"Memangnya siapa kau bersujud di kakiku! Aku bukan ibumu! Siapa yang melahirkanmu! Siapa, huh!" Ibu mengutuk.
Aku menunduk, tergerai rambut coklat panjangku dialiri air mata. "Maafkan aku, Ibu. Aku janji akan jadi anak baik. Aku akan membantu pekerjaan rumah dan belajar dengan baik."
Aku meratap, memohon sesenggukan.
"Aku saja tidak tahu siapa yang membuatmu muncul di dunia ini! Dan kau akan menjadi anak yang baik untukku? Siapa kau berani bicara sampah omong kosong itu!"
Ibu melemparku lagi. Vas bunga kusam di atas meja, yang sisinya retak dimakan rayap. Ia raih dengan kasar. Membantingnya dengan murka. Aku meringkuk di sisi almari bagian dalam. Bersembunyi di dalamnya. Terdengar bantingan kursi, aku terkesiap gemetar. Aku menatap telapak tanganku yang penuh darah, penuh nanah. Tercabik dimakan serangga. Ibu tidak benar-benar melukaiku. Ibu orang yang baik. Di dalam almari yang kosong, yang hanya terisi beberapa baju tua. Aku meraihnya, menghapus aliran darah di telapak tanganku dengan kain-kain itu.
"Dasar tak berguna! Harusnya kau sudah mati di dalam perutku, Anak jalang! Anak haram! Keluar sebelum aku mencincangmu!"
Ibu membanting piring, gelas. Menyobek tirai hingga belati di tangannya menggores beberapa luka di tangannya. Ia meninju, memukuli kaca hingga retak. Kemudian membuangnya. Rinai hujan memakannya. Aku mengawasi ibu dari balik celah sempit almari. Menggila macam psikopat. Tangan ibu bergetar membawa belati. Ia melangkah sempoyongan menuju almari. Aku mengatupkan bibir. Menutup mata dalam-dalam. Apa yang akan dilakukan ibu padaku, Tuhan?.
"Kau hanya perlu keluar dari persembunyianmu. Berdirilah dengan tegap di hadapannya yang tak berdaya. Raih belati itu dan tancapkan di jantungnya. Itu sangat mudah. Kau hanya perlu keberanian untuk melakukannya dengan benar."
Mataku membulat. Bisikan itu merayapiku. Tercetak tebal di dinding lusuh. Alter ego terus berujar. Aku menutup kedua telingaku, menahan rasa sakit. Sedang ibu semakin dekat dengan almari. Segera setelah ia membukanya. Menghunusnya ke arahku. Aku akan segera mati. Apa yang harus aku lakukan?. Sebentar lagi aku akan membusuk jadi mayat.
Aku menangis kepayahan.
Ibu bergerak pelan. Telapak kakinya meninggalkan bercak darah di lantai. Sumpah serapah membusa di mulutnya. Masih tak rela dengan keberadaanku. Tangan kanannya terangkat, pisau tajam di genggaman. Matanya membulat. Ia sudah tak sabar mengiris luka.
"Siapa yang menyuruhmu bersembunyi di dalam sana! Keluar kau bocah bodoh!" teriak ibu. Ia mendekat. Menarik gagang pintu, almari terbuka.
Aku memeluk diriku sendiri. "Jangan bunuh aku, Bu. Aku bersalah. Aku bersalah. Aku minta maaf. Jangan... jangan, Bu.."
Dengan paksa, rambutku ditarik dengan kasar dan keras. Menyeret tubuhku di lantai. Aku berusaha menghalau, menyela. Namun apa daya. Bocah berusia dua belas tahun takkan menang melawan orang dewasa. Setelah menyeretku cukup jauh dari almari. Ibu menghantam wajahku dengan kayu. Lebam terukir di sana. Seolah proletar tak dimanusiawikan. Aku terduduk lesu seolah menyaksikan memo yang sudah mengusang.
"Kenapa kau bisa lahir di dunia ini, huh!" seraya menendang tubuhku dengan kaki telanjang. "Aku sudah menusuk perutku berkali-kali. Lalu kenapa kau masih bernapas bebas! Sedang aku menderita! Apa yang kau inginkan? Siapa yang mengizinkanmu hidup!"
"Aku tidak tahu Ibu. Aku tidak tahu. Maafkan aku. Maafkan aku."
"Berhenti minta maaf dan jawab pertanyaanku! Apa kau ingin aku menusuk perutku sendiri supaya kau bisa lenyap? Kalau begitu aku akan melakukannya!"
"Bu, tidak! Tidak! Jangan begitu. Aku tidak mau Ibu terluka. Aku yang salah Bu, bunuh aku saja!" teriak isak tangis. Aku maupun ibu.
"Aku akan menusukmu sekarang juga. Kau akan segera mati! Dasar anak bodoh!. Siapa yang mengizinkanmu hidup, huh!"
Kedua tangan ibu bergetar memegang belati itu. Di mabuk kegilaan. Kekacauan. Langkah ibu memudar. Namun tak berhenti menodongkan pisau kecil itu ke arahku. Aku masih tak berpaling. Menunggu ajal di sekeliling. Meraung dalam malam pening. Kasih sayang ditelan hening. Lampu redup, menguning. Berpacu waktu. Kala Desember, mengubah hari. Ibu telah tertipu. Terlalu banyak pria di hidupnya hingga ia tertipu. Akulah penanggung tipuan itu.
Sebentar lagi. Ibu sampai di hadapanku. Ia menghembuskan napas berbau roh jahat. Menarik pisau, sesegera menancapkannya di tubuh mungil kecil tak berdosa. Ibu bersiap. Meraung, ingin di sudahi segalanya. Namun tiba-tiba muncul seseorang tanpa undangan.
"Aku yang mengizinkannya."
Suara yang tak diinginkan oleh Ibu, seolah menggelegar di seluruh ruangan.
Seorang pria muda dua puluh tahunan. Mencekal tangan ibu. Telapak tangannya berlumuran darah. Memegang sisi runcing dari pisau itu. Namun ia tak sedikitpun merintih kesakitan. Aku ingin mendekatinya. Menyuruhnya pergi. Supaya ibu tak melukai siapapun lagi. Supaya tak memarahiku lagi. Ibu terdiam lama akan kedatangan pria itu yang tiba-tiba. Tanpa sadar, pisau itu terjatuh. Menimbulkan suara di lantai. Bersama darah segar mengalir tak hentinya. Memenuhi seisi rumah. Semua orang membatu. Hanya terdengar badai di luar rumah yang semakin membesar dan buritan kencang.
Besok bukan hari yang baik untuk kulalui. Aku meratap. Ibu meratap. Entah bagaimana dengan pria muda itu.
Helai rambut di kepala yang semakin habis. Ibu masih tak sudi. Belum puas dengan luapan emosi yang mengotori otaknya. Aku tak mengukirkan senyum. Pria itu membiarkan ibuku berlalu dengan semua sikap gilanya. Aku tak bisa melakukan apapun. Aku ingin menolong ibu yang berteriak tak waras. Aku ingin menyelamatkannya. Tapi bagaimana?. Aku memandangnya nanar, menghampiri pria itu. Ia nampak meringis menahan perih lukanya. Karena ibu. Aku menghampirinya dengan bersimbah air mata. Hingga membengkak besar.
Aku berlarian ke arah pria itu. Senja mendadak menghentikanku. Semburat jingga menjagal kakiku. Mendung di awan sana. Menyusuri beberapa album lama. Segalanya berubah. Arang menghitam. Mengabu kelabu. Menuturkan sendu. Disela-sela rindu, katanya. Menghabiskan, memudar. Aku hilang, tersesat di ribuan kabut. Katanya aku tak berdosa. Tetapi sayangnya, akulah penanggung itu. Tanpa dispensasi. Tanpa tunjangan. Tanpa cinta.
***
Viola POV end
"Kakak!" Viola berteriak. Terjaga dari istirahat panjangnya. "Maafkan aku, Kakak!" serunya.
"Hei, tenanglah. Aku di sini. Tidak apa-apa. Kau baik-baik saja," sahut dokter itu di sisi ranjang, sembari menenangkan kedua bahu Viola yang bergetar.
Viola menatap khawatir pria di hadapannya. "Tidak bukan aku, Kak. Tapi kau! Apa kau terluka? Kau berdarah karena aku! Jangan benci ibuku. Kumohon." Viola memegang kedua lengan kekar dokter itu. Memohon dengan air membulir di pelupuk matanya.
"Aku benar tidak apa-apa. Sudah lama sekali kau tak memanggilku dengan panggilan itu. Apa kau mimpi buruk lagi?" tanyanya.
Viola mendesah resah. Ia masih meneliti bagian telapak tangan pria itu. Depan, belakang, semua ditelitinya. Kalau-kalau ada darah berserakan di sana. Namun tak ditemukan apapun. Telapak tangan miliknya bersih. Tanpa noda, tanpa bercak darah. Masih gelisah, Viola meniup-niupnya padahal tak meninggalkan luka maupun goresan. Dokter menahan senyumnya yang mengembang.