Chereads / For a Youth / Chapter 32 - Ibu

Chapter 32 - Ibu

Terus berjalan. Terus berjalan. Tanpa melihat ke belakang. Aku menatap sekeliling.

Ramai.

Suster suster sedang sibuk mengurus pasiennya masing masing. Ada yang menyuapi pasien di ayunan taman, ada juga pasien yang mencoret coret wajah susternya dengan crayon, bahkan berlarian ke sana kemari di koridor. Aku agak cemas dan gugup. Akan seperti apa keadaan ibu nantinya. Apakah sama seperti mereka? Atau lebih dari itu? Entahlah.

Pintu berdecit. Aku memasuki ruangan sempit di sana. Tertegun menatap seseorang yang duduk di depan jendela yang menghadap arah terbitnya mentari. Beserta ranjang kecil dan meja pendek yang penuh dengan obat dan alat injeksi. Sinar pagi masuk ke celah celah ventilasi. Menembus jendela kaca, hangat. Namun, tidak baginya. Hari hari di rumah sakit jiwa hanyalah dingin dan kehampaan. Aku menutup pintu perlahan. Ia masih tak bergeming, tak mengetahui keberadaanku. Aku membisu, memandangi tubuh kurusnya. Apakah ia makan dengan baik? Apakah ia tidur dengan nyenyak setiap malam?

"Ibu..." panggilku pelan. Lama sekali, ia menoleh.

Rambut panjangnya telah memendek. Dengan sedikit uban. Kusut, lepek, berantakan. Matanya memerah, bengkak. Kukunya memanjang dan kotor. Bibirnya pucat, gemetaran. Alisnya hampir memutih meski usianya belum terlalu tua. Ia memandangiku, mengingat dengan keras. Udara membungkam satu sama lain. Cahaya yang menyilaukan mata di ufuk timur. Memaksanya melihat keberadaanku di dekatnya. Air matanya mengalir pelan di pipinya yang tirus. Deras bercucuran. Kenapa keadaan ibu seperti ini? Aku menyeka air mata dengan susah payah.

"Aku...bukan ibumu" ujarnya lemah.

Aku mendekat, memegang telapak tangannya yang hampir membeku. Kucium, kuhirup aroma lembut ibu. Masih sama sejak dulu.

"Aku bilang aku bukan ibumu!" ia menampik tanganku ke udara dengan kasar.

Ia bangkit dari duduknya. Diraihnya lampu di atas meja. Membantingnya ke lantai dengan keras. Meraung, meraung di atas segalanya. Di atas keputusasaan. Gelas kaca dilemparnya ke jendela. Hingga berdarah tangannya, kakinya. Ibu berteriak menyuruhku mati. Ia menggila, menyumpahiku agar cepat mati. Ia tak sudi, tak sudi lagi melihatku.

"Setelah membunuh ayahmu, kau berani datang ke sini, huh!" raung ibu.

"Ibu sadarlah..." aku memegang lengannya berusaha menenangkannya. Namun lagi lagi sama seperti sebelumnya. Pukulan, tamparan, tendangan. Hanya itu yang kuterima.

"Dia menyayangimu! Mencintaimu! Tapi apa balasanmu padanya? Kau bukan anakku! Kau lebih pantas mati daripada dia!"

Mengapa aku harus menangis darah lagi? Mengapa ibu menyalahkanku? Ayah meninggal karena kesalahannya sendiri. Ia pemabuk dan perokok. Pekerjaannya hanyalah bermain wanita di luar sana. Wanita satu, wanita dua, begitu seterusnya. Benar benar tua bangka yang menjijikkan. Apa ibu begitu mencintainya hingga ingin membuangku? Aku bahkan menyumpahinya agar cepat mati.

Aku berlari keluar dari ruangan menyesakkan itu. Sesak sampai ingin mati. Sampai tidak ada lagi yang bisa menemukanku. Sampai dunia tak bisa melihat keberadaanku. Semuanya sudah selesai. Mata bercucuran tiap hari. Siksaan makanan setiap saat. Tak ada lagi jalan keluar. Semuanya berubah menjadi jalan buntu. Ingin melarikan diri. Aku lelah. Ayah, ibu.

***

Kakiku melangkah gontai. Debu yang tertinggal di sepatu dan sekujur tubuh. Membiarkan hari dimakan lelah. Berbicara dengan udara kosong. Terseret Maple layu beraroma hembusan buritan. Tertimbun di sela sela bukit. Rumput meliar di sepanjang kerikil. Melukai telapak kaki. Tanpa mengalirkan darah, nanah. Atau pisau di jari jari ibu. Yang ku telan tanpa air. Tercekat di dalam tenggorokan, yang merobek kerongkongan. Menyesakkan paru paru, diafragma tua. Aku dan secercah mimpi lama, angan usang. Semuanya. Telah terbakar cuma cuma tanpa abu yang tersisa. Jumlah rambut di kepalaku mulai menipis. Memutih tanpa sebab. Bukan Albino. Bola mataku entah, berwarna apa.

Tiap aku membuka pintu kamarku. Tak ada siapapun. Tak ada orang orang di sekitar. Tak ada makanan yang bisa kumakan di rumah bak istana ini. Hanya tinggal aku dan kastil bisu ini. Tanpa siapapun. Jeritan memaksa. Gurauan karma. Lelucon beradab. Lenyap. Merasa berdosa, biadab. Seperti pelacur yang kehilangan keperawanannya. Aku enggan bercengkerama dengan lantai kumal. Genangan darah yang telah mengering. Anyir seperti bekas pembantaian. Bau amis menusuk bulu bulu hidung. Ruangan besar dua lantai. Yang dindingnya retak di sudut sudut. Cermin besar di tengah tengah. Pantulan siksa.

Pikirku. Akankah ada seorang wanita datang, mengaku dihamili ayahku? Atau bayi mungil masih berwarna merah, tergeletak di depan keset pintu. Mengiang di otak kanan, otak kiri. Lagipula rumah megah ini hanya milikku seorang sekarang. Kalau aku mati, pasti akan berjalan lancar. Ibuku gila dan ayahku mati. Apalagi yang aku butuhkan. Aku sudah sangat puas. Aku tidak kesepian. Aku tidak kesepian.

Tirai mengepak ngepak dilantai atas. Tangga licin berkelok, suara petir menembus dinding dinding koyak. Deras membasahi halaman depan. Jalanan setapak dipenuhi lumpur hitam. Hujan diantara senja malam itu. Apakah langit menangis karena orang tua bodohku menghilang dari rumah ini? Pintu membuka menutup, digedor gedor meminta pengunci besi kuningan.

Senja memakanku. Malam kian perdu. Tak ada bintang Orion, Pohon Spruce, Juniper, Liana. Semuanya yang kulewati, kumiliki. Kutelan dalam pilu dan sengsara buatan Tuhan. Kenapa Kau masih membiarkanku bernapas, Tuhan?

"Jawab aku! Jawab aku jika Kau masih duduk di sana Tuhan! Kau melihatku, tapi tidak menyelamatkanku! Kenapa Kau membiarkanku hidup! Kenapa! Jawab aku!"

Meraung, mencakar, meracau. Suara hujan mengguyur dan fohn tak meredam lolonganku. Lolongan mirip Anjing Hutan di Bolera Utara kala itu.

Aku menaiki tangga licin dengan susah payah. Gelap. Tak ada lampu. Hanya sinar rembulan remang remang mirip lilin di gubuk tua. Sesekali gemuruh langit berwarna kebiruan menyengat rumah, hingga muncul sinar terang sekejap. Telapak kakiku perih, darah mengalir dari anak tangga. Begitu juga telapak tangan. Dipenuhi sayatan, luka lebar merobek sunyi. Tak seperih apa yang kualami. Rambutku tak karuan. Piyama putih penuh darah, tak kupedulikan. Sekujur tubuhku mengalirkan darah. Persis seperti mayat. Namun dimana rasa sakitnya? Apakah Tuhan telah membuatku kebal supaya aku tak mati mati? Pisau kecil, pisau besar. Menetes dilantai. Menemani malam terakhirku.

Aku melangkah lemah ke atas balkon rumah. Deras semakin laras. Gerimis makin mengemis. Petir dan gemuruh makin meremuk tulang. Dingin merambah asa. Mimpi, angan, harapan. Akan kubuang malam ini juga. Akan kuhapus jejak yang ditoreh ayah, jejak yang ditoreh ibu. Persetan dengan orang dewasa. Aku tak sudi menjadi dewasa. Namun kaki dan lengan masih lemah.

Perlahan, pelan kulangkahkan kaki. Menuju batas balkon dilantai atas, tanpa pagar, tanpa genteng rapuh. Hujan menyerang tubuhku tanpa menghiraukanku. Aku melihat kota malam yang indah. Diterangi bulan meski stratus hitam bertebar dimana mana. Aku melihat luasnya kota, luasnya dunia berkoar koar. Meski hujan membekukan kulit dan pori poriku dengan rakus. Hanya aku sendiri yang begitu melelahkan, menyedihkan.

Pisau terjatuh dari genggaman. Aku menengok ke lantai dasar rumahku dari atap. Kenapa balkon ini begitu tinggi? Apakah jika aku mendarat di bawah sana, malaikat akan segera menjemputku? Air hujan membuat pijakanku semakin licin. Namun aku tak gentar sedikitpun. Inilah akhir. Kiamat bagi hidupku.

Tanpa gemetaran. Dengan kuhela napas berat nan panjang. Kupejamkan erat erat kelopak mata. Kaki kanan menggantung di udara. Jika kulepas kaki kiriku, apa aku akan benar benar jatuh ke bawah sana? Apakah mati rasanya begitu sakit? Tanpa kusadari hujan bertambah deras tiap detik. Aku mengenyahkan pikiran burukku mengenai kematian. Aku bersiap. Lalu sesaat kemudian, akan kuakhiri segalanya. Dengan mata terpejam.

"Jadi hanya ini? Acara bunuh diri konyol yang sudah kau rencanakan sejak dulu?"

Hening.