Alga bahagia bukan main. Kini, keinginannya untuk memiliki seorang sahabat sudah dikabulkan oleh Allah. Benar kata buk Susi, Allah itu maha baik. Anak cowok yang duduk di kursi roda itu tidak bosan-bosannya menceritakan sosok Safir kepada siapa saja, kepada buk Susi ataupun pembantu dirumahnya. Alga juga berencana untuk bercerita pada mamanya jika mamanya sudah pulang dari Singapura.
"Buk, Alga kangen banget." Ujar Alga. Buk Susi yang baru saja datang ke kamar Alga dengan membawa segelas susu hangat itu mengernyit. Buk Susi meletakan susu ke atas nakas dan duduk di ranjang Alga.
"Tuan muda kangen sama mama, ya?" Tanyanya lembut.
"Bukan, buk. Alga kangen sama Safir." Ucap Alga cengengesan.
"Baru aja pisah tadi, kan? Masa udah kangen?"
"Iya, sih. Tapi gimana kalau Alga enggak bisa ketemu sama Safir lagi, buk?"
Buk Susi terkekeh melihat raut wajah Alga yang berubah sendu. Dia mengelus punggung anak asuhnya itu.
"Tapi katanya Alga sama Safir sudah janji, kan bakalan ketemu lagi. Berdo'a aja, ya nak."
Alga menganguk mantab, "Iya, buk. Alga akan berdo'a setiap hari."
Buk Susi mengambil susu dan memberikannya pada Alga sambil bertanya, "seperti apa wajahnya Safir, nak?"
Dan seketika Alga bercerita dengan menggebu-gebu, bahkan kedua tangannya bergerak kesana-kemari.
"Mata Safir indah banget, buk! Besar dan warnanya abu-abu. Rambutnya panjang dan kalau tersenyum kayak pelangi, buk!"
Buk Susi pura-pura terkejut, "wah! Matanya, kok abu-abu?"
"Iya, buk. Pokoknya sahabat Alga cantiiikkk banget! Dia juga makannya lahap. Nanti Alga gambar aja wajah Safir biar Buk Susi bisa tau."
Alga pun menggerakkan kursi rodanya ke meja belajar dan mengambil alat gambarnya. Siang ini, dia akan membuat sketsa wajah Safir untuk penyemangat dan obat rindunya. Bukankah sudah kubilang jika gambaran Alga sudah terlihat begitu nyata meskipun masih berumur 8 tahun?
Sedangkan di sisi lain, Safir masuk kedalam rumah dengan takut-takut. Ayah tirinya pasti akan mengamuk karena ia pulang sekarang. Ia membuka pintu pelan dan masuk dengan mengendap-endap. Namun percuma! Di hadapan sana ayah tirinya sudah berdiri menjulang dengan mata merah. Wajah beringasnya membuat mental Safir menciut.
"Ayah... Tadi safir--"
"Dari mana kamu, hah?! Di suruh beli rokok sampai berjam-jam!"
"Tadi ada rentenir yang mengejar ayah mau nangkap Safir, yah. Jadi, Safir tadi sembunyi du--"
"Alah! Pinter banget ngeles, mana rokoknya cepat!"
Safir hanya memainkan kukunya melihat tangan ayah tirinya itu terulur meminta rokok yang seharusnya ia beli. Bukanya rokok yang Safir beri malah ia memberikan kembali uangnya. Seketika ayah tirinya itu melotot tajam.
"Warung tutup tadi, yah. Safir enggak sempat beli ditempat lain karena sembunyi."
"Bodoh!! Lama kamu keluar tapi enggak bawa rokok! Main aja kerjaan kamu, dasar anak tidak di untung!" Maki David sambil mendorong tubuh kurus Safir hingga terjerembab ke lantai. Safir tidak menangis, ia hanya meringis sakit kemudian duduk dan menatap lantai.
"Apa lagi yang diributkan, sih, mas?" Tanya mama Safir yang baru keluar dari kamar dengan handuk yang masih melilit tubuh.
"Anakmu ini! Memang enggak bisa di andalkan! Baru pulang sekarang tapi dia enggak beli rokok!" Ujar David melirik Elsa tidak suka.
"Dari mana kamu, Safir?" Tanya Elsa berkacak pinggang. Anaknya satu ini memang bandel dan sering membuatnya dimarahi oleh suami. Elsa kadang merasa lelah mempunyai anak seperti Safir.
"Tadi ada rentenir yang mau nangkap Safir, ma. Jadi Safir sembunyi,"
"Halah! Masa sembunyi sampai berjam-jam! Ngaku aja kalau kamu main sampai lupa waktu!" Timbal David sambil berlalu ke belakang. Elsa yang masih berdiri di sana mengurut keningnya pusing sekaligus jengah. Kenapa hidupnya tidak pernah bisa tenang.
"Seandainya kamu enggak pernah ada, hidupku pasti enggak akan begini." Elsa mengeluh pelan sambil masuk kembali kedalam kamar.
Di pukul David tidak membuat Safir lemah, tetapi entah kenapa saat mendengar perkataan mamanya barusan rasanya hatinya sangat perih. Safir tidak bisa tidak meneteskan air mata. Ia menatap pintu kamar mamanya yang tertutup dengan nanar.
"Seandainya Safir enggak ada, ya Allah." Gumamnya kecil.
Hari-hari berlalu. Safir masih dengan keluarga berdarah militernya dan Alga masih dengan posisinya sebagai penerus keluarga Hafiadin yang tidak bisa berjalan.
Alga hampir hilang semangat. Dia sedih karena sudah seminggu berlalu tapi janji untuk bertemu kembali masih menjadi janji. Alga hanya bisa memandangi sketsa wajah Safir yang ia buat. Alga selalu menunggu Safir tanpa tahu keputusasaan sahabatnya itu. Alga masih terlalu kecil untuk bisa berpikir bahwa tidak setiap anak di Rajakan seperti dirinya, sebagian ada yang disia-siakan.
"Apa jangan-jangan Safir sudah melupakan Alga, ya, pakde?" Alga bertanya dengan sendu. Pandanganya menatap sedih keluar mobil, tidak jauh dari penjual martabak tempat ia dan Safir bertemu pertama kalinya. Amir yang iba melihat Alga terlihat lesu akhirnya mencoba memberikan pemikiran positif.
"Safir enggak mungkin gitu, Safir pasti juga ingin ketemu Alga. Jangan berhenti berdoa, ya, nak!"
Alga tidak menyahut, matanya sibuk menatap keramaian di hadapan sana, berharap akan timbul sosok sahabat manisnya yang ia tunggu-tunggu. Sejak janji itu dibuat, Alga setiap hari pergi ketempat ini dan menunggu berjam-jam.
"Kita pulang aja, pakde. Alga mau istirahat." Putus Alga dengan wajah sedih yang tidak dibuat-buat. Pakde mengangguk kemudian menghidupkan mesin mobil dan berlahan meninggalkan tempat itu.
Tanpa Alga ketahui, tepat ketika mobilnya meninggalkan tempat itu, Safir akhirnya datang. Safirpun duduk tidak jauh dari penjual martabak.
Safir mengedarkan pandangan dan menarik nafas kecewa. Safir lesu, setiap hari ia ke sini berharap akan menemukan Alga kembali. Safir kira Alga akan ketempat ini lagi untuk menemukannya kembali, oleh karena itu Safir selalu menunggu Alga.
"Jangan-jangan Alga sudah lupa sama Safir?" Gumam Safir sedih. Sejak hari dimana ia dan Alga berjanji menjadi sahabat selamanya sejak saat itulah ia menemukan percikan kehangatan. Ada semangat hidup yang Safir dapatkan karena Alga begitu bahagia dengan kehadirannya, karena itulah berat rasanya jika Alga sudah melupakannya.
"Kemana kamu Alga? Safir rindu Alga,"
Berjam-jampun berlalu, Safir masih setia di sana. Safir termenung kecewa, hari ini kesempatan untuk berjumpa dengan sahabatnya sudah usai. Ia akan berhenti saja berharap Alga akan datang padanya, mungkin Alga sudah mempunyai sahabat baru disana.
Safir melangkah pulang menuju ke rumah kecil penuh lukanya. Air matanya jatuh berlahan. Apa mungkin tidak satu orangpun mengharapkan kehadirannya?
tiba-tiba terlintas senyum bahagia Alga saat ia mereka menautkan janji, teringat perkataan Alga yang meminta supirnya untuk menjaga dirinya. Safir menghapus air matanya dan tersenyum semangat. Tidak, Alga pasti melupakan dirinya.
"tunggu Safir, ya Alga. Safir akan cari cara biar bisa ketemu."
"Ya Allah... Jangan ambil Alga Safir. Safir janji akan melindunginya,"