"Kau pikir aku akan melepaskanmu, Huh!" teriak pria tua itu. Disela-sela hembusan napasnya yang terengah engah menahan amarah.
Ia mendekat membawa palu ke arah kami.
Aku memeluk bahu wanita itu yang tengah naik turun ketakutan. Kakinya keram tak dapat berdiri. Entah apa yang akan dilakukan selanjutnya. Diangkatnya Palu tinggi-tinggi. Gelisah, cemas merayapiku. Hormon dopamin tak membantu apapun. Beberapa kali kuteriaki untuk berhenti. Untuk menghentikan semua ini. Aku tak kuasa menahan lagi.
Pecahan runcing kaca di lantai kuambil cepat. Kutodongkan padanya. Apapun yang terjadi aku akan menyelamatkan wanita itu. Tak peduli gila atau waras, tak ada yang bisa diharapkan, selain menghabisi salah satu dari keduanya. Ia bukan pembunuh, aku juga bukan pembunuh. Kami hanya harus menjalani ini seperti skenario dari Tuhan.
"Jika kau maju selangkah lagi! Aku akan membunuhmu!" teriakku berderat seribu ludah.
Kenapa tangan kecil ini bergetar? Padahal aku benar-benar ingin membunuhnya.
Pria tua itu sudah tuli atau telah diracuni amfetamin. Kutatap benci, balas dendam, sangat ingin aku melenyapkannya. Segala hal buruk ingin aku jejalkan di mulutnya, aku mungkin hanya akan jadi seorang gadis sampah setelah ini.
"Minggir kau!" pria tua itu mengayunkan palunya ke kanan ke kiri. "Apa kau mau mati juga!"
"Hentikan! Hentikan Ayah!" rontaku di ujung lidah.
Aku menatapnya jera, kuremas pecahan kaca di telapak tanganku. Berharap rasa sakit di perasaanku berpindah ke seluruh tubuh. Hingga mengalirkan tinta merah yang bersepak di lantai. Habis sudah. Mereka siapa? Aku siapa? Kenapa telapak tangan pucat ini tak terasa sakit? Apakah rasa sakitnya telah dihabiskan untuk mereka? Tanpa menunggu alter ego dalam pikiran, aku mengayunkan benda tajam itu. Beberapa detik sebelum pria tua di hadapanku tumbang. Entah masih bernyawa atau aku benar-benar melenyapkannya.
Aku berlutut. Air mata mencecarku. Juga ibu.
Nina POV end
Flashback
"Kakak…" panggil Nico kecil sembari berlari di koridor rumah sakit jiwa. Ia berlari memeluk kakaknya yang berdiri sendu di tengah koridor.
"Kakak…jangan menangis." Nico memeluknya, Nina tersenyum memaksa lalu berjongkok membalas pelukannya.
"Apa kakak sangat sakit? Apakah sakit sekali?" tanya Nico dengan polos, ia memegang pipi Nina lalu mengusap air mata yang luruh di sana.
Nina bercucuran sembari memeluk adiknya.
"Sakit, Kakak sakit sekali, Nico."
Flashback End
"Nico?" panggil Andra.
"Oh." Nico tersentak. Ia menoleh ke arah kakaknya.
Andra menatapnya dan seketika ia tahu apa yang dipikirkan adiknya.
"Kau merindukannya?" tanya Andra.
"Tentu saja. Aku sama rindunya sepertimu."
Mereka berdua hanya bisa menatap Nina yang tengah duduk di sudut ruangan putih itu sembari memandang ke luar jendela. Tatapannya teduh, namun kosong.
Nina POV
Itu hanya sebagian kecil dari ingatan. Jelas sekali tiap aku memaksa memasukinya. Atmosfer begitu dingin. Apa keberadaanku telah menjauh dari Merkurius? Andromeda yang kuimpikan, kabut tipis kecil di langit utara, atau Aurora. Musnah perlahan karena mimpi ini terlalu acak.
Aku menatap lama lubang-lubang lodges yang tertutup lumpur. Kaki keramku mendadak hilang. Berganti hawa dingin air rawa yang menyentuh tumit dan mata kaki. Diantara semua daun-daun yang ujungnya berduri di hutan boreal. Maple layu terbang merendah mendarat di atas rambut kepala. Aku terdiam merasakannya. Kuraba-raba hendak kuraih, namun daun itu telah menghilang, kabur dibawa angin.
"Kenapa masih di sini?" seseorang menyodorkan maple layu itu dari belakang. Beserta suara berat basah khasnya.
Aku tertegun. Ia muncul seraya memegang belati itu lagi. Aku canggung menjawabnya. Hanya terdiam seraya menerima daun itu.
Pria itu melepaskan rantai besi panjang yang melilit pinggangnya. Kurasa ia bukan atlet. Ditaruhnya di dalam karung kumal bertambal. Sesekali ia memicingkan mata sinis. Mulutnya bungkam seribu bahasa. Ia sibuk merapikan barang-barang bawahannya yang aneh, seperti jaring perangkap, tali tebal hitam panjang, dan botol kerdil berisi air, entah jenis apa minumannya. Mungkin semacam cocktail, aku hanya duduk di atas batang pohon besar yang telah tumbang. Tanpa berkata sedikitpun.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.
"A..aku tersesat."
"Tersesat? Bukan karena kau melarikan diri?"
Aku tersenyum kecut memandanginya. Apa ia baru saja mengolok tanpa tahu kebenaran?
"Lalu kau sendiri? Apa akan terus memegang belati itu? Kau berencana melemparkannya padaku lagi?" cecarku.
Ia tersenyum lebar seolah mendengar cerita lawak. Aku bergidik ngeri menatapnya, melihat senyumnya.
"Aku tidak berencana mengotori benda kesayanganku dengan darah manusia. Aku sedang menunggu lutra lutra keluar dari rumahnya, tapi kau mengacaukannya," ia tersenyum lagi.
"Lutra-lutra? Apa itu?"
"Berang-berang Utara."
"Jadi maksudmu tempat ini adalah daerah utara?"
Pria asing itu mengedikkan bahunya.
Desusan berbaur senyap. Memenggal sajak dari lembah basah. Kala temaram makin memakan malam. Berdesir halus tanpa diketahui siapapun. Meringkuk diantara tingginya Birch dan Hemlock. Pori-pori mengembun, menembus jantung paru-paru. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dokter akan memberi obat pada mereka. Jaket tebal berbulu, sepatu boot setengah lutut, tak kubawa semua itu. Seorang pemburu menghangatkan tubuhnya, yang memercikkan api di sekitar unggun dengan pemantik api yang unik, namun tak kuketahui namanya. Arang yang melentik lentik membiarkan diriku hampir tak ingin kembali. Kuharap berang-berang itu segera keluar. Kakiku keram berjam-jam. Tiada yang kuketahui lagi, selain orang asing yang tengah duduk di depanku menawarkan ubi setengah matang.
Aku terdiam menatapnya lama.
Seperti waktu itu. Awan Magellan yang terlihat cantik dari balik teropong. Bersama ayah, semuanya terhapus seolah digenangi oleh air, padahal yang kupunya hanya pensil dan pengeratnya, tapi tetap saja. Itu terhapus seperti disapu muson dari timur. Menyaksikan mega pagi dan jingga menjelang malam. Teduh dan hangat. Mengapa sekarang begitu sepi? Aku menyaksikan delusi gila, yang memakan otakku perlahan.
"Aku ingin pergi dari sini," kataku. "Aku ingin menemuinya lagi."
Sesaat setelah kubuka mata lebar-lebar. Pinus dan Cemara di sekeliling nampak bertambah panjang. Aku mengedarkan pandangan. Suara menyeramkan burung hantu dan burung gagak. Sinar remang-remang bulan bak lilin di rumah. Pria itu mengasah pisau kecilnya. Sesekali poni tipisnya dikibas oleh udara yang mematuhi aliran. Sebenarnya tempat ini sangat menakutkan, tapi kurasa rumah jauh lebih menakutkan. Ia menatapku datar.
"Kau ingin pulang?" tanyanya.
Entahlah. Apa itu yang kuinginkan? Di sini begitu tenang. Tak ada teriakan-teriakan bising. Atau raungan jalang mengenaskan dan kaca pecah yang berjatuhan. Seolah bersahutan seperti suara indah Cenderawasih.
Aku menatapnya, lalu menggeleng pelan.
***
Bayangan dibalik cermin melambai ke arahku. Dipenuhi debu, sayatan, bekas luka, dan memori yang tersembunyi dibalik sakal yang kusembunyikan. Di dalam almari, di bawah meja, di bawah kolong tidurku. Kusembunyikan semuanya. Lalu dari mana datangnya? Jeritan melengking, mirip auman singa. Raungan persis lolongan. Mata memerah, otot sekitar mata terasa perih. Pelipis gerimis., deras keringat bergaris, harapan yang bahkan tak lebih dari sekadar bualan. Angan, apa itu angan? Mimpi, apa itu mimpi? Kosakata itu telah hilang dari kamusku. Telah lama hilang, hingga kulupa.
Pandanganku beredar, buram hitam putih. Seolah kolase album klise, berderet meminta kenangan.
"Ibu…"