Rumah kecil itu terdengar begitu bising. Ribut oleh sepasang suami istri yang saling berteriak. Barang-barang berhamburan. Piring ataupun pas bunga sudah pecah belah di lantai. Begitulah kacaunya suasana rumah itu dan itu hampir terjadi setiap waktu, hingga membuat safir, seorang anak cewek berambut panjang dengan mata coklat terang yang tengah bersembunyi di bawah meja makan itu menjadi terbiasa dengan segala keributan.
Safir duduk dengan memeluk kedua lututnya. Ia tidak takut lagi, sudah menjadi kebiasaan mama dan ayah tirinya bertengkar di depannya. Saking terbiasanya, ia tidak lagi menangis dan menghadapi masa kecil tanpa kasih sayang dengan senyuman. Hanya saja terkadang ia harus bersembunyi untuk melindungi diri dari amukan ayah tirinya. Ia tidak mau merasakan lebam lagi--setidaknya sampai lebam di lengannya memudar.
Kedua orang dewasa itu makin berteriak. Kali ini suara kursi kayu yang ditendang terdengar. Safir menyingkap sedikit taplak meja untuk mengintip. Ayah tirinya sedang mengambil sebuah botol--yang sebenarnya itu adalah botol minuman keras--dan kemudian dihantamkan ke dinding hingga membuat suara pecah kembali terdengar di setiap sudut ruangan. Mamanya berlari ke arah dapur dan ayah tirinya mengejar dengan botol yang pecah itu ditangannya.
Melihat itu safir langsung keluar dari persembunyian dan tanpa aba-aba memeluk erat kaki ayah tirinya. Ayah tirinya tetap menyeret kakinya meskipun ada safir yang bergantung di sana. Ia kesal sekali dengan istri bodohnya itu! Dan akan ia beri pelajaran!
"Ayah, aku mohon jangan lukai ibu! Aku mohon ayah.." safir semakin erat memeluk kaki David. David berhenti dan mendorong safir, namun safir kembali memeluk kaki David. Geram, pria berumur 30 tahunan itu melempar botol ditangannya ke arah sembarang.
"Anak sialan! Kamu sama aja kayak ibumu!"
Plak!! Plak!! Safir meringis, badan kurusnya terjerembab karena tidak mampu menahan pukulan orang dewasa. Ah, nyeri yang kemarin masih ada tapi sudah kembali ditambah. Beruntungnya pukulan itu tidak berlanjut, David sudah masuk ke kamarnya. Mungkin ada yang bertanya kemana saja ibunya safir? Ibunya hanya mematung di dekat wastafel. Menangis, tapi tidak ada niatan untuk melindungi anak kandungnya itu.
"Ibu..." Panggil safir. Menatap dalam mata wanita itu. Safir sayang ibunya. Hanya ibulah satu-satunya orang yang dia punya saat ini, dan melihat kehidupan ibunya Yang selalu menangis dan dipukul membuat safir begitu sedih. Ibunya mengusap air matanya kemudian meninggalkan Safir di sana sendirian.
Safir saat ini berusia 8 tahun, sedikit banyaknya dia sudah mengerti dan sudah bisa menanamkan ingatan untuk masa depannya. Sayangnya, sedikit sekali bekal kenangan bahagia, yang ada hanya kenangan pedih dan ketidakadilan yang dirasakannya. Usianya masih begitu kecil, tapi keadaan membuatnya begitu dewasa begitu cepat. Tidak ada kasih sayang, tidak ada hadiah, tidak ada tempat bermanja-manja, tidak sekolah, dan baru safir sadari ia juga tidak punya seorang teman karena orang tua di lingkungan rumahnya tidak begitu suka anaknya berteman dengan safir. Takut anaknya terkena imbas dari kemarahan David.
Safir beranjak mencari sapu dan serokan. Mengangkat kursi-kursi dan barang-barang yang berserakan. Membereskan pecahan botol dan piring. Sibuk merapikan rumah agar terlihat lebih bisa dihuni sebelum ayahnya keluar dari kamar dan mengamuk. Safir sudah biasa melakukannya. Bukankah sudah kubilang jika keadaan memaksa safir menjadi dewasa sebelum waktunya.
Safir keluar dengan menenteng kantong hitam berisi sampah makanan ayah tirinya dan pecahan-pecahan tadi. Ia ingin membuang sampah itu tapi tertahan. Di sana, di seberang jalan ada dua anak cowok seumurannya sedang bermain kelereng. Mereka tertawa dan saling menyemangati. Ah, bagaimana rasanya bermain seharian dengan seorang teman? Bagaimana rasanya bercerita bersama teman? Safir begitu iri.
Suara azan ashar bergema. Guru agamanya disekolah pernah berkata waktu antara azan dan iqomat adalah waktu paling mustajab untuk berdoa, jadi safir akan mencoba untuk belajar berdoa mulai hari ini. Safir menadahkan kedua tangannya. Menatap langit biru dengan mata memohon.
"Ya, Allah... Safir enggak minta bahagia ya Allah. Safir juga enggak apa-apa dipukul setiap hari, tapi berikan safir seorang teman ya Allah. Seorang teman yang sayang sama safir." Sore itu, langit biru dan pohon-pohon yang bertasbih ikut menjadi saksi dan ikut mengaminkan doa gadis kecil berhati tulus itu. Seorang teman. Hanya itu yang dia minta dan semoga Allah mengabulkan doamu dengan segera, safir.
***
Di sisi lain. Tak begitu jauh dari rumah penuh lara milik safir, namun tidak begitu dekat hingga membutuhkan waktu 15 menit jalan kaki untuk sampai. Sebuah rumah bak istana itu masih terlihat sepi walaupun beberapa pelayan, supir, dan penjaga-penjaga melakukan tugasnya disana. Tepat di salah satu kamar mewah dalam istana itu, disana terdapat satu-satunya ahli waris keluarga itu. Pintu kamar diketuk oleh salah wanita paruh baya berpakaian sederhana. Terdengar sahutan dari dalam.
"Tuan Alga, gurunya sudah datang. Ayok keluar, nak. enggak baik membuat orang lain menunggu." Ucap wanita itu. Dia bukan mama alga, dia dulunya adalah seorang pelayan dirumah ini, dia begitu dipercaya oleh nyonya rumah hingga saat alga lahir dia tidak lagi menyentuh pekerjaan rumah. Dia mengasuh dan merawat alga seperti anak kandungnya sendiri.
Pintu kamar dibuka. Seorang anak cowok keluar dengan senyuman. Ia memakai pakaian rumah yang terlihat biasa saja tapi jangan kamu tanya berapa harganya! Karena kami pasti akan tercengang.
"Pak Sulaiman udah datang ya, buk?" Susi mengangguk.
"Ayok, buk! Alga enggak sabar buat nunjukin gambar alga." Susi terkekeh pelan.
"Pasti tuan akan dapat nilai bagus, gambar tuan kan bagus!" Puji Susi. Wanita itu tidak berbohong, meskipun baru berusia 8 tahun, tapi gambar anak asuhnya itu sudah terlihat begitu nyata. Tidak seperti gambaran anak-anak pada umumnya.
Susi mengambil alih. Dia mendorong kursi roda alga meskipun sebenarnya kursi roda itu bisa digerakkan oleh alga sendiri tanpa alga harus bersusah payah. Jangan terkejut dengan kenyataan bahwa alga menjadikan kursi roda sebagai kakinya. Begitulah takdir. Alga terlahir dari keluarga kaya raya, penuh cinta dan kasih sayang dari lingkungannya. Tapi alga juga tidak bisa merasakan berjalan dan berlari kecuali diatas kursi roda.
Alga mengidap penyakit langka Acute flaccid myelitis (AFM). Penyakit langka itu membuat bayi alga yang baru saja belajar berjalan tiba-tiba tidak bisa menggerakkan kakinya. Namun jangan khawatir. Danira--mama kandung alga-- sudah mencarikan dokter terpercaya sampai keluar negeri. Tidak perduli seberapa mahal biayanya, yang terpenting satu-satunya anaknya itu dapat berjalan. Beruntungnya, seorang dokter ternama di Amerika bilang alga dapat di sembuhkan, tentunya dengan izin Allah. karena kondisi Alga jauh lebih baik dari beberapa tahun yang lalu. Alga juga sudah beberapa kali bertemu dengan dokter itu untuk pengobatan, namun ternyata untuk sembuh butuh kesabaran dan lebih banyak waktu lagi.
Alga mulai kegiatan home schoolingnya bersama seorang guru bernama Sulaiman itu. Alga belajar dengan semangat. Sulaiman mengakui kalau Alga merupakan anak yang pintar, dia tidak perlu menjelaskan dua kali karena otak anak itu cukup cerdas. Seharusnya Alga bersekolah di sekolah sungguhan, bukan home schooling seperti ini. Namun Sulaiman juga mengetahui alasannya, dulu sewaktu TK katanya Alga pernah bersekolah, namun ternyata alga kecil dulu sangat lemah mental dan sangat pendiam. Dia dikucilkan teman-temannya. Ditambah lagi ia minder saat mereka seenaknya menanyakan kenapa dia berbeda, atau menayakan bagaimana rasanya tidak pernah berlarian di atas rumput?
Beruntungnya, orang tua Alga punya uang dan kekuasaan.
Sepulangnya pak Sulaiman Alga hanya merenung di halaman belakang rumah. Memandang taman kecil dengan sepiring kue dan susu cokelat yang disediakan oleh ibu asuhnya. Alga menghela nafas, ia sungguh bosan dengan kegiatan sehari-harinya yang selalu monoton.
"Tuan Alga lagi ngelamunin apa, toh? Kayak orang banyak hutang aja," kekeh supir pribadi Alga sambil mendekat ke arah Alga. Alga menggeleng.
"Pakde, Alga bosan! Jalan-jalan, yuk!" Ajaknya.
"Aduh! Mau jalan-jalan kemana, tuan? Tar pakde kena marah nyonya!" Ucap supir yang bernama Amir itu. Ia takut mama Alga mengamuk jika Alga keluar tanpa izinnya. Semua penghuni rumah itu sudah hapal benar watak si nyonya yang keras.
"Mama enggak akan marah! Kita keliling dekat-dekat sini aja!" Amir mengaruk belakang lehernya. Bingung. Ia serba salah.
"Ayoklah pakde! Alga bosan! Kalau mama marah nanti Alga yang akan jelasinya sama mama." Bujuk Alga. Akhirnya amirpun setuju, kasihan juga dengan Alga pikirnya.
Keduanya tidak sungguh jalan-jalan. Hanya sekadar berkeliling mengikuti jalan yang cukup ramai. Amir melirik Alga dari kaca, anak itu tengah melihat keluar dengan tatapan kosong, entah apa yang sedang dipikirkan oleh anak-anak berumur 8 tahun seperti Alga? Ia bahkan tidak berbicara sepatah katapun sedari masuk mobil.
"Setidaknya dia enggak mikirin gas habis, atau uang belanja bulanan!" Gumam Amir.
"Pak Amir, stop disini sebentar!" Pak Amir berlahan menginjak rem. Melihat keluar.
"Sekolah? Buat apa berhenti disini, tuan?" Alga tidak menjawab. Amir mengikuti arah pandang Alga. Di lapangan sekolah dasar yang sederhana itu terdapat beberapa anak-anak seumurannya tengah bermain bola. Beberapa lagi bermain tali dan masak-masakan.
"Tuan pengen sekolah beneran, ya?" Tanya Amir lembut. Alga menggeleng pelan, namun matanya masih menatap kesana.
"Alga enggak pernah punya temen yang banyak kayak itu. Alga dari dulu enggak punya teman pakde." Sekarang Amir mengerti. Ia menolehkan badan ke belakang. Menghadap Alga dan berkata dengan jujur sesuai pengalamannya.
"Tuan, sebenarnya kita enggak perlu banyak teman, cukup satu aja tapi teman yang setia."
Ucapan itu berhasil mengambil perhatian alga.
"teman yang setia, pakde?" Tanyanya. Amir menganguk dan tersenyum.
"Iya, teman yang akan selalu ada untuk kita. Yang tidak akan meninggalkan dalam kesulitan. Yang akan selalu mendukung kita."
Mata Alga berbinar. Alangkah indahnya jika ia punya satu teman yang seperti itu. Saat dia sekolah TK dulu ia tidak menemui satupun yang setia, apa sungguh ada teman yang akan selalu mendukung dan tidak akan meninggalkan seperti yang diucapkan pakde Amir?
"Tapi kenapa Alga enggak punya teman?" Tanyanya dengan polos.
"Tuan cuma belum menemukannya!"
Kebahagiaan terpancar dari wajah Alga. Senyumnya lebih lebar dan tiba-tiba ia lebih bersemangat dari biasanya. Alga teringat pesan ibu asuhnya untuk selalu berdoa jika menginginkan sesuatu, jadi ia langsung menadahkan kedua tangannya. berdoa dengan khidmat.
"Ya Allah yang maha baik, berikan Alga seorang teman yang setia. Alga tidak butuh banyak teman, cuma satu aja ya Allah, tapi yang setia dan tidak akan meninggalkan Alga." Amir yang melihatnya terkekeh. Ikut mengaminkan doa anak itu.
Alga percaya Allah akan mengabulkan doanya, ia akan menunggu kedatangan teman setia dalam hidupnya dengan penuh harapan.
"Alga berjanji akan menjaganya, ya Allah."