Dera lega akhirnya meeting dengan Dewa selesai dan kini waktunya pulang, dalam hati dia bersungut-sungut karena Widya sudah pulang. Padahal dia ingin menebang karena ucapan Dewa mengenai Dion sukses membuatnya tak bisa tidur karena kepikiran terus, Dera yang mengetahui cuaca sudah mendung bergegas memesan Taxi online dan menunggu di halaman kantor.
"Yah, kenapa harus hujan sebelum aku dapat taxi sih," ucap Dera kesal karena turun hujan, untunglah Dera segera ke lobby sehingga tubuhnya tak terkena air hujan. Dera memutar otaknya lebih keras karena tak ingin terlalu lama menunggu, apalagi petir mulai bersahutan. Dera akhirnya menelpon Dion untuk meminta pertolongan agar Dion bersedia menjemputnya.
"Halo Dera, ada apa?" Suara Dion disebrang sana tampak jauh. Hal tersebut membuat Dera tak yakin Dion bisa menjemput dirinya, apalagi dari nada bicara Dion sepertinya tengah sibuk.
"Maaf menganggu waktunya Dion, apakah hari ini kamu ada waktu luang?" Dera sengaja tak memberikan kabar mengenai dirinya yang terjebak hujan di kantor, Dera ingin mengetahui apakah Dion tengah sibuk atau tidak.
"Aduh, hari ini jadwalku padat banget Der. Ini aja aku lagi banyak kerjaan, memangnya kenapa?"
"Oh, nggak papa sih. Aku cuma pengen tahu aja, ya udah kamu lanjutin aja kerjaan kamu ya." Dera pasrah, dia mengurungkan niatnya meminta bantuan Dion untuk menjemput, karena tak enak mengganggu pekerjaan Dion.
"Ya udah, kamu juga istirahat ya. Pasti kamu capek telah bekerja seharian," saran Dion, tak mengetahui kegundahan hati Dera yang terjebak hujan.
"Iya, sampai nanti ya." Dera tersenyum berat, kemudian memutus sambungan telepon Dion. Dia tak mungkin membiarkan pekerjaan Dion terbengkalai hanya untuk menjemputnya, apalagi Dion sudah banyak berjasa untuk karirnya. Untuk itulah Dera tak sampai hati memaksa Dion menjemputnya.
Dera memeluk tubuhnya sendiri karena hawa dingin mulai menusuk pori-pori tubuhnya, dia berdecak kesal karena tak kunjung mendapat Taxi online, apakah dia harus menggunakan ojek karena di dekat kantor ada pangkalan ojek. Dera yang tak ingin terlalu lama di kantor, berjalan cepat menuju pangkalan ojek, Dia bersyukur karena ada satu ojek yang tengah bersandar dan sepertinya menunggu hujan reda.
"Permisi, apakah bapak bersedia mengantar saya ke Jalan cempaka N0. 5?" tanya Dera pada tukang ojek dengan kumis tebal.
"Sebenarnya saya juga lagi nyari penumpang neng, tapi hujannya nggak reda-reda," sahut tukang ojek sedih.
"Kalau begitu antarkan saya pulang ya pak, dari tadi saya memesan taxi online tapi belum dapat juga," pinta Dera memelas, walau sebenarnya kos-kosannya begitu dekat, tetapi Dera tidak mungkin berjalan kaki.
"Boleh aja sih neng, tapi saya cuma bawa jas hujan satu untuk diri saya. Saya lupa bawa jas hujan penumpang," sesal tukang ojek.
"Nggak papa pak, toh pakaian saya sudah basah. Kita berangkat sekarang ya pak karena sudah hampir maghrib." Dera tak masalah naik ojek hujan-hujanan, yang terpenting dia cepat sampai di rumah dan membiarkan tubuhnya berbaring di tempat tidur untuk mengusir lelah.
"Ya sudah, mari neng." Tukang ojek itu akhirnya bangkit dan mengenakan jas hujan, dia menyerahkan helm pada Dera dan segera menaiki motornya.
Dera pun berusaha menahan hawa dingin karena hujan semakin deras dengan petir yang bersahutan. Dia paham betul perjuangan dunia kerja sama besarnya dengan bidang lain, yang terpenting Dera sudah berhasil memenangkan tes dan mendapat beasiswa S2 dari perusahaan. Hal tersebut menjadi penyemangat dan bisa menghantarkan Dera pada kesuksesan.
Butuh beberapa menit tukang ojek mengantarkan Dera ke rumahnya, setelah sampai di rumah Dera, Dera segera menyerahkan uang ojek dan masuk ke dalam rumah. Dera bergegas mandi dan segera membaringkan tubuhnya di tempat tidur untuk menghangatkan tubuhnya yang menggigil.
"Ya Tuhan, kenapa jadi dingin gini sih. Semoga nggak berimbas sakit nih, bisa gawat kalau besok pagi sakit dan nggak bisa masuk kerja," ucap Dera dengan suara bergetar.
Dera merasa tubuhnya semakin menggigil, dia pun menutup seluruhnya tubuhnya dengan selimut tebal untuk mengusir rasa dinginnya. Perlahan tapi pasti, mata Dera mulai terpejam karena malam semakin larut. Siapa sangka, keesokan harinya lebih berat. Dera merasakan Kepalanya berdenyut-denyut keras disertai batuk dan flu, belum lagi tenggorokannya sakit dan tubuhnya demam. Hal tersebut membuat Dera malas beranjak dari tempat tidur, untunglah Dera selalu meletakkan P3K meja kecil dekat tempat tidur sehingga dirinya bisa mengambil kompres dan minyak angin untuk membuat tubuhnya lebih baik.
"Fix ini, aku nggak bisa berangkat ke kantor. Yang ada, pekerjaanku bisa berantakan jika memaksakan diri kerja," ucap Dera pada dirinya sendiri.
Dera akhirnya mengambil ponsel dan melakukan video call dengan Widya, dia berharap Widya bersedia memberikan izin dirinya tidak masuk kantor. Sementara itu, Widya yang mengangkat video call Ders terkejut melihat kening Dera di tempel kompres tempel dengan wajah pucat.
"Ya ampun Dera, kenapa kamu bisa sakit? Mamangnya kamu habis ngapain sih," ucap Widya khawatir di sebrang sana.
"Kemarin meeting sama pak Dewa lama banget, mana CEO kita nggak datang. Eh aku malah diinterogasi sampai akhirnya pulang kehujanan walaupun naik ojek, aku udah nyari taxi online tapi nggak dapat juga." Dera langsung bercerita panjang lebar sebelum Widya merutukinya dengan pertanyaan, dia ingin Widya membantunya agar pihak kantor Peng izinkan dirinya tak masuk kerja.
"Kalau gitu, kamu nggak usah ngantor dulu ya. Aku nggak mau kamu makin sakit, kamu harus istirahat total biar sembuh," ucap Widya menyarankan.
"Kalau begitu, kamu tolong izinin aku ya. Sumpah ya, aku nggak enak banget habis dapat beasiswa dari kantor malah nggak berangkat. Aku takut Dewa malah marah dan menganggapku tidak profesional." Dera memang tak enak badan kepalanya pusing, tetapi dia takut jika Dewa marah dan kehilangan respek dengannya.
"Dera, percaya deh sama aku. Aku akan bantu kamu biar Bu Meryy dan yang lainnya nggak berpikiran aneh karena kamu yang nggak berangkat, aku yakin mereka bisa mengerti karena sakit bukanlah kemauan kamu." Widya berusaha meyakini Dera bahwa dirinya bisa membantu Ders izin tidak masuk kantor, Widya akan memastikan kantor mengizinkan Dera tidak masuk karena sakit.
"Baiklah, sekali lagi terima kasih ya Wid. Kamu memang sahabat terbaikku walaupun kita belum mengenal lama." Dera bersyukur karena Widya bisa membantunya, Widya memang baik dan bisa diandalkan.
"Ya udah, aku siap-siap kerja ya. Bye."
Dera menghela napas lega setelah mendapat kepastian Widya bisa membantunya. Dera pun kembali merebahkan tubuhnya di kasur dan kembali terlelap karena rasanya tak karuan.
Saat pukul satu siang, Dera terbangun karena deringan ponselnya tak kunjung berhenti. Dia pun terpaksa bangkit dan mengambil teleponnya, mata Dera membulat karena sang penelepon adalah Dewa. Dera pun segera mengangkat panggilan Dewa dengan rasa takut.
"Ha-halo pak, ada apa?" tanya Dera ragu.
"Saya minta kamu ke kantor sekarang juga karena ada bekas penting yang harus diselesaikan," perintah Dewa tegas.
"Ta-tapi Saya hari ini sakit pak, saya juga sudah meminta izin pada Widya untuk menyampaikannya pada kantor." Dera ragu mengatakannya, tetapi dia tak ingin Dewa salah paham sehingga berusaha meluruskannya.
"Saya tahu, status kamu memang hari ini nggak masuk. Tapi ada berkas penting yang harus kamu bawa ke kantor, saya paling nggak suka dengan penolakan. Apalagi penolakan kamu ini berimbas buruk pada perusahaan," ucap Dewa tegas.
"Baiklah pak, kalau begitu saya siap-siap dulu karena saya masih pakai…"
"Nggak perlu siap-siap, sekarang juga ke kantor seperti apa pun pakaian kamu." Dewa langsung memotong ucapan Dera dan tak ingin dirinya terlalu lama menunggu Dera.
"Ba-baik pak," ucap Dera shock, dia langsung mengacak rambutnya kesal setelah Dewa memutus sambungan sambungan telepon.
Dera pun bergegas memgambil tas dan dokumen yang diminta Dewa. Dia membiarkan dirinya pergi menggunakan celana santai dengan cardigan, bahkan Dera sampai lupa melepas plester demam yang menempel di keningnya karena takut dengan sosok Dewa yang angkuh. Tak ayal penampilan Dera menjadi pusat perhatian di angkutan, Dera hanya menahan amarah dan hanya diam karena tak ada tenaga untuk berantem dengan orang tak dikenalnya.
"Stop pak." Dera segera membayar tagihan angkutan dan berjalan cepat menuju kantor. Siapa sangka Dera melihat Dion masuk ke kantor, Dera yang penasaran mengikuti langkah Dion. Mata Dera membulat karena Dion masuk ke lift menuju lantai 7, lantai dimana ruangan CP berada.