Chereads / For a Youth / Chapter 39 - Aneh

Chapter 39 - Aneh

"Lain kali, jika kau menabrakku. Lebih baik tinggalkan saja aku. Dan kau tak perlu membayar hutang. Karena aku tidak suka," Viola mendecih.

Lagi-lagi pria itu tertegun dengan sikap Viola yang berubah-ubah. Apa gadis ini tidak bisa mengontrol emosi? Gerutunya.

Di depan gedung sekolah. Tiang-tiang meninggi. Juga cemara-cemara. Berdiri tegak di sepanjang jalan setapak yang dipenuhi kerikil. Viola tersenyum sekilas dengan malas. Ia mendahului langkah pria kasar itu sembari melewati gerbang panjang. Disertai luka tertahan. Kakinya memerah akibat terjatuh tadi. Namun tak seperih rasa yang mendekapnya dalam diam. Atau penglihatan yang tidak lebih baik. Atau pendengaran yang tidak lebih baik. Viola memandangi kakinya yang berdarah. Kemudian menghela napas. Ia melesat melangkah ke dalam.

Pria itu tidak benar-benar berfikir untuk bermusuhan yang sesungguhnya. Alisnya menciut. Terbesit dalam diam. Gadis itu seperti tak tahu logika. Dan terus saja berbicara ambigu. Amarahnya tak menentu, meledak tiba-tiba. Mengenai hal-hal yang mudah ia mempersulitnya sendiri. Seolah tenggelam dalam dunianya.

"Aku tidak yakin, gadis itu akan mengingat ruang kelasnya," kata pria itu pelan. Seraya berjalan menyapa gedung sekolah dengan diamnya. Sekilas ia mengingat luka di kaki Viola sesaat sebelum ia pergi tadi. Ah, apa itu sesuatu yang harus diurusnya lagi?

Rindang diantara perbukitan. Menjuntai Pohon Randu. Meninggi Pohon Pinus. Sebuah pikiran yang terlampaui sempit, salahkah keduanya. Mimpi dan kenyataan. Merasa mengawang-awang. Seraya suara desir angin yang basah oleh embun subuh. Mata air di tepian langit. Hentinya udara, bisikan resah. Lalu Engkau?

Viola mematung menahan langkahnya. Melewati bilik dan koridor yang berdesak-desakkan. Nyamuk dan ribuan lalat. Gigi menggertak lidah. Tercekat menahan deru napas. Dirinya melangkah tanpa arah.

"Aku tersesat...lagi."

Lebih baik aku menangisi cerita yang menyedihkan, daripada menangisi hidupku yang menyedihkan. Aku tak mau berambisi lagi, Tuhan. Tetaplah jeritanku melengking. Yang merengkuh hanya bayangan. Berkoar-koar di tempat asing, lagi. Setiap hari.

Mata Viola menyempit. Ia menggigit kukunya hingga bersuara aneh. Sebentar menengok kanan, sebentar menengok kiri. Asing. Lupa. Suara-suara yang menakutkan. Merdu sejenis perdu. Ini sekolah, bukannya hutan. Apa yang ia lihat. Palsu. Ilusi yang semakin tak terbendung. Menggerogoti masa lalu dan kenangan. Nyaris tak dapat dibedakan. Kakinya membisu. Keram tertahan oleh buritan. Dan kabut yang melayang. Menutupi matanya, memerah. Memaksa keadaan. Diteruskan tanpa alasan.

Pintu di hadapannya terbuka. Ruang kelas yang ramai. Harusnya tak salah. Ini memang biliknya belajar. Ia berjalan mengendap-endap di sisi pintu yang setengah terbuka. Suara bising dan keramaian Makanan sehari-hari di sekolah. Viola merendahkan badannya. Bibirnya tertarik ke dalam. Ia memegang kenop bermaksud membukanya. Dengan berhati-hati, ia yakin pasti ini ruang kelasnya.

"Kau tertangkap basah." serang seseorang di belakang.

Viola berhenti mendadak. Pelan-pelan ia memutar kepalanya. Mulai berpaling dari kenop pintu. Betapa terperangahnya setelah melihat pria itu lagi tengah berdiri santai di belakang tubuhnya seperti hendak menangkapnya. Viola lengah, ia hanya membalasnya dengan deheman. Kemudian menegakkan tubuhnya kembali dan melepas genggamannya di gagang pintu. Ia membuang muka malas melihat pemandangan yang sama sejak tadi.

"Apa kau punya sesuatu yang sangat urgensi? Kau itu tidak efisien sama sekali," kata pria itu datar, tanpa rasa.

Viola terdiam. Perih di kakinya baru singgah, setelah bertemu lagi dengan pria yang sama. Seperti sebuah karma. Suasana di koridor sunyi, musim hujan mengusung rongga-rongga dewan sekolah. Beberapa siswa di lantai atas juga tak terdengar suara. Membiarkan kodok mengorek, mencekam nyali kedua manusia. Ditemani percik-percik mentari yang sedikit tertutup awan mendung menyinari bonsai yang tergantung cantik di beranda sekolah. Mereka masih menutup mulut satu sama lain.

"Memangnya aku mau melihat wajah bekumu itu!" Viola mengetuk-ngetukkan kakinya dilantai. Menyeka darah, yang mungkin saja jatuh ke lantai.

"Dasar tidak kompeten. Kali ini 'Lupa' lagi?"

"Jadi kelasmu di sini?"

"Apa kau baru saja menghindar dari pertanyaanku?"

"Kau ini kenapa sih! Masih marah aku membentakmu tadi pagi? Kalau begitu aku minta maaf ...." Viola tersadar.

Ia bahkan tak tahu nama pria dingin itu. Matanya menyipit. Menatap pekat name tag yang tertera di seragam pria itu. Mencuri-curi pandang.

"....Aramba. Sekali lagi maafkan aku Aram."

"Seenaknya saja kau memanggil namaku. Dasar ka…."ucapannya terpotong kala Aram melirik ke bawah mendapati darah segar mengalir pelan di kaki Viola.

Ia terkejut namun air mukanya tak menunjukkan reaksi apapun. Napasnya berhembus pelan. Baru teringat sekarang.

"Kenapa berhenti? Ngoceh saja terus. Toh ini memang salahku," Viola merengut. Kakinya semakin perih. Ia sendiri tak sadar, lukanya semakin membesar.

Tanpa berpaling dari kaki Viola. Aram menarik pergelangan tangan gadis itu dengan cekatan tanpa persetujuan. Tubuh ringan Viola tertarik paksa. Tetapi ia tak mampu menyamai langkah lebar pria bernama Aram itu. Rasa perih membius kakinya. Meregang, meringis menahan sakit. Tadinya ia kira cuma lecet biasa.

Aram menyadari itu. Tanpa pikir panjang ia menarik pinggang Viola, lalu menggendongnya di depan.

"Apa yang kau lakukan!" sergah Viola.

Aram berjalan cepat menuju UKS. Tak peduli ocehan Viola yang sedari tadi menggerogoti gendang telinga. Membiarkan gadis itu meracau dalam gendongannya. Lagipula Viola tak bisa berbuat apapun, selain membiarkannya.

"Lagi-lagi kau membuatku sibuk," kata Aram seraya mendudukkannya di atas ranjang pasien di dalam UKS.

Ia menyeka darah di kaki Viola dengan kapas. Viola mendengus. Kesal menahan ejekan Aram terus menerus. Tetapi ia malas menanggapinya.

Buritan halus. Menyapa dari pohon-pohon di sekitar ruangan putih di sana. Bertirai panjang, menutupi sebagian jendela kaca berukuran sama dengan pintu. Membuatnya bergerak-gerak mengikuti alur. Begitu juga poni pria itu, Aram. Meliuk-liuk, yang hampir menutupi kedua matanya. Viola tertegun. Rambut pria itu yang bergerak sesuai irama angin seperti tidak asing. Seperti seseorang yang pernah ditemuinya. Ia menggeleng keras, membuyarkan pikirannya. Mana ada pria yang mirip dengan Aram. Menyentuhnya seenak jidat seperti itu. Mengingatnya membuat Viola geram ingin menyumpahinya. Meskipun tujuan utamanya baik, tetap saja.

Tidak ada suara sedikitpun. Ruangan UKS sekolah adalah yang paling tenang diantara semua ruangan. Sepi, senyap tanpa nyawa kecuali Viola yang tengah sibuk mengamati pria yang merawat lukanya dengan hangat.

"Ini melebihi separuh harga. Hutangku sudah sepenuhnya lunas." kata Aram sembari terus memberi cairan anti-tetanus pada luka Viola.

"Lunas katamu! A...aku tidak mau berterima kasih" Viola tergagap. Ia mengalihkan pandangannya. "Kau tadi menyentuhku. Kau juga harus membayar untuk itu. Itu adalah hutang. Paham?"

"Kau sedang berkhayal?