Kring…kring…kring…
Suara dari alarm membangunkan tidur nyenyak Radithya. Pukul 05.30 AM. Pria itu duduk termenung lalu mengusap matanya untuk menghilangkan rasa kantuk. Setelah dirasa sudah terbangun sepenuhnya, Radithya pun keluar dari kamarnya menuju kamar mandi.
Radithya melewati kamar Lareina dan mendapati pintu kamar sepupunya itu terbuka lebar. Radithya memicingkan matanya ketika melihat sosok perempuan berambut panjang lengkap dengan seragamnya sedang duduk di depan meja rias.
"Lo mau kemana?" tanya Radithya yang kemudian masuk ke dalam kamar Lareina.
Lareina menoleh ke arah sumber suara sejenak lalu kembali memfokuskan pandangannya ke kaca dihadapannya, "Ke sekolah lah, lo pikir?"
"Iya makanya, lo mau ke sekolah tapi kenapa pake catokan segala? Wait, lo dandan? Mau party lo abis sekolah?"
Lareina menatap tajam Radithya, " Lo kalo ngomong sekali lagi, gue tempelin pake catokan panas ya mulut lo!" tegas Lareina sembari menyodorkan alat pelurus rambut yang sedang ia pegang ke wajah Radithya.
Radithya mundur menjauh dari Lareina, "Lagian, lo ke pesta pernikahan aja kagak pernah mau dandan, lah ini ke sekolah doang heboh banget kayak ibu-ibu mau hajatan." ujar Radithya heran.
"Bacot banget sih lo, Dit. Suka-suka gue lah."
"Hehe. Jangan marah-marah dong, masih pagi juga. Tapi bagus sih, Emang udah waktunya buat lo peduliin penampilan. Lumayan buat menutupi kejelekan lo," ejek Radithya lalu kabur menuju kamar mandi.
"Radith sialan!" teriak Lareina dari dalam kamar.
…
"Wow, Rei, lo kece abis hari ini. Kesambet apa lo sampe dandan sama catokan? Coba dari dulu lo gini, fix Kak Evan pasti kesengsem sama lo," ujar Moezza masih sibuk memperhatikan penampilan baru Lareina.
"Kak Evan siapa lagi?" tanya Lareina.
"Bukannya lo dulu suka sama Kak Evan?"
"Bukan. Kak Evan yang suka sama Lareina, tapi karena sepupu culun gue ini sukanya sama belajar, ditolak lah tuh Kak Evan," timbrung Radithya.
Lareina hanya mengangguk ketika mendengar informasi yang baru pertama kali ia dengar itu. Sepertinya ia menemukan satu lagi kesamaannya dengan Lareina di dimensi ini, mereka sama-sama lebih fokus pada hal penting di masa sekolah dibandingkan dengan urusan cinta monyet.
Masih tersisa waktu setengah jam sebelum bel masuk pelajaran pertama berbunyi. Lareina memutuskan untuk membaca buku mata pelajaran sosiologi untuk mengisi waktu luang. Namun, perhatiannya teralihkan kepada sebuah buku dengan sampul pink mencolok yang ada di hadapan Moezza.
"Itu buku isinya tulisan ide-ide buat nulis novel," jelas Moezza seakan peka akan Lareina yang terus menatap buku miliknya.
"Oh," balas Lareina singkat lalu terdiam. Munculah berbagai pemikiran dalam otak gadis itu. Bukankah ia memiliki misi untuk kembali ke tahun 2022? Mungkin bertanya seorang penulis novel akan membantunya.
"Lo nulis novel fiksi? Genrenya?" tanya Lareina dengan sedikit nada ragu.
"Iya. Gue biasanya nulis romance atau gak fantasi sih."
Lareina mengangguk paham, "Tau soal time travel?"
"Tau! Gue nulis cerita fantasi tentang time travel."
Lareina mengembangkan senyumnya mendengar penyataan dari Moezza , "Alasan karakter lo bisa ngelakuin time travel itu kenapa?"
"Karena mau nyelamatin cinta pertamanya. Romantis banget, kan?"
Jawaban klise dari Moezza membuat senyum Lareina memudar. Wanita itu harusnya tahu bahwa tingkat kreatifitas gadis disampingnya ini tidak akan sesuai dengan ekspektasinya.
"Selain itu coba," ujar Lareina yang membuat Moezza kebingungan.
"Emang nyeritanya mau nyelamatin cinta pertamanya, masa mau cari yang lain alasanya?" tanya Moezza tak terima.
"Bukan gitu, maksud gue, sebagai penulis fiksi, menurut lo ada gak alasan lain orang bisa time travel?"
Moezza mengerutkan dahinya, tanda bahwa ia sedang berpikir, "Hmm… karena dia punya penyesalan? Gak harus cinta pertamanya mati sih, bisa aja dia punya penyesalan tentang kerjaannya, atau mungkin salah jurusan kuliah."
"Penyesalan?" Lareina berpikir dalam-dalam. Gadis itu tidak mempunyai penyesalan apapun. Ia rasa bahwa hidupnya sudah sempurna. Karir stabil, kaya raya, cantik, dan berbakat, semua sudah dimiliki olehnya.
Lareina pun kembali bertanya, "Kalau gak punya penyesalan gimana?"
Moezza memiringkan kepalanya kebingungan, "Emang ada ya orang gak punya penyesalan?"
"Ada, gue."
Moezza menggelengkan kepalanya tidak percaya. Sahabatnya selama tiga tahun ini berubah terlalu drastis semenjak libur kenaikan kelas selama dua minggu.
"Character Development? Yang gue nonton dari beberapa film time travel juga banyak sangkut pautin hal ini sih," ujar Moezza.
"Character development? Maksudnya?"
"Maksudnya, karakter utama punya sifat yang buruk banget, sama tuhan dikasih kesempatan untuk memperbaiki dirinya sendiri dengan cara time travel, gitu."
Lareina menghela nafasnya ketika mendengar pendapat Moezza yang satu ini. Sifat yang buruk merupakan salah satu label yang ia miliki semasa hidupnya. Gadis itu memang tidak pernah peduli dengan perkataan orang mengenai sifatnya, namun bukan berarti ia tidak mengetahui sama sekali mengenai hal itu. Lagi pula, ia merasa tidak ada yang salah dengan sifat ya. Tetapi, ia tidak menyangka bahwa akan disindir dengan cara seperti ini.
"Kalau dengan alasan kayak gitu, cara baliknya gimana?"
"Berubah jadi orang baik lah."
Lareina hanya diam mengangguk pasrah. Orang baik? Seperti apakah definisi orang baik menurut semua orang? Gadis itu tidak akan pernah paham.
…
Mobil yang ditumpangi oleh Lareina, kedua orang tuanya, Radithya, dan Moezza berhenti tepat di sebuah ruko tiga lantai yang terletak di sebuah komplek mall.
Lareina kebingungan karena ia kembali ditemukan dengan tempat asing bertuliskan bimbingan belajar. "Loh, kok gak ke rumah?" tanya Lareina.
"Hari ini, kan, mulai bimbel, Rei. Kamu gak inget?" Mama Lareina membalikkan pertanyaan kepada anak gadis semata wayangnya tersebut.
"Selasa, rabu, kamis. Itu jadwalnya, jangan lupa," ujar Radithya mengingatkan.
"Ya udah, ayo turun. Mau dimulai kelasnya. Makasih ya Bu Farrah, Pak Chandra," ucap Moezza lalu turun dari mobil bersama Lareina dan Radithya.
Mama Lareina menurunkan kaca mobilnya, "Pulangnya Om sama Tante gak bisa jemput. Kalian pulang sendiri gak apa-apa, kan?"
"Gak apa-apa, Tante. Nanti aku anter pulang dua anak ini," balas Radithya sembari mengacungkan jempolnya.
"Ayo masuk! Kalau telat nanti gak bakal dapet stiker poin," ajak Moezza lalu menarik Lareina dan Radithya untuk masuk ke dalam bimbingan belajar tersebut.
Bimbingan belajar berlangsung selama dua jam dan berakhir pukul 18.00. Saat keluar dari gedung, langit sore sudah menggelap. Ketiga pelajar ini segera keluar dari komplek mall untuk mencari angkutan umum yang akan membawa mereka pulang.
"Angkot?!"
Radithya dan Moezza hanya mengangguk mendengar teriakan yang diisi pertanyaan. Lareina menggelengkan kepalanya. Ia tahu apa itu angkutan kota atau yang lebih sering disebut dengan angkot, tetapi seumur hidupnya, ia tidak pernah mau menggunakan angkutan umum tersebut.
"Gak. Gak mau," protes Lareina.
"Mau naik apalagi selain angkot? Udah ah jangan banyak cincong," balas Radithya malas menanggapi tingkah Lareina.
"Taksi. Kan, ada taksi," saran Lareia.
"Ribet manggil taksi disini, Rei. Mahal juga."
Lareina menghela nafasnya pasrah ketika melihat dirinya sudah teruduk di kursi angkot setelah ditarik paksa oleh Radithya untuk masuk ke dalam angkot. Lareina melirik ke arah kanannya, terdapat seorang ibu yang membawa anak kecil duduk disampingnya.
Anak kecil tersebut terus bergeser ke arah Lareina, membuat tempat duduk yang sebelumnya sudah sempit, bertambah sempit. Lareina berusaha menahan amaranya, namun level kekesalannya sudah berada di level 7.
"Bu, anaknya tolong dijaga, ya. Udah tau sempit, geser-geser," ujar Lareina dengan nada sinisnya.
Ibu tersebut tersenyum kecil, "Hehe, maaf, Dek, namanya juga anak kecil," balas ibu tersebut membela anaknya.
"Mau anak kecil atau anak gede, manner harus ada dong, Bu. Gimana sih ngedidik anaknya."
"Dek, saya sudah bilang minta maaf. Lagi pula apa susahnya ngertiin. Anak muda sekarang kok gak sopan banget bahasanya," Ibu tersebut membalas Lareina penuh dengan emosi.
Ingin rasanya Radithya dan Moezza melompat keluar dari angkot tersebut ketika semua pandangan mata penumpang lainya menuju ke arah Lareina dan Ibu tersebut.
"Aduh, maaf, Bu. Teman saya yang satu ini emang rada… maaf, Bu, sekali lagi," tukas Radithya yang pada akhirnya menjadi tumbal untuk meminta maaf kepada Ibu tersebut.
Lareina yang masih kesal mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dikarenakan jam pulang kerja, jalanan jauh lebih padat dari biasanya. Angkot tersebut berhenti berjalan di depan sebuah gedung besar bertuliskan perpustakaan.
Rasa penasaran Lareina akan gedung perpustakaan tersebut mendorongnya untuk bertanya pada Moezza, "Itu perpustakaan umum?"
"Iya. Lo gak inget kita pernah minjem buku di perpustakaan itu? Kita bikin kartu anggotanya juga kok."
Lareina yang masih memperhatikan perpustakaan yang telah terlewat itu hanya membalas dengan anggukan.
"Kenapa? Lo mau kesana?" tanya Moezza.
Lareina kembali mengangguk, "Kayaknya enak belajar disana. Belum ada study cafe gitu kan tahun segini?"
"Study cafe? Ngapain belajar di kafe? Gak berisik apa? Kan kafe biasanya buat ngopi," tanya Radithya ikut menimbrung dalam percakapan dua gadis tersebut.
"Bukan kafe buat ngopi gitu, ada kopinya sih, tapi khu- ah, ngapain juga gue jelasin ke lo. Nanti liat aja 5 sampai 10 tahun lagi," jelas Lareina.
Radihtya mengerucutkan bibirnya, "Dih, tinggal jelasin sekarang apa susahnya. Lama amat nunggu lima tahun dulu."