Sesuai janji Hamid, ia benar-benar mengadukan kondisi Tala pada Bu Yasmin. Sesuai ekspektasi, ia tidak diizinkan ibunya sekolah dan beristirahat di rumah untuk beberapa hari. Hingga benar-benar sembuh, tidak hanya sekadar merasa baikan.
Setelah dua hari...
Akhirnya kondisi Tala berangsur pulih. Dengan sendirinya nyeri pada perutnya hilang begitu saja. Ia bahagia akhirnya dapat melanjutkan kegiatannya seperti biasa.
Tugas pertama yang ia terima dari sekolah adalah tugas interview bank. Tugas ekonomi minat. Padahal ia sengaja memilih jurusan IPA agar-agar jauh dari pelajaran ekonomi dan sejenisnya. Namun, tetap saja akhirnya masuk dalam pelajaran minat. Huh.. dasar menyebalkan dan merepotkan!
Beruntung Tala satu kelompok oleh ketiga sahabatnya dan.. tentu saja Hamid. Karena para siswa dibebaskan memilih anggota kelompok masing-masing.
"Laras, kamu tidak punya kelompok?"
"Nggak, bu. Semuanya udah full."
"Dua teman kamu ke mana?"
"Mereka sudah masuk kelompok lain, Bu."
"Kayaknya mereka lagi pada berantem deh, Dir," bisik Bora.
"Mamam tuw mak nyinyir, emang enak!" balas Indira tidak kalah pedas.
Tala mengangkat tangan kanannya.
"Iya Tala? ada apa?"
"Maaf, bu. Kelompok saya masih kurang satu orang. Boleh gabung dengan saya?"
"Tala!!" serempak Bora dan Indira.
"Nggak, bu, makasih!" sahut Laras sinis.
"Baik, tidak apa-apa bagi saya. Paling nilai kamu akan sayang kosongkan," sahut Bu Guru tidak kalah sinis.
"Tap-"
"Dasar Mak nyinyir! udah ditolongin nggak tahu diri!" gerutu Indira.
"Tahu tuh!"
***
Hari ini, pelajaran kelas tidak padat. Malah kelas amat senggang hari ini. Beberapa guru juga sedang ada seminar di luar kota. Sementara siswa di beri tugas melalui ketua kelas.
"La, kita interview hari aja gimana?" tanya Hamid.
"Tapi kan kita masih di sekolah."
"Ijin aja, La. Kan kita ijin sekolah buat ngerjain tugas bukan buat bolos. Masa iya nggak boleh sih?" timpal Myesha.
Tala mengiyakan. Tala bergegas keluar kelas untuk meminta izin pada guru piket. Sementara Hamid dan Myesha sedang menyiapkan pertanyaan dan materi untuk interview.
Tala kembali dengan membawa kertas putih persegi lengkap dengan tanda tangan guru piket hari itu. Pak Naafi.
"Eh, tapi bentar deh. Kita ke sananya gimana ya? kan yang bisa bawa motor cuman Indira. Kalau Tala bisa sama gue. Terus, si kembar ini gimana?"
"Mereka biar sama gue, gue bawa mobil kok," sahut Laras.
"Ngapain kita harus ikut lo?" tanya Bora Menyernyitkan dahinya.
"Bukannya kita satu kelompok?"
"Ck, kapan? kata siapa? kan tadi lo yang nolak sendiri kalau lo nggak mau satu kelompok sama kita jadi-"
"Raa...," ucap Tala menghentikan perdebatan mereka.
"Udahlah, kita nggak punya banyak waktu loh. Nanti kalau kita sampai telat gimana?"
"Iyaa─iya," sahutnya dengan malas.
"Kalau bukan karena Tala, udah gue sleding lo dari tadi!" gerutu Bora setengah berbisik sembari membuntuti langkah Laras.
***
Sengatan matahari siang itu membuat bola matanya menyipit. Ia menuju gedung aula sekolah yang mulai ramai oleh anak-anak radio club. Raka mengiriminya pesan singkat agar ia segera menuju aula untuk menghadiri rapat.
Setelah para anggota club telah terkumpul, tanpa basa basi, Raka membagikan selembaran putih.
"Oke teman-teman. Jadi, yang ada di tangan lo semua itu adalah program baru yang gue rencanain buat club kita."
"Kok programnya nambah sih, Raka? berarti jadwal siaran gue sama Laras bakalan berkurang dong."
"Nggak, Kak Tala. Jadwal lo sama Kak Laras bakalan tetep jalan kok. Cuma dua minggu dua minggu sama anggota baru."
Semua anggota club nampak menyetujui ditandai dengan anggukan dari mereka.Namun,
"Sorry, gue izin ngasih pendapat ya, Raka. Jadi kan-"
Belum Tala selesai, Laras langsung memangkas.
"Apaan sih, La? lo tuh cuma anak kemarin sore!"
"Lah, kan lo tahu sendiri kita masuk club ini bareng."
"Nggak lah, kan gue duluan baru lo gabung. Itu jelas BEDA!"
"Sama aja kalik, Kak. Di sini kita semua sama," timpal Raka.
"Nggak ya! gue ikut kayak ginian sejak SMP!"
"Oh, keren dong?" balas Raka dingin.
Namun, cara Raka menanggapi seolah sedang meremehkan Laras─Pikir Laras.
"Kenapa? kok lo belain Tala mulu?"
"Gue nggak belain Kak Tala kok."
"Terus sanggahan lo yang tadi maksudnya apa? atau..."
"Atau apa, kak?!" Raka mulai terpancing emosi yang sejak tadi ia tahan.
"Atau gosip itu bener ya? kalau lo sengaja masukin Tala tanpa syarat."
"Atau Tala ada ngasih bonus plus.. pluss, ya?" ucapnya lagi merendahkan suara.
Terdengar beberapa para anggota club dalam ruangan itu berbisik satu sama lain. Suasana semakin menjadi kacau dan pembahasan menjadi kemana-mana.
Raka tidak tahan dengan sikap kekanakan Laras. Ia menggeram dan tangannya terus mengepal erat hingga uratnya nampak jelas.
PRAKK! PRAKK! PRAKK!
Ia memukul meja cokelat itu dengan amat kencang. Hingga membuat semua orang terdiam.
"Kalau lo ada masalah sama gue atau Kak Tala nggak usah bawa-bawa ke club gue!"
Semua hening. Nyali Laras ciut, bahkan sepatah kata pun tidak keluar dari bibir tipisnya itu.
"Lo fitnah gue sama Kak Tala sampai masuk ruang BK kemarin, gue masih diam ya! tapi, kali ini lo kelewatan! Kalau emang lo ngerasa lebih baik dari Kak Tala, buktiin! jangan cuma kayak anjing menggonggong doang bisanya! tapi nyali kayak kerupuk."
Suasana hening. Tidak ada satu orang pun yang berani bersuara.
"Raka, kita lanjut aja rapatnya," sahut Tala pelan.
"Cih, dasar caper!" gerutu Laras.
Raka meliriknya sinis. Raka seperti harimau lepas kandang siang itu. Tala sendiri terkejut melihat Raka semarah ini. Selama ini laki-laki itu terkenal ramah. Dan tidak pernah berkata kasar sekalipun.
Raka berusaha mengendalikan emosinya agar segera turun. Ia menarik dan mengembuskannya kembali di udara.
"Yaudah, kita lanjut lagi ya ke rapat yang sempat tertunda tadi."
Ia meneruskan rapat yang sempat tertunda karena ulah Laras. Sungguh ia tidak bermaksud kasar, namun, ia berharap setelah rasa kesalnya dilampiaskan agar Laras tidak mengulangi hal yang sama.
Semoga saja. Meskipun, mungkin akan sulit bahkan nyaris tidak mungkin.
Bukan hanya Raka yang kesal, tapi Tala juga. Andai bisa dia ingin sekali membalas. Namun menurutnya, hal itu tidak akan berguna. Bahkan hingga kini, Tala pun masih juga tidak mengerti alasan Laras begitu membencinya.
Tala mencoba tersenyum ramah pada semua anggota klub mereka. Tanpa kecuali. Ya, termasuk juga Laras.
"Puas lo?" ucapnya tanpa suara.
Tala hanya menghela nafas. Mau heran, tapi itu Laras.
Dari luar ruangan, Hamid memantau Tala. Semenjak dia sakit beberapa hari lalu, Hamid menjadi lebih was-was. Siapapun yang sakit, dia tidak akan begitu peduli, bahkan dirinya sendiri. Tapi, dia sungguh tidak bisa jika berhubungan dengan Tala.