Suara seseorang. Berat nan basah. Memecah hujan. Persis seperti...
Aku membuka mata. Seseorang mencengkeram kuat kedua lenganku yang membeku. Kenapa pegangannya bisa sehangat ini? Aku mendapatinya dengan poni basah sebab air hujan. Seseorang yang kukenal. Apa aku telah mati? Atau pria ini telah mati?
"Sudah kukatakan. Pilihanmu bukanlah hal yang baik" katanya lagi.
Aku tersentak. Masih jelas dapat kurasakan hembusan napas. Kulempar lengannya ke udara dengan kasar. Siapa dia berani menghentikanku?
"Br*ngsek kau!" umpatku. "Apa yang kau lakukan!"
"Apa bunuh diri menghilangkan perasaan lelah, gelisah, dan ketakutanmu!" pemburu bodoh itu berteriak disela sela rintik besar hujan.
"Kau benar! Aku lelah, takut, kesepian! Aku takut segalanya. Takut pada rumah tempat untukku pulang, pada ayahku, ibuku, orang dewasa dan....diriku sendiri" raungku berpasrah harap. "Tapi sekarang tidak lagi. Karena aku akan...."
"Hentikan! Aku akan menghentikanmu! Kau terlalu bodoh untuk mati konyol. Sarah....ini bukan hal yang baik"
"Aku tahu, aku tahu! Saat ayah menyiksaku, itu bukan hal yang baik. Saat ibu memukulku, itu bukan hal yang baik. Saat aku ingin membunuh ayahku, itu bukan hal yang baik. Dan saat aku ingin membunuh diriku sendiri, aku tahu itu bukan hal yang baik. Hidupku selalu dipenuhi dengan hal yang tidak baik. Aku paham itu. Aku paham!"
"Aku yakin masih ada jalan yang lain selain bunuh diri. Aku akan membantumu"
"Kalau begitu beri aku alasan! Mengapa aku harus hidup di dunia iblis ini!"
"Kalau kau tak bisa hidup untuk dirimu sendiri. Maka hiduplah untuk orang lain. Bergunalah bagi orang yang membutuhkan."
"Apa kau Malaikat? Atau utusan Tuhan?" aku tersenyum miris mendengarnya. "Astaga. Kau benar benar pers*tan!"
"Baiklah. Kalau begitu matilah kau! Enyahlah dari hadapanku!"
"Apa!"
Hujan terdiam. Membisu membungkam kata. Tanpa gemuruh, tanpa mendung. Mendadak gerimis deras berhenti. Seperti sulap murahan.
"Sarah...." mendadak ia melembut. "Kau bisa memulainya dari awal. Mulailah dari awal seperti bayi. Jika kau jatuh, merangkaklah. Jika terjatuh lagi, merangkaklah lagi. Aku akan membantumu. Aku berjanji"
Tuhan, apa Kau sedang mengujiku lagi? Aku membisu. Bersama hentinya gerimis pilu. Tangisku pecah, raunganku menghantam sekeliling. Aku bersimpuh, terjatuh. Tubuhku kesakitan karena luka penuh darah. Aku tak bisa menahannya lagi. Aku ketakutan, kesepian dan tak mempunyai siapapun lagi di dunia ini. Tapi apa yang bisa kulakukan selain mati? Aku ingin hidup. Aku akan hidup. Aku belum mau mati. Pria itu berjanji akan membantuku. Aku tidak sendirian. Aku tidak kesepian. Air mataku meraung bersama malam kala itu.
Nina POV End
Waktu itu adalah hari kemarin yang berlalu. Waktu sekarang adalah bagian terbaik dalam hidup. Tak ada yang bisa mengubah masa lalu. Tak ada yang bisa mengetahui masa depan. Seperti ilusi yang lalu lalang di otak Nina.
Nina menatap lalu lalang manusia di taman rumah sakit kala sore. Menanti mentari jingga menuju senja, menuju malam. Dengan bekal sebuah buku dan pensil sembari menatap orang orang di sana. Kakek nenek yang bahagia saling bergandengan tangan mesra, pasangan muda mudi berseragam putih abu abu, suami istri beserta bayi mungil di gendongan. Mereka semua sakit. Ya tentu saja mereka sakit, karena suster harus bersama mereka kemanapun mereka pergi, termasuk dirinya.
"Nina, apa mau masuk ke dalam?' tanya seorang suster padanya.
Nina mengangguk pelan.
Orang orang itu pasti pernah hidup bahagia sebelumnya. Meskipun beberapa pernah kehilangan seseorang atau pernah mengalami kesepian. Nina tersenyum, menatap senyum orang orang di sekelilingnya.
"Ternyata mereka lebih kuat dariku. Apakah Tuhan itu adil? Aku masih tidak tahu apa jawabannya."
Kata orang, bunuh diri bukan satu satunya jalan pintas di saat kita terpuruk. Masih ada Tuhan di hati kita, masih ada orang orang yang membutuhkan dan mendukung kita. Orang orang setidaknya meyakininya.
"Apa kau sebahagia itu, berang berang jelek?" suara beratnya memecah lamunan. Ia duduk di sampingku seraya menyilangkan kedua tangannya.
Aku menatapnya nanar. Suster tidak bisa melihat pria itu.
"Kau harus bahagia. Kau harus selalu berfikir, bahwa kau bahagia." Pria itu tersenyum lagi.
***
"Seminggu lagi?" Andra tertegun mendengar dokter.
"Iya. Ini kabar baik. Saya turut lega Pak Andra."
"Be…benarkah Dok? Saya tidak sedang bermimpi kan?"
"Ini bukan mimpi, Pak. Nona Nina akan pulang minggu depan. Selamat Pak, anda akhirnya berhasil membuatnya sembuh."
"Tidak, tidak. Mana mungkin karena saya, itu berkat dokter dan suster di sini yang selalu merawatnya dengan baik. Saya sangat berterima kasih." Andra menganggukkan kepala.
"Anda selalu menjenguknya setiap hari. Meskipun dia tidak merespon kehadiran anda, namun dia tahu setiap kali anda berkunjung. Salah satu faktor kesembuhannya adalah anda, Pak."
"Aku harus bertanggung jawab karena akulah yang membuatnya menderita," batin Andra dalam hatinya.
"Sebelumnya saya ingin memberikan ini," Dokter memberikan sebuah buku catatan berwarna cokelat.
"Apa ini?"
"Setiap pasien memiliki jurnal harian yang setiap hari mereka tulis. Meskipun tidak semua pasien ingin mengisinya. Namun Nina beberapa kali menulis. Kami memberikannya kepada Andra selaku wali."
Andra menerimanya. Mendadak ia gugup membukanya, namun ia memutuskannya menyimpannya di balik saku dalam coat nya.
"Apa tidak apa apa memberikannya pada saya ketika dia belum keluar?"
"Sebenarnya dia membuangnya ke tempat sampah kemarin kemarin. Suster mengambilnya dan dia membuangnya lagi."
"Apa? Kenapa?"
"Sebagai dokter, kami melihat ini sebagai pertanda baik. Kemungkinan besar dia menulis kenangan buruk atau curahan hati ke dalam jurnal tersebut. Dan dia membuangnya karena ingin membuang masa lalunya yang buruk dan menyakitkan. Dia bersiap dengan hidup barunya. Meskipun belum sepenuhnya, tapi Nina mengalami halusinasi lebih sedikit beberapa bulan terakhir. Dia banyak membaca buku di ruangannya. Kami akan mengirim laporan lengkapnya ke surel anda minggu depan. Mengenai keseluruhan perawatan dan lainnya."
"Terima kasih, Dok. Syukurlah kalau itu pertanda baik," Andra tersenyum pelan.
Setelah menerima buku catatan itu, Andra dengan sopan pamit untuk meninggalkan ruangan dokter. Ia kemudian berjalan pelan di lorong dan menatap ke halaman sejenak. Entah apa yang dipikirkan hingga ia melamun. Sampai Nico tiba tiba muncul di hadapannya.
"Sudah selesai?" tanya Nico.
Andra mengangguk. Mereka lalu meninggalkan rumah sakit jiwa.
Nico meminta diturunkan di kafe Nando, sedang Andra kembali ke apartemennya. Ia membuka jurnal catatan itu di kamarnya dengan hati hati dan sedikit khawatir.
Di halaman pertama tertulis sebuah kutipan tangan dari Nina. Ando membacanya.
"Aku menulis beberapa kata di buku. Aku ingin hidup lebih baik lagi. Aku ingin lebih bermanfaat untuk orang lain."
Di halaman selanjutnya.
"Apa kalian merindukanku? Tak apa jika tidak. Aku sudah dewasa sekarang. Dan aku tidak akan menjadi orang dewasa menyebalkan seperti kalian di masa lalu. Namun, aku bersyukur bisa bertahan hingga sekarang. Aku bersyukur dilahirkan ke dunia ini. Dan aku bersyukur memiliki ayah dan ibu. Aku mencintai kalian. Menyayangi kalian. Apapun dosa ayah dan ibu di masa lalu. Apapun yang telah ayah dan ibu lakukan padaku di masa lalu. Aku telah menerimanya. Aku akan menerima apapun yang Tuhan berikan padaku, mulai sekarang. Sekalipun sulit, aku yakin bisa lebih berguna bagi orang lain. Aku berjanji akan hidup lebih bahagia di masa depan. Terima kasih ibu, terima kasih ayah."
Kemudian di halaman selanjutnya.
"Membunuh diri sendiri bukan jalan satu satunya untuk melarikan diri. Aku percaya ada jalan yang lebih baik dari itu. Dia mengatakan itu padaku kemarin."
Kemudian di halaman selanjutnya.
"Aku merindukan ibu dan ayah. Aku merindukan Nico. Aku juga berharap Andi segera pulang agar ayah tidak lagi memarahi Kak Andra."
Kemudian di halaman terakhir.
"Aku ingin segera bertemu dengan Kak Andra. Aku merindukannya. Apakah dia juga merindukanku?"
Andra mendongak menatap langit langit agar air matanya tidak luruh.