sama tenangnya dengan tadi. Ia menoleh ke arah Xavier lalu Elena. "Kau sudah pernah bertemu calon istriku."

Calon istri.

Xavier menelan ludah. Ia mendengar langsung dari mulut kakaknya bahwa Elleard memang akan menikah dengan Elena. Ia menoleh ke arah Elena dan mengangguk malas. "Sudah."

Tatapan Elleard lalu beralih pada Elena. "Kau sudah pernah bertemu adikku di pemakaman. Ini Xavier."

Elena bangun mengulurkan tangannya kepada Xavier. Ia berusaha bersikap seformal mungkin kepada pria itu. "Namaku Elena."

"Namamu Elena?" kata Xavier dengan pandangan menusuk.

GLEK!

Elena menelan ludah. Takdir memang suka sekali bermain dengannya. Ternyata pria yang menolongnya serta menampungnya adalah adik dari calon suaminya.

Sialnya saat itu Elena tidak memberitahu Xavier tentang namanya. Ia hanya berputar dengan kata-kata saat Xavier bertanya siapa namanya dan sekarang Elena harus memperkenalkan dirinya kepada Xavier sebagai calon kakak iparnya.

Suasana di ruang makan menjadi hening. Tidak ada yang mau bicara. Elena tidak tahu apa yang harus ia ucapkan, sementara Xavier sendiri sudah dilarang oleh Elleard untuk bicara urusan bisnis saat di meja makan. Karena itu ia diam saja dan menunggu hingga acara makan malam itu selesai.

"Uhm… aku sudah selesai makan," kata Elena akhirnya. "Apakah aku sudah boleh ke kamarku?"

Ia menatap Elleard dan menunggu persetujuan pria itu. Elleard mengangguk dan melambaikan tangan kepada Elena, memberinya tanda agar mendekat.

Gadis itu berdiri dengan patuh dan menghampiri Elleard. Elleard memiringkan wajahnya dan entah kenapa Elena mengerti bahwa pria itu ingin ia mencium pipinya.

Wajah Elena seketika bersemu merah. Ia mendekatkan wajahnya dengan canggung dan mencium pipi Elleard.

"Selamat malam," kata Elleard menepuk lembut lengan Elena. Gadis itu tersipu-sipu dan menggumamkan jawabannya hampir tanpa suara.

"Se-selamat malam…" Ia lalu menoleh kepada Xavier dan menggumamkan selamat malam juga. Xavier tidak menjawabnhya.

Elena kemudian berlalu dari ruang makan itu diikuti pandangan Elleard dan Xavier hingga tubuhnya menghilang di balik pintu. Setelah gadis itu pergi, Elleard melambaikan tangan dan meminta pelayan menuangkan segelas wine untuknya.

"Wine?" Ia menawarkan kepada Xavier. Sang adik hanya mengangguk.

Pelayan menuangkan wine untuk kedua pria itu dan menyerahkannya kepada mereka.

Kursi roda Elleard bergerak secara otomatis ke teras yang menghadap kolam koi. Tangannya yang memegang gelas wine agak bergetar.

Setelah physiotherapi berbulan-bulan selepas ia bangun dari komanya, akhirnya Elleard dapat menggerakkan kembali tubuh bagian atasnya dengan baik, tetapi kadang-kadang tangannya masih akan gemetar kalau ia mengangkat sesuatu dalam waktu yang agak lama.

Pemandangan itu selalu membuat Xavier sedih. Ia tahu bahwa kakaknya terluka begini parah dan akhirnya menjadi cacat karena menyelamatkannya. Kalau saat itu Elleard tidak melompat dan menghadang peluru demi dirinya, mungkin ialah yang sekarang akan lumpuh dan duduk di kursi roda, bukan Elleard.

Xavier mengerti kenapa Elleard kadang-kadang begitu marah dan frustrasi dengan kondisinya dan berharap ia mati saja. Ia sering berkata bahwa kematian lebih baik daripada hidup dengan tubuh cacat seperti ini.

Xavier sadar, kalau ia yang berada dalam posisi Elleard, mungkin itu juga yang akan ia pilih. Lebih baik mati. Namun, sebagai adik, Xavier merasa ia ingin sedikit egois. Ia tak sanggup kehilangan Elleard juga setelah orang tua mereka tiada.

Bisa saja saat Elleard koma, Xavier menyerah dan mencabut semua alat penunjang kehidupan yang mempertahankan nyawa kakaknya. Namun, saat itu ia tidak sanggup melakukannya.

Xavier tidak sanggup kehilangan Elleard.

"Aku dengar kau akan menikah," kata Xavier membuka pembicaraan. "Ternyata itu benar."

Elleard hanya tersenyum mendengar ucapan adiknya. "Ini bukan masalah besar sampai kau harus datang kemari dan menginterogasiku."

Xavier menyesap wine di gelasnya dan mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Mengapa tidak kau lanjutkan saja bersenang-senang dengan berbagai wanita, kalau yang kau butuhkan hanya kesenangan seksual?"

Elleard menoleh ke arah Xavier dan menatapnya dengan pandangan tersinggung. "Itu bukan urusanmu."

Xavier memegang bahu kakaknya, "Apakah kau sengaja menikahinya karena dia mirip dengan Lisa? Dia bukan Lisa. Dia tidak akan pernah menjadi Lisa."

Tubuh bagian atas Elleard seketika menegang ketika Xavier menyebutkan nama wanita itu. Ekspresinya yang tadi tenang kini berubah, diliputi kebencian.

Sekali lagi ia bicara, kali ini dengan nada sangat dingin. "Itu… bukan urusanmu."