Chereads / For a Youth / Chapter 46 - Masa Lalu

Chapter 46 - Masa Lalu

"Aku sungguh baik-baik saja. Sudah jangan menangis lagi," diusapnya pipi Viola yang dibanjiri air. "Lain kali jangan terlambat minum obat. Kalau tidak, aku akan menyuntikmu dengan cairan yang lebih menyakitkan. Paham?" Dokter menasihatinya lembut.

Viola mengangguk lemah.

Fajar menyelimuti ruangan bernuansa cokelat susu. Air muka Viola masih mengerut. Ia beranjak dari ruangan. Membersihkan diri dan bersiap dengan rutinitas paginya.

Dokter akan membangunkannya, membuatkan sarapan, menawarinya tumpangan ke sekolah. Hidupnya tergantung dengan dokter. Ia hanya benalu yang menumpang dan membuat orang lain susah bertahun-tahun. Namun tetap saja Viola tak bisa biasa saja. Dirinya merasa aneh membuat orang asing keberatan mengurusnya.

Viola mengepak peralatan tulis ke dalam tas. Buku-buku, ponsel, headphone. Mimpi, harapan, kebahagiaan sekalian. Semuanya ia rapikan, meski tak bisa selamanya rapi seperti apa yang ia harapkan. Waktu menunjukkan masih sangat pagi. Terdengar deru suara mobil di depan gedung apartemen yang tak terlalu mewah itu. Viola bergegas menenggak susu yang disiapkan dokter. Ia meraih tas punggungnya, sedetik kemudian berlari menuju halaman depan. Dokter tengah berdiri di depan pintu mobil.

"Kau mau pergi ke rumah sakit sekarang?" tanya Viola terengah. Ia menghampiri dokter.

"Hem, kenapa?" sahut dokter datar. "Jangan bilang kau mau menumpang."

"Yah bukan begitu. Ini masih terlalu pagi. Lagi pula biasanya kan kau yang menawariku tumpangan."

"Lalu, siapa yang biasanya kabur duluan saat aku menawari tumpangan?" balas dokter. Viola mengengeh.

Dan pada akhirnya Viola tengah menghirup udara segar melalui jendela mobil yang terbuka. Menikmati matahari yang masih tertutup sebagian. Cemara-cemara meninggi di sisi jalan. Hampir menabrak awan putih. Ia menjulurkan tangan keluar jendela. Embun menerpa telapak tangannya. Damai dan nyaman. Seolah ia benar lupa akan dunia. Viola terpejam. Tanpa ia tahu dokter tengah menatapnya dengan senyuman.

Bel berdentang. Mereka sampai tepat waktu di depan gerbang sekolah. Viola cukup tersanjung. Kalau begini, lebih baik ia tak menolak tawaran dokter untuk mengantarnya tiap hari. Tidak perlu berperang lagi dengan polusi jalan raya. Dan tertidur di tempat yang tak ia ketahui.

"Kakak," panggil Viola. "Maksudku....dokter, hmmmm... terima kasih," ia berdehem pelan, menghindari tatapan mata dokter padanya.

"Kakak?" dokter mengoreksi kata-katanya. "Tidak apa-apa jika kau mulai memanggilku kakak lagi. Aku tidak keberatan."

"Tapi aku yang keberatan."

"Ya sudah terserah."

"Jangan berkencan, Kak." Kata Viola lagi.

"Kau ini kenapa lagi? Tidak biasanya sikapmu begini."

"Jika kau berkencan dengan wanita yang lebih cantik dariku. Kau pasti melupakanku. Kau akan meninggalkanku. Ya kan?"

"Sudah kuduga. Kau itu tidak bisa bermanja-manja dengan orang lain selain aku. Kau sudah membuatku susah bertahun-tahun. Sudahlah, belajarlah yang rajin. Kau itu masih empat belas tahun. Tahu apa kau tentang hubungan semacam itu." Dokter mengelus kepalanya dengan lembut. Seolah kakak kepada adiknya.

"Jadi kau sudah menemukan wanita tipemu? Jujur! Sudah kan?"

"Yah, sepertinya." jawabnya ambigu.

"Dasar Dokter Sinting!" umpat Viola.

"Itu adalah hadiah. Kau hanya harus menjaganya dengan baik" pesannya. Dokter berlalu meninggalkan Viola yang mematung di sana.

Hadiah? Apa maksudnya? Apa semacam kado antar-saudara?

Rasanya seperti berbeda, kosong jika Dokter benar-benar meninggalkannya. Saat disentuhnya, meski hanya puncak kepala saja. Terasa hangat dan berdebar. Lalu apa yang akan terjadi jika kakak sudah tak ada di sisinya lagi. Ia bukan saudara yang sebenarnya. Hanyalah orang asing yang tak sengaja diselamatkan. Apa yang akan terjadi pada hidupnya setelah itu? Rumah sakit jiwa? Atau penampungan? Viola menghela napas. Ia benar-benar tak bisa membayangkan. Juga tak bisa membencinya walaupun setiap hari mengumpat kasar pada kakaknya. Rasanya hening jika hanya sendirian saja.

Sangat berbeda dan tidak nyaman. Lagipula dirinya tak akan membiarkan hal itu terjadi.

Flashback end

Viola berdiri ditemani bayangan. Memori saat ia masih kecil. Dokter merawatnya dan selalu menyelamatkannya di kala genting. Melindunginya dari ibunya yang jahat. Ia membenci psikiater yang mencekokinya obat, ia juga benci ibunya yang memukulinya. Ia bahkan tak sadar saat itu membuat Kak Roy harus dipecat dan keluar dari Rumah Sakit Camelia.

Viola seolah tenggelam ke dasar laut. Tanpa seseorang. Membekas peluh di atas kertas. Masa yang semakin melapuk. Membawanya lari. Dering ponsel palsu. Panggilan seseorang yang sebenarnya hanya mengada. Menepis sendu diiringi perdu. Kalimat yang tergelincir dari mulutnya. Dosa menumpuk seperti daun layu. Terbakar namun tidak hangus. Viola mengingat seseorang. Yang memberinya bubur kala ia sakit. Memberinya kompas ketika ia tersesat. Ponselnya berbunyi. Dari manakah? Ia masih berkutat. Sekitarnya berubah seram seolah pemakaman. Setiap malam, penuh. Angin menyerbunya. Emas atau eldorado. Viola mematahkan pikirannya yang runyam. Beserta dingin napas mengepul. Mendadak gelap, hitam, membayang. Tempo lalu di jalan setapak. Kapan, lama sekali. Seseorang merengkuhnya dalam genggaman. Menggendongnya penuh ketulusan. Merindukah ia? Viola mematung. Sesekali, lalu lalang orang bergerak cepat. Sesekali bergerak melambat. Buram seperti memori sepia. Seperti gundah, seperti resah.

Bersandar di dinding tak bertuan. Viola mengangkat ponselnya. Berbicara tanpa alasan. Dengan siapa. Seorang pria melewatinya. Rambutnya hitam legam. Coat panjang melekat di tubuhnya. Menutupi seragam sekolah. Ia tertipu lagi. Di musim gugur kemarin.

"Alfa," gumam Viola pelan.

Sorot matanya memusat. Ponselnya mendadak mati. Viola berlari. Koridor demi koridor. Setiap ruangan ia buka paksa. Mencari seseorang yang lama. Atau hanya mimpi belaka. Ada banyak murid melintas, namun tak ditemukan satupun. Gedung ramai sementara pikirannya senyap. Langkah kakinya melemah perlahan. Kelelahan. Di bukit belakang tak ada siapapun. Perpustakaan tak ada. Viola menarik bibirnya ke dalam. Sorot matanya menerawang. Ia berpikir, tadi benar-benar dia. Sampai tiba-tiba, seseorang menegurnya dari belakang.

"Berhenti melamun," ujar seseorang.

Viola menoleh. "Aram! Kenapa kau di sini?"

"Ada apa dengan ekspresimu? Kau seperti melihat hantu."

"Maaf, maksudku bukan itu...tapi..." Viola menatapnya aneh. Mungkin ia salah lagi. Halusinasi.

"Apa kau kehilangan sesuatu?" tanya Aram khawatir.

"Ya, aku baru saja...kehilangan" pandangan Viola kosong.

Aram mendapati Viola tengah melamun lagi. Matanya membesar, memikirkan sesuatu yang menekan otaknya. Bahkan tak berkedip sedikitpun. Ia memanggilnya beberapa kali. Namun Viola makin tenggelam dalam dunianya sendiri. Aram terdiam. Membiarkannya menelusuri dirinya sendiri yang tak pasti.

Waktu berputar. Musim berputar. Bumi berputar. Bayangan berputar. Seolah Viola mengikuti mereka semua berputar. Dirinya lalai dan menggumpal di suatu tempat. Sumur-sumur mengering. Rerumputan layu. Batu berserakan. Kehilangan garis finish. Tak mencapai titik akhir. Penuh penekanan dari segala arah. Ia mengikuti sugesti atau diperdaya ilusi. Viola menanti senja mengayun. Mengais sisa jejaknya di trotoar. Melangkah seperti pecundang. Skakmat di tempat. Viola terhenti, ditatapnya langit menguning. Sampai kapan ia tertidur? Apa ia sudah bangun?