Chapter 21 - Chapter 21

Aluna nampak tak tertarik lagi dengan topik yang di bicarakan,

Muka masamnya bertambah kusut.

"Aku sudah kenyang mah, duluan ya belum beres-beres kamar."

"Loh kok makannya  gak dihabiskan? Gak enak ya makanannya?

Roti yang tinggal setengah ia tinggalkan begitu saja di atas piring.

Nathan ingin membuka celah masalah yang tengah di hadapi adiknya, ia terus berusaha dengan menyinggung oleh kata-kata yang ditujukan pada sang adik.

"Mah, emang kalo mama lagi hamil mudah kenyang ya?

Pertanyaan sang anak lelakinya itu seakan tak nyambung pada situasi saat ini.

"Ih Nathan kamu aneh-aneh saja pertanyaannya? Dari tadi tentang hamil-hamil saja. Pusing Mama dengernya. apa jangan-jangan kamu sudah hamilin anak orang ya?!!"

Itu dia  pernyataan yang di tunggu oleh Nathan. Ia berhasil membawa arah pembicaraannya pada hal yang akan ia tuju.

Aluna mulai was-was dengan arah pembicaraan tersebut.

Sebenarnya ia telah berdiri dan hendak pergi meninggalkan mereka.

Namun ia takut sang kakak terlalu melebih-lebihkan pembicaraannya pada ibu.

Sehingga tak jadi melangkah dan masih diam bersama mereka.

"Jangankan hamilin anak orang, pacar saja Nathan gak punya mah"

"Terus kenapa pertanyaannya itu-itu saja dari tadi?"

Senyum jahat tersungging di bibir Nathan, sembari menoleh Aluna. ini saat yang tepat untuk membuka permasalahan yang terjadi, pikirnya.

"Tanya saja pada anak gadis Mama.!"

Dug,

Aluna tersentak dengan bola panas yang dilemparkan kakak padanya secara tiba-tiba.

mulai gelagapan dengan tingkahnya sendiri.

Ibu menoleh Aluna,

"Kenapa dengan Aluna? Apa hubungannya?"

Semakin bingung menanggapi ucapan Nathan.

Raut ibunya kini berubah, terlihat khawatir dan cemas memandangi anak gadisnya yang hanya terdiam mendengarkan obrolan mereka sedari tadi.

Ia sudah termakan oleh omongan yang di lebih-lebihkan dari anak lelakinya.

"Aluna kamu baik-baik sajakan?"

Tanya sang ibu, terdengar serak pelan dan menusuk hati.

Ia diam saja, tak mau menjawab.

"Aluna sayang, coba jelasin sama mama masalah yang sebenarnya!!"

Isak tangis tersedu-sedu terdengar pelan dari mulut Aluna.

"Enggak mah, Mama gak sayang sama Aluna.''

"Tidak sayang, mama sayang kamu, juga Nathan."

Mamanya terpejam sesaat dari garis pinggir matanya mengalir tetesan air mata.

"Mama lebih percaya kak Nathan dari pada aku."

Sang ibu meraih kedua jemari anak perempuannya, menunjukkan rasa bahwa ia lebih percaya padanya.

Namun Aluna segera menarik kembali jemarinya di genggaman sang ibu.

"Nak, jangan buat ibumu cemas !, Ayo kita selesaikan masalah ini bersama-sama"

Tak mungkin Aluna menceritakan semua kebenarannya saat ini. karena terlalu beresiko jika Nathan sampai mengetahuinya pula.

Ia lebih memilih tetap diam,

Dan

"Brakk"

"Eerrghh.. aku benci kalian!!!"

Tangannya menggebrak meja,

lalu bergegas meninggalkan mereka.

"Nak, nak ibu belum selesai bicara nak"

Tak ada tanggapan lain dari anak gadisnya selain isak tangis sembari melangkah meninggalkan meja makan menuju pintu kamar, lalu mengurung diri.

Di balik pintu kamar yang terkunci, ia terduduk memeluk betisnya sembari sesenggukan. Menahan tangis yang menyesakkan dadanya.

Di atas meja makan, sang ibu juga tengah menahan nafas beratnya, tangan mengepal di dahi, terpejam berlinangan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi,

Hatinya bagai teriris-iris mendapati anaknya yang hanya terdiam, ketika ditanya soal permasalahannya.

..

"Nada panggilan telpon"

Ponsel mewah dan tercanggih saat ini bergetar dan berbunyi di atas meja samping tempat tidur.

Sebuah tangan meraba-raba di atas meja untuk meraih ponselnya.

"Halo,"

"Halo Bas"

"Iya, ada apa Ren?"

"Gue sekarang udah tau, tempat orang yang gue ikutin."

"Hah, dimana?"

"Dia biasanya suka pada nongkrong di Shanks kafe, mereka gue liat pada kesana."

"Shanks kafe,?"

"Iya, Bas "

"Ok, nanti kita sana.!"

"Hey Bastian, jangan nekat kesana. Sama saja nyerahin nyawa kita sendiri?".

"Ha ha ha, Ren Ren, kenapa? lu takut, ya udah gue datang sendiri kesana."

"Gila lu, itu tempat markas gangster Shanks bas. Abis lu ntar disana."

"Tenang saja Ren, kaki gue dah sembuh. Bisa ngehejar mereka satu persatu "

"Ah, terserah lu.!!"

Tut tut Tut,

"Dasar penakut!!"

Ok sayang, aku akan datang menemuimu walau harus berurusan dengan kakakmu terlebih dulu.

"Tok tok tok "

Pintu kamar di ketuk dari luar.

"Ada apa !!"

"Tuan besar telah tiba dan menunggu di depan meja makan tuan "

Ah, dia lagi. Kenapa harus datang sepagi ini.

...

Aneka macam jenis makanan telah tersaji di atas meja.

Nampak tuan besar yang selalu sibuk kini menyempatkan datang untuk mengetahui kondisi anaknya.

Bastian menuju ke ruang makan, dimana disana sudah nampak tuan besar bapak Artha Wijaya beserta istri telah cukup lama menunggu.

"Selamat pagi nak"

"Pagi Bu,"

"Gimana keadaan kamu?"

"Baik"

"Emmm, Nampaknya kaki kamu sudah sembuh ya?"

"Yaaa, seperti yang kalian lihat. aku baik-baik saja, meski tanpa kalian "

Ayahnya langsung menoleh Bastian berkata seperti itu. Namun tetap diam. Rasa canggung masih membatasi kedekatan mereka.

Bastian sudah tidak berharap dan tak peduli akan kehadiran kedua orang tuanya. Yang telah menelantarkan dirinya diwaktu ia sangat membutuhkan kehadiran mereka di sisinya.

Begitupun sang ayah yang tidak terlalu menganggap kehadiran sang buah hatinya, bukan karena terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing, melainkan ia sungguh tak terlalu cinta dan peduli dengan keluarganya sendiri.

Bukan tanpa sebab atau alasan sampai ia tak terlalu mempedulikan keluarga. Ia terpaksa membangun keluarga itu demi kekuasaan dan martabat yang telah di raihnya semata.

Sang ayah di masa mudanya rela mengesampingkan cinta pertamanya pada seorang gadis yang sudah terjalin semenjak duduk di bangku SMP, demi menikahi gadis kaya raya anak seorang salah satu pengusaha tajir, yang sekarang menjadi istrinya. Dan Meninggalkan sang pujaan hati tercinta, yang telah menikah dengan sahabatnya.

Kemiskinan dan kelaparan yang pernah ia alami di masa lampau, menjadi alasan kuat untuk merubah nasib malang yang pernah di alaminya.

...

"Kami kesini hanya untuk melihat keadaanmu nak" ucap pak Wijaya.

"Hey, apa kalian tak bisa lihat? atau pura-pura tak mendengar ucapanku?"

"Iya nak, syukurlah kau sudah sehat kembali " timpal sang ibu.

Istrinya memegang jemari suami, menenangkan hatinya agar tak terpancing emosi oleh perkataan anaknya yang terdengar menyebalkan dan menyakitkan.

Ia faham betul dengan tabiat sang anak, yang merasa tak pernah di pedulikan oleh keluarganya.

"Baiklah kalian sudah tau kondisiku bukan? Lebih baik lanjutkan bisnis kalian daripada buang-buang waktu disini denganku. Tak ada gunanya."

Brakkk

Ayahnya menggebrak meja makan, emosinya tak terbendung lagi. dan lagi lagi istrinya mengingatkan agar tak terprovokasi.

"Baiklah ibu, ayah aku sudah kenyang melihat kalian, aku pamit banyak tugas sekolah yang akan aku kerjakan"

Cilincing 08-07-2022 04:43 am