"Dr. Casano," panggil seorang asisten perempuan.
Dr. Casano menoleh mendengar namanya dipanggil ketika berjalan di lorong.
"Iya Bu Desi," sapanya. Mereka ngobrol sembari melangkah menuju ruangan Dr. Casano
"Tidak terasa kita sudah menjadi partner lama ya, Dok."
"Iya, Bu," Dr. Casano tersenyum.
"Apa kau sudah menemukan rumah sakit yang baru?"
"Ah itu…" Dr. Casano hanya tersenyum tipis.
"Apa aku bertanya hal yang sensitif?"
"Tidak kok. Aku hanya sedang memikirkan jawabannya. Tapi sepertinya aku akan pindah ke rumah sakit universitas ibu kota."
"Dok, sebenarnya aku tahu kalau kau dulu dari RS Camelia."
Degh.
Dr. Casano berhenti melangkah dan membuatnya tertinggal dari Bu Desi. Bu Desi menoleh ke belekang dna menghampirinya. ia nampak cemas dan merasa bersalah.
"Apa kau baik-baik saja? Aduh maafkan aku ya, Dok."
"Aku baik-baik saja. Tidak ada apa-apa kok."
Bu Desi adalah perawat senior, ia menjadi asisten Dr. Casano lebih dari 3 tahun. Meskipun seorang suster asisten, Casano sangat sopan dan ramah karena usia beliau yang jauh lebih tua darinya. Beliau juga suster senior di rumah sakit itu.
"Berapa lama anda tahu?"
"Itu…aku tidak sengaja melihat berkasmu di meja saat kau keluar. Namun aku tidak membuka berkasnya. Maafkan aku, Dok. Aku tidak sengaja melihatnya."
"Begitu ya," Casano tersenyum ramah. "Tidak apa-apa. Aku memang pernah bekerja di sana, namun bukan pekerja tetap. Aku magang saat itu."
"Tidak perlu dijelaskan. Aku yakin kau pasti punya alasan."
"Aku memiliki seorang adik perempuan. Bu Desi tahu kan? Banyak dokter, suster dan staf yang membicarakannya."
"Itu…apa benar?"
"Tentu saja tidak. Adikku baik-baik saja dan tidak dirawat di rumah sakit manapun. Aku berniat pindah karena dia masuk SMA bulan depan. Jadi aku memilih sekolah di sekitar ibu kota."
"Ah begitu rupanya. Syukurlah kalau dia baik-baik saja. Aku sangat khawatir padamu akhir-akhir ini. Namun aku ragu kalau kau tertekan."
"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Dr. Casano menunduk sopan. "Nona Nina adalah pasien terakhir saya selama bekerja di sini."
"Jadi, kau sengaja menunggunya sampai keluar, begitu?"
"Aku sangat bersyukur dia membaik."
"Iya, aku juga bersyukur tentang itu. Ah ya, kalau sudah pindah nanti tetap berhubungan ya. Aku pasti akan mendengarkanmu."
"Anda mengingatkan pada ibu saya."
"Benarkah?" Bu Desi tersenyum. "Baguslah, kau bisa menghubungiku saat kau butuh seorang ibu. Dan sebaiknya kau juga berkencan. Jangan bekerja terus," candanya.
"Anda persis seperti saya."
Bu Desi terkekeh. Mereka berdua saling melempar senyum.
***
Drfttt drrfttt
Ponsel Dr. Casano berdering saat ia tengah melangkah menuju mobil di garasi rumah sakit. Itu adalah panggilan dari Andra, kakak dari pasien Nina, yang ia tangani.
"Dr. Casano," panggilnya dari seberang telepon.
"Pak Andra?" Casano tak menyangka keluarga pasien akan menghubunginya. Ia masuk ke mobil lalu menaruh tasnya di kursi samping.
"Maaf menghubungi secara personal begini. Aku mendengar katanya kau berhenti dari rumah sakit Dandelion. aku ingin mengucapkan terima kasih padamu."
"Tapi dokter tidak boleh menerima apapun dari pasien atau keluarga pasien."
"Ah bukan seperti itu. Aku hanya ingin bertemu dan mengajak anda minum teh."
"Oh begitu."
"Apakah saya bisa membuat jadwal dengan anda saat anda luang?"
"Tidak perlu berbicara formal. Anda bisa bicara santai dengan saya. Kebetulan saya sudah menyelesaikan pekerjaan saya."
"Benarkah? Anda dimana? Saya bisa membuat reservasi terdekat dengan lokasi anda."
Dr. Casano tersenyum. Keluarga Abraham memang benar-benar orang kaya dan terpandang. Meskipun dia hanya terpaut 2 tahun lebih muda dari Casano, Andra sangat sopan dan ramah. Mereka berdua akhirnya bertemu di kedai kopi dan berbincang ringan. Saat tahu Casano akan pindah ke RS universitas ibu kota, Andra terkejut karena itu adalah tempat dimana adiknya, Nico, menempuh pendidikannya.
"Aku bersyukur anda pindah ke universitas dimana adik saya belajar," kata Andra.
"Dunia memang sempit."
"Apa anda tahu kalau ayah saya dekan di sana?"
"Apa?" Casano terkejut.
"Sudah kuduga anda pasti tidak tahu."
Casano memperhatikan ekspresi Andra yang nampak tidak nyaman ketika menyebut ayahnya. Ia bertanya dengan hati-hati.
"Apa itu masalah besar?"
"Tidak, hanya saja jika dia tahu kau dokter yang menangani putri angkatnya, dia mungkin tidak akan setuju dan mengajukan keluhan ke universitas untuk memecat anda."
Casano cukup terkejut mendengarnya. Semua rahasia tentang keluarga Nina, pasiennya, ia tahu. Dan itu memang tidak pernah jauh dari masalah keluarga. Melihat Andra yang murung, Casano berusaha mencairkan suasananya.
"Teh ini sangat enak," katanya sembari menyeruput teh. "Ini memang kedai terbaik."
Andra tahu maksud Casano. Ia tersenyum lalu menimpali. "Iya,memang enak. Aku pandai memilih kafe kan?"
"Tentu saja."
"Dr. Casano, bolehkah saya berteman dengan anda?"
"Apa?"
"Maaf jika membuatmu tidak nyaman."
"Kalau begitu, mari kita mulai dari awal lagi," Casano mengulurkan tangan kanannya ke depan. "Namaku bukan Dr. Casano, namaku Roy. Salam kenal."
Andra melihatnya dengan mata berkedip-kedip. Ia lalu menjabat uluran tangannya.
"Anda memang orang yang tidak bisa ditebak. Namaku Andra, salam kenal ya, Roy."
"Bukankah kita mirip remaja yang sedang mencari circle pertemanan?" timpal Roy.
Mereka berdua saling melempar tawa kecil. Sebenarnya Andra ingin bertanya tentang adik Roy yang dibicarakan di rumah sakit, namun ia mengurungkan niatnya karena jadi terdengar ikut campur dan tidak sopan. Mereka berdua berpisah saat menjelang sore.
Roy kembali ke apartemennya, ia harus berberes untuk persiapan pindah ke ibu kota. Tidak banyak barang yang dia bawa, namun adiknya pasti kebalikannya, banyak yang harus ia persiapkan. Namun betapa terkejutnya Roy saat ia pulang. Ia melihat adik perempuannya duduk di lantai sembari menatap kosong ke arah pintu.
Roy berlari menghampirinya dengan panik hingga menjatuhkan tasnya. Ia berjongkok, memegang pipi adiknya dan memanggilnya.
"Viola! Ada apa?! Kenapa lagi?" mata Roy berkaca-kaca. Ia memeluknya.
"Kakak…aku melihatnya lagi."
"Apa? Katakan, siapa dia?"
"Dia muncul lagi," dengan wajah nanar dan pucat, Viola menjawab kakaknya. "Dia selalu muncul. Apa yang harus aku lakukan?"
Viola, adik Roy berusia 17 tahun. Dia tidak baik-baik saja. Kondisinya sama dengan yang diderita pasien terakhirnya, Nina. Roy menahan air matanya.