Tala meminjam P3K pada kasir kafe itu. Lalu kembali mendatangi Hamid yang mengeluh kesakitan.
"Nih, obatin sendiri!" ucap Tala menyodorkan kasar P3K itu pada Hamid.
"Ih kok lo gitu sih, La? ini sakit banget serius deh. Shhh,"-Hamid masih terus menyentuh sudut bibirnya dengan hati-hati.
"Lagian lo sok jago banget. Ngapain sih lo ladenin dia?"
"Lo juga ngapain mau nampar dia segala?"
"Lo nggak denger dia bilang apa tadi? ya kalik gue diam aja."
"Udaah, daripada lo ngomel mulu mending obatin gue. Sakit tahu!" ucapnya menyodorkan P3K itu ke dekat tangan Tala.
Ia tentu tidak tega dan segera mengobati Hamid.
"Sshhh, Aw! pelan-pelan kalik, La!" ucapnya setengah berteriak.
"Ini kapas belom nyentuh bibir lo, Jamal. Belom! Bisa diem, enggak?"
"Tapi, kok sakit sih?"
Tala malah mempercepat membersihkan luka Hamid dengan alkohol.
"La, kalau ngobatin tuh pelan-pelan, kenapa sih? sakit nih."
"Diam, nggak usah manja!"
Hamid tidak lagi berkomentar.
***
Setelah mengobati Hamid, Tala merasa lapar. Ia membawa dua porsi ayam geprek lengkap dengan dua gelas lemon tea.
"La, kok lo pesen makanan lagi?"
"Orang pesen makanan tuh karena laper lah, Mid. Nggak mungkin karena pingin curhat. Gue sleding juga lo ya."
"Kayak bisa aja lo."
Tala mendekati wajahnya dengan wajah Hamid.
"Gue mungkin nggak bisa sleding lo, Mid. Tapi, kalau gue tabok luka lo yang belum sembuh itu, gue bisa," bisiknya.
Hamid menutup luka dengan tangannya.
"Lo galak bener, La."
"Bodo!" ucap Tala acuh tak acuh.
Hamid terus melirik Tala yang begitu lahap makan.
"La...."
"Hmm, apaan?" sahut Tala tanpa menoleh ke arah Hamid sedikitpun.
"Enak banget ya?"
"Enak lah. Kalau lo kenyang nggak apa-apa, perut gue masih muat kok nampung ayam geprek lo."
"Dasar rakus!"-Hamid segera melahap ayam geprek itu. Ia bahkan menambah satu sayap lagi.
Tala tidak habis pikir atas tingkah Hamid. Bukankah tadi dia yang menolak tawaran seporsi ayam geprek itu? Lalu, mengapa malah dia yang doble porsi? ─bisik Tala.
Setelah kekenyangan, Hamid menyenderkan punggung di kursi kafe mengelus perut buncitnya itu seperti ibu hamil empat bulan.
Terdengar suara sendawa dari mulutnya begitu lantang. Hingga membuat gadis cantik nan modis di sebelah mereka menoleh ke arah suara.
"Ganteng, tapi norak," sindirnya.
Tala berusaha menahan kesal mendengar hal itu.
***
Setelah mengantar Tala untuk kembali ke rumah, dia kembali menuju kafe yang sama. Namun, tidak sendiran. Pram tampak tengah asyilk menikmati jus jeruk sembari bermain game online di gawainya.
"Pram," sapa Hamid.
Pram menghentikan game online yang dia mainkan sejak sepuluh menit yang lalu. Tentu saja Hamid tidak akan menemuinya kalau saja dia tidak membawa nama seseorang di pertemuan kali ini. Entah ada hubungan apa sebenarnya mereka sebelumnya.
Hamid duduk tepat di seberang Pram. Dengan segera Pram memanggil pelayan dengan memberi kode kepada salah satu pelayan terdekat.
"Saya mau pesen ... steik sapi dengan—"
"Kalau lo mau pesen buat lo sendiri, gue masih kenyang."
"O-oh habis makan sama Tala tadi ya?" tanyanya datar. Mendengar hal itu Hamid menatap penuh curiga. Jangan-jangan Pram bukan sepuluh menit berada di sini, tapi sudah lebih dari itu.
"Lo tahu dari mana?"
"A-ah, itu gue dikasih tahu sama Myesha. Karena tadi ke rumahnya."
Pram akhirnya memilih untuk berkata jujur. Lagi pula, tidak ada alasan baginya untuk berbohong. Sebagai laki-laki sejati, setidaknya untuk malam ini dia akan berkata jujur, sejujur-jujurnya.
"Mbak, kalau begitu saya pesen jus jeruk yang sama seperti yang saya pesan tadi ya," lanjut Pram.
"Baik, ada lagi, Mas?"
Pram menggeleng pelan, "enggak."
Pelayan itu berlalu pergi. Sementara Pram merasa canggung bimgung ingin memulai dari mana? Setelah lima belas menit akhirnya pelayan yang sama kembali dengan membawa jus jeruk pesanan Pram. Selama lima belas menit itu pula, mereka hanya saling diam satu sama lain dengan segala kecanggungan masing-masing. Pram agak terkejut dengan sikap Hamid, rupanya pria yang suka bercanda dan ramah ini jika sudah serius mengerikan juga—batin Pram.
"Lo tahu enggak, ada game yang—"
Pram mencoba mencairkan suasana, tapi kembali terhenti kala Hamid memberikan tangan kanan padanya seolah memintanya untuk berhenti berbicara.
"Gue enggak suka main game."
Pram menyeka dadanya, dia pikir Hamid tahu apa yang ingin dia sampaikan hari ini. Aneh. Saat berbicara di sekolah lebih santai dan relaks, tapi sangat berbeda halnya jika di luar seperti ini—batin Pram. Wajar saja jika Hamid merasa curiga, pasalnya mereka tidak pernah saling berbicara selama di luar sekolah. Jangankan di luar sekolah, selama di sekolah saja duduk di meja yang sama saat di kantin hampir tidak pernah. Karena saking jarangnya.
Tiba-tiba saja, Hamid terkekeh geli. Dia merasa lucu melihat ekspresi tegang yang ditunjukan oleh Pram.
"Kok lo ketawa?"
"Enggak. Sorry sorry. Kalau lo mau bicara sesuatu , ngomong aja enggak perlu begitu."
Untuk sesaat Pram merasa begitu lega, tapi itu tidak berlangsung lama. Ekspresi wajahnya kembali berubah kala mengingat hal apa yang ingin dia sampaikan kali ini.
"Bro ... sebenarnya sudah lama gue pingin bilang ini, tapi masih enggak yakin."
Pram kembali menghela napas sembari sesekali menyerupu jus jeruk yang tinggal beberapa tegukan lagi.
"Gue pernah menyatakan perasaan gue ke salah satu cewek di rumah sakit. Dulu saat bosan nemenin adik gue, dia akan selalu ada buat nenangin gue dan bilang bahwa semua akan baik-baik saja. Dan perempuan itu adalah ... Fani Afsana."
Hamid terkejut mendengar penjelasan itu. saking terkejutnya, dia yang tadinya medengarkan dengan seksama hanya mampu membulatkan mata tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Tapi ... dia nolak gue. Katanya, ada seseorang yang dia cinta, sayangnya waktu itu dia ke luar negeri. Terus dia lihatin foto lo."
Hamid hanya mampu menghela napas. Sayang sungguh sayang, dia terlambat mengetahui bahwa sebenarnya perasaannya itu berbalas. Dia lalu kembali tersenyum.
"Lo ngajak gue ke sini Cuma karena mau ngomongin ini?" tanya Hamid bersiap pergi.
"Tala ..."
Mendengar hal itu, Hamid kembali duduk ingin mendengarkan penjelasan lebih lanjut. Mungkin dia biasa mengabaikan Fani karena toh hal itu sudah berlalu, tapi tidak dengan Tala. Segalanya tentang gadis itu penting baginya.
"Itu tujuan utama gue pingin ketemu sama lo," lanjut Pram.
"Gue enggak ngerti, lo bisa to the point aja, enggak?" tanya Hamid tidak sabar.
"Mungkin lo sudah merelakan Fani. Tapi Tala—"
"Kami hanya bersabat, tidak lebih," pangkas Hamid.
Mendengar hal itu, Pram merasa bersyukur. Karena dia mengira bahwa selama ini dia memiliki perasaan yang lebih dari itu. apalagi jika melihat bagaimana dia peduli pada Tala. Meski awalnya dia tidak percaya, tapi kini tidak lagi,