Chereads / Jangan Lupa Bahagia / Chapter 2 - Pangeran dan Putri Penyihir

Chapter 2 - Pangeran dan Putri Penyihir

"Alga berjanji akan menjaganya, ya, Allah."

Itu adalah janji tulus seorang anak berumur 8 tahun bahwa ia sungguh-sungguh menginginkan seorang sahabat yang setia. Entah kapan Allah akan memberikannya, namun janji itu bukanlah sebuah ucapan sia-sia seorang anak kecil, itu begitu berarti hingga tertanam dalam hati dan ingatan Alga.

"Kita pulang sekarang, ya, tuan? Takutnya nyonya keburu pulang," bujuk Amir pada Alga. Alga menoleh ke depan dan mengangguk setuju. Sekarang bosannya sudah hilang, berganti tentang hayalan sosok sahabatnya nanti.

Ditengah perjalanan, tiba-tiba pak Amir menghentikan mobilnya. Merasa heran, Alga mencoba mencondongkan tubuh untuk mengintip ke depan. Di sana terlihat keramaian dan beberapa orang juga seperti khawatir.

"Ada apa, pak? Kok berhenti?"

"Kecelakaan kayaknya, tuan, "

Alga terbelalak, "kecelakaan? Terus kenapa enggak Bapak bantu?" Tanya Alga heran. Pak Amir terkekeh melihat simpati Tuan Mudanya itu.

"Sudah ada ambulan sama polisi, tuan. Jangan khawatir, Kayaknya kita terpaksa menunggu sebentar," jelasnya. Alga menyenderkan badan di kursi mobil dengan nyaman, ia tidak keberatan menunggu sampai keadaan di depan sana menjadi kondusif kembali.

"Itu jualan apa, pak?" Tanya Alga melihat stand makanan yang tak jauh dari sisi mobil mereka, tepatnya bersebelahan dengan toko kelontong yang sebagian pembelinya sudah bergerombol kepo dengan kecelakaan di depan.

"Oh, itu jualan martabak, tuan. Kenapa? Tuan mau beli?"

Alga menganguk. Tanpa harus membuat Alga meminta dua kali, Pak Amir langsung bergerak melepas sabuk pengaman kemudian pergi keluar untuk membeli martabak.

Sedangkan di istana terkutuk sana, Safir tengah diteriaki oleh ibunya karena begitu lelet mengambilkan makanan di dapur, ibunya Safir begitu takut suami pemabuk yang tengah meracau di sofa itu kehabisan kesabaran dan kembali berbuat kasar.

"Safir!! Kenapa lama banget? Minumnya mana?"

Dengan hati-hati Safir meletakan sepiring penuh nasi beserta lauknya ke atas meja. Mendorongnya kehadapan ayah tirinya. Saat ia ingin kembali ke dapur untuk mengambilkan minum, ayah tirinya memanggil dengan nada sama tidak sabarannya dengan ibunya.

"Belikan aku rokok!" Perintah lelaki berewokan itu sambil memberi kode ibu safir untuk segera menyerahkan uang pada Safir.

"Mas! Mana ada uang lagi untuk jatah rokokmu! Kita juga mau beli bahan dapur!" Protes ibu safir dan langsung dihadiahi tatapan tajam.

"Kasih aja dulu! Besok adalah urusan besok!"

Dengan sangat malas ibu Safir morogoh kantong dan memberi uang berwarna biru. Percuma ia berdebat dengan suaminya yang tidak mau kalah. Jujur, dia sangat jengkel pada suaminya, bukannya cari kerja untuk menafkahinya, cowok kasar itu taunya hanya mabuk-mabukan, main judi, dan bermalas-malasan.

"Tidak usah lama! Paham!" Peringatnya pada Safir.

Safir berlarian menuju ke warung terdekat tanpa alas kaki, sendal jepit yang ia punya sudah putus akibat tidak sengaja tersandung kaki sendiri. Jika dilihat dari penampilannya, Safir terlihat tidak terurus. Bajunya lusuh dan kotor karena ia harus belajar memasak dan membersihkan rumah yang selalu kotor akibat pertarungan ibu dan ayah tirinya, bau badannya seperti bau ikan asin karena keringat, ditambah rambut panjang yang tidak disisir itu, membuatnya semakin menyedihkan.

Jelas saja begitu, di umurnya yang 7 tahun ini ia tidak pernah mendapatkan perhatian orang tua. Dunia mendidiknya lain dari anak yang lain, bukannya dia yang bergantung pada orang tua, malah sepertinya orang tuanyalah yang bergantung padanya. Apa-apa selalu menyuruhnya!

"Yah... Tutup!" Desah anak itu saat melihat warung dekat rumahnya tidak jualan hari ini. Tidak punya pilihan lain, dia harus sedikit berjalan lumayan jauh, ada sebuah warung kelontong yang lumayan lengkap jualannya.

Sampai di sana Safir cukup penasaran kenapa suasana di sana begitu ramai. Terlihat beberapa orang bergotong royong mengangkat korban kecelakaan ke dalam ambulance, juga polisi yang sibuk mengamankan tempat kejadian. Dan dia sama seperti yang lain, yang hanya bisa menonton tanpa membantu apa-apa.

Namun betapa sialnya Safir, tepat setelah keluar dari warung kelontong itu, seseorang yang ia ketahui sebagai penagih hutang ayah tiri melihatnya keberadaannya. Safir langsung menyelipkan diri dibalik orang-orang dewasa yang berlalu lalang, menghindari rentenir itu.

Ia tidak punya pilihan lain selain menghindar, atau tidak ia akan ditekan oleh bapak-bapak itu agar memberitahukan dimana ayah tirinya. Dan, jika ia beri tahu maka dia akan diamuk oleh ayah tirinya.

Karena begitu khawatir, Safir akhirnya bersembunyi dibalik mobil hitam yang sedang menunggu keramaian itu lenyap.

"Aku akan ketahuan kalau begini," resah Safir melihat gelagat rentenir yang menyapu tempat itu untuk mencari badannya. Jujur, ia sedikit gemetaran.

"Pak, Amir jangan lupa beli minumnya juga!"

Safir menoleh ke pintu mobil yang dibuka sedikit oleh seorang anak lelaki. Karena menyadari rentenir itu berjalan menuju ke arahnya, Safir tanpa pikir panjang masuk kedalam mobil itu. Palingan dia akan kena marah habis-habisan oleh yang empunya mobil, atau  buruknya lagi dikira mau maling. Tapi ia tidak punya pilihan, ia harus melarikan diri dahulu.

"Siapa kamu?" Safir mengalihkan pandangan ke asal suara itu. Anak lelaki yang sepertinya seumuran dengannya itu terlihat terkejut sekaligus bingung dengan tingakah tidak sopannya.

"Mau apa kamu masuk kedalam mobilku?"

Safir lantas menangkapkan tangan saat melihat anak itu membuka pintu mobil dan berteriak memanggil seseorang.

"Aku mohon, sebentar aja izinkan aku di sini, kalau enggak, aku akan ditangkap orang itu!"

Anak lelaki itu mengikuti arah tunjuk Safir. Dia tertegun sesaat, beberapa meter dari mereka ada seorang bapak-bapak yang celingak-celinguk seperti mencari keberadaan seseorang.

"Dia akan membawaku kalau ketahuan,"  Safir masih memohon pada anak lelaki itu.

"Ada apa, tuan?" Teriak pak Amir dari stand martabak. Alga langsung menggeleng kemudian menutup rapat pintu mobilnya.

Alga menatap sosok anak gadis asing yang masuk kedalam mobilnya tanpa sopan ini, penampilannya sedikit jorok menurutnya, tapi wajahnya... Begitu lucu seperti boneka hidup.

Pintu kemudi terbuka, Pak Amir langsung masuk membawa satu kotak martabak dan satu botol air mineral untuk Alga.

"Lama banget, ya, tuan nunggunya? Antri soalnya." Ucap Pak Amir sambil menjalankan mobil pelan, jalan sudah mulai bisa dilewati karena sudah diamankan oleh polisi.

Safir yang menyadari mobil itu bergerak lantas ingin bersuara, namun tidak jadi saat melihat kode Alga yang menempelkan jari telunjuk ke bibirnya, menyuruh Safir untuk diam saja.

Safir jadi serba salah, kemana arah tujuan mobil ini jika dia diam saja? Tapi luar sana juga sosok rentenir itu masih mencarinya.

"Percaya padaku," bisik Alga pelan. Membuat Safir yang bersembunyi dibelakang kursi kemudi itu tertegun menatapnya. Alga tersenyum, dan senyum itu menular padanya.

Alga membuka kotak martabak yang diberikan oleh pak Amir, dia mengambil sepotong untuknya dan membaginya potongan yang lain pada Safir diam-diam tanpa sepengetahuan Pak Safir. Hati Safir terenyuh melihat potongan martabak itu, baru pertama kali ada yang membaginya makanan dengan tatapan hangat seperti anak lelaki dihadapannya.

Begitupun Alga, entah kenapa dia begitu bahagia melihat Safir makan martabak dengan lahapnya. Seolah-olah baru pertama merasakan makanan tersebut. Saat Safir mengunyah sambil mendongak melihatnya, Alga baru menyadari mata anak itu berbeda. Begitu indah, berwarna abu-abu, dan teramat lentik. Mata itu menyegarkan sekaligus menghadirkan perasaan senang.

Tidak lama dari sana mobilpun berhenti di pelataran rumah Alga. Pak Amir yang hendak memindahkan Alga ke kursi rodapun terkaget saat melihat kehadiran Safir. Sejak kapan ia mengangkut penumpang tak kasat mata satu itu?

"Gimana ceritanya kamu bisa masuk?"  Tanya Pak Amir terperangah. Dan bukannya mendapat penjelasan, kedua anak dalam mobil itu cuma cengengesan.

"Pak, Amir jangan marah! Ini salah Alga, bukan dia."

Pak Amir mengerjap, "siapa dia?" Tunjuknya mengunakan dagu. Alga menatap Safir bingung, masalahnya dia juga tidak tau siapa. Beruntungnya safir anak cepat tanggap yang langsung mengerti keadaan.

"Namaku Safir," cicitnya, " aku minta maaf, Om. Tadi aku terpaksa masuk sini. Aku tidak mencuri atau apa tapi, kok!"

"Kamu tidak boleh begitu, Safir! Kamu bisa-bisa hilang kalau begitu lagi! Mamamu pasti mencari kamu, ayok pulang! Biar Om antar lagi,"

Terlihat raut wajah Safir yang seketika murung. Membuat Alga iba hati dan ikut-ikutan sedih saja.

"Pak, Amir jangan marahi Safir! Dia sudah minta maaf tadi,"

Pak Amir ternganga melihat mata Alga yang tiba-tiba berlinang. Ada apa dengan Tuan Mudanya hari ini? Rasanya ia tidak membentak Alga, ia hanya menasehati gadis kecil disebelah Alga layaknya orang dewasa pada anak-anak umumnya.

Sedangkan Safir merasa bahagia karena seseorang membelanya. Ini juga pertama kalinya ada yang membelanya dengan tulus, rasanya begitu manis melebihi gula-gula di pasar malam.

"Iya, iya. Bapak yang salah, maaf, deh, maaf!" Ujar Pak Amir tak tahan. Dia bergerak ke bagasi untuk mengeluarkan kursi roda Alga, sedangkan kedua anak itu masih terlibat pembicaraan.

"Siapa namamu?" Tanya Safir.

"Alga. Namaku Alga." Sapirpun mengangguk-angguk sebagai respon senyuman hangat yang dilayangkan Alga.

"Terimakasih, ya, Alga. Kamu Sahabat yang baiiiik banget" ucap Safir dengan keimutan anak umur 7 tahun.

"Apa tadi? Sahabat?" Mata Alga membesar mendengar kata 'sahabat'. Dia seperti tidak percaya ada yang memanggilnya dengan kalimat yang menurutnya "sakral" itu.

"Kamu membagi makananmu dan melindungi aku, itu artinya kamu sahabatku, dong?"

"Sahabat seperti apa?" Tanya Alga memastikan. Safir terlihat berpikir sejenak apa maksud pertanyaan Alga. Kemudian menjawab dengan ragu,

"Sahabat sampai kapanpun?"

Dan Safir rasa jawabnya tidak salah. Alga berubah begitu ceria mendengarnya.

Giginya bahkan sampai terlihat karena terlalu lebar tersenyum.

"Maksudmu sahabat yang setia, kan? Yang selalu mendukung dan tidak akan meninggalkan?"

Dengan antusias dan riang Safir menganguk mantab, "Iya, sahabat yang setia." Jawabnya.

Pak Amir yang ternyata sedari tadi memperhatikan menahan haru. Entahlah, barusan itu adalah adegan yang begitu menyentuh hati. Alga sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri, jadi begitu melihat kebahagian Alga karena seseorang menganggapnya sebagai sahabat, ia ikut bahagia pula.

"Kita akan bertemu lagi, kan?" Tanya Alga setelah Pak Amir memindahkannya ke kursi roda. Dari balik pintu mobil yang terbuka itu Safir menjulurkan tangannya keluar, menunjukan jari kelingking pada Alga.

"Janji. Kita akan bertemu lagi. Kita, kan sahabat yang setia," ucapnya. Dan Alga langsung mengaitkan jari kelingkingnya pada kelingking Safir.

"Pak, Amir. Tolong jaga Sahabat Alga, ya , Pak?!" Pinta Alga. Membuat Pak Amir dan seorang pelayan yang akan mendorong kursi roda Alga masuk tertawa terbahak. Lucunya tingkah anak kecil dua itu, kepolosan dan keluguan keduanya mampu memberi getaran dan kehangatan pada yang melihatnya.

"Siap! Bapak akan jaga sahabat, Tuan Muda."