"Stop pak." Dera segera membayar tagihan angkutan dan berjalan cepat menuju kantor. Siapa sangka Dera melihat Dion masuk ke kantor, Dera yang penasaran mengikuti langkah Dion. Mata Dera membulat karena Dion masuk ke lift menuju lantai 7, lantai dimana ruangan CP berada.
Segera Dera menggelengkan kepala, dia mungkin sedang salah lihat, karena Dion tidak mungkin berada di kantornya, apalagi masuk lift lantai 7, sesuatu yang tak mungkin sama sekali.
'Itu pasti bukan Dion, dia tidak mungkin ada sini,' batin Dera meyakinkan dirinya sendiri.
Dera memutuskan untuk langsung ke ruangan Dewa. Dera lantas menundukkan kepalanya, agar karyawan lain tak melihatnya, tapi apa boleh buat. Saat Dera berkata-kata dalam hatinya melontarkan permohonan agar karyawan lain tidak melihatnya. Sentak ia merasakan tangan seseorang menyentuh pundaknya dan membuat dirinya mematung.
"Astaga ya Tuhan, kenapa ada yang melihatku sih! Ah ini gara-gara Pak Dewa' batin Dera kesal pada Pak Dewa yang seenaknya memintanya datang ke kantor.
"Dera! Kenapa kamu berpakaian seperti ini ke kantor? Kamu tau, orang akan menganggap kamu remeh kalau berpakaian seperti ini!"
Tepat sekali, ketakutan Dera seperti dijawab oleh yang maha kuasa. Riko ternyata sudah memperhatikannya sedari tadi, bahkan Riko sudah meletakkan tangannya dibahu Dera. Akan tetapi, gadis itu tidak menoleh sama sekali.
"Dera, apa kamu tidak mendengar apa yang aku katakan?" ulang Riko kembali melempar pertanyaan padanya. Dengan rasa malu, takut, dan khawatir yang berbaur menjadi satu, akhirnya Dera berusaha untuk memberanikan diri menghadap ke arah Riko.
'Bagaimana aku bisa menghindari, jika aku masuk ke dalam kantor,' batin Dera dengan perasaan gugup dan takut sekarang.
"De-dengar kok. Aku dengar apa yang kamu katakan," gugup Dera seraya membalikkan tubuhnya ke arah Riko.
"Astaga! Kamu kenapa? Kalau sakit, gak harus datang ke kantor!" tegas Riko seraya memegang kedua bahu Dera, menghadap ke arahnya.
"Ta-tadi disuruh pak Dewa buat kelengkapan berkas penting," jawab Dera terbata. Ia bingung dengan jawaban yang akan ia berikan pada Riko.
"Apa kamu tidak menjelaskannya pada Pak Dewa? Bukannya status kamu hari ini, tidak masuk karena izin?" tanya Riko lagi.
"Seperti yang kamu katakan, aku udah meminta izin ke Widya. Bahkan, aku juga mengatakan jika badanku tidak sehat," tutur Dera lagi.
"Apa kamu yakin masuk ke ruangan Pak Dewa dengan menggunakan pakaian ini saja?" tanya Riko lagi pada Dera yang melihat pakaiannya yang memang tidak semestinya untuk ke kantor. Tapi apa boleh buat, pak Dewa yang memaksanya untuk tetap datang tanpa mempedulikan pakaian apa yang ia gunakan.
"Mau tidak mau, aku harus datang untuk menemui, Pak Dewa! Dia memaksaku untuk meminta datang ke kantor dengan pakaian apapun yang aku gunakan sekarang," tutur Dera dengan suara yang lemah, dan terdengar sangat gemetar karena dia sedang sakit, dan juga rasa malunya yang ikut bersemayam di dalam dirinya.
Riko memukul dahinya sendiri, ia benar-benar merasa khawatir dan ingin tertawa melihat tingkah Dera saat ini yang menurut Riko sangat menggelitik perutnya.
"Kamu memang sepertinya benar-benar sakit, Dera! Aku harap kamu bisa cepat pulang setelah ini!" lirih Riko seraya menahan tawanya. Dibalik itu ada wajah curiga yang tersimpan di Dera. Ia melihat Riko yang menahan tawanya.
"Apa kamu baru saja menertawaiku? Atau mungkin meledekku! Huh! Andai saja aku kemarin berterus terang, jika aku sedang terkurung hujan, mungkin aku tidak akan demam dan datang ke kantor dengan penampilan yang sangat buruk ini," lirih Dera pelan seraya menghela napas panjangnya.
Hal ini, langsung membuat Riko terdiam. Ia mencoba untuk mencerna kalimat yang dikatakan oleh Dera barusan, seolah ia mendapat sebuah sindiran yang ia sendiri tidak mengerti.
"Apa yang kamu maksud? Berterus terang tentang apa?" tanya Riko lagi mencoba untuk memastikan, hal ini dan mencoba mengingat apa yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres dari Dera.
"Tidak ada! Maaf, aku harus segera menghampiri, Pak Dewa. Sebelum aku kembali dimarahi olehnya." Dera melangkah dan berbalik badan hendak meninggalkan Riko sendiri. Tapi dengan cepat, Riko menahan tangan Dera yang membuat langkah gadis itu terhenti dan berbalik kembali menghadap ke arah Riko.
"Apa kamu menutupibsuatu hal?" tanya Riko pada Dera yang membuat bola mata gadis itu membola mendengarnya.
"Hal bodoh apa yang aku lakukan, hingga membuat wajahku dan Riko sedekat ini?" batin Dera saat mendapati Riko yang menatapnya tajam, sehingga Dera bisa melihat dengan jelas mata elang milik pria itu.
Padahal Dera dan Riko baru saja mengenal, tetapi mereka sudah terlihat begitu akrab, seakan keduanya sudah lama saling mengenal.
"Ti-tidak ada! Maaf, aku harus bergegas sekarang ke ruang pak Dewa!"
Akan tetapi, percuma! Riko masih menggenggam tangan Dera dengan sangat kuat hingga dia tidak bisa beralih.
"Kamu pikir aku juga tidak akan ke ruang Pak Dewa juga? Harusnya kamu membuka plaster demam ini! Biar orang gak lihat kamu aneh," bisik Riko, seraya melepas plester demam yang tertempel di kepalanya. Mengetahui hal itu, Dera merutuki dirinya sendiri yang sangat bodoh hari ini. Bisa-bisanya ia lupa melepas plester yang ada dikepalanya.
"Astaga," kaget Dera yang langsung memegang dahinya.
"Apa kamu tidak menyadarinya? Lain kaliz kalau kamu butuh aku, berterus terang saja! Tidak usah sungkan!" lirih Riko, lalu melangkah dan meninggalkan Dera yang masih mematung ditempat, ia merasakan panas dipipinya seketika setelah mendengar ucapan dari Riko.
Sialnya, pria itu malah melangkah pergi meninggalkan Dera yang sudah dibuat salah tingkah oleh sikapnya.
"Astaga! Aku mikirin apa sih! Dera, kamu itu dipanggil Pak Dewa buat kasih berkas yang penting ini, kok masih berdiri di sini sih," gumam Dera sendiri, ia merogoh benda pipih yang ada disaku bajunya. Ia melihat banyak panggilan yang tidak terjawab dari ponselnya.
Bergegas Dera membalikkan tubuhnya, seraya setengah berlari menuju ruang kerja Dewa yang ternyata sudah meneleponnya sejak tadi, jika saja Dera tidak bertemu dengan Riko, maka ia sudah selesai menyerahkan berkas sesuai dengan apa yang diminta oleh Dewa.
Dengan langkah yang ragu, dan hati yang berkata-kata, Dera berdiri di depan pintu ruang kerja milik Dewa. Ia ingin membukanya, tapi tentu saja Dewa langsung menyemprot dirinya dengan kata yang tidak mengenakkan.
Cklek!
"Ma—"
"Bagus! Kau selalu saja melalaikan pekerjaan! Berkas penting itu seharusnya diantarkan sejak tadi, aku bilang agar kau tidak berdandan dan mengganti pakaian dulu!" bentak Dewa pada Dera yang langsung memejamkan matanya, seraya menggigit bibir bawahnya dengan sangat cemas. Dugaannya tadi benar, Dewa akan langsung menyemprotnya dengan kata yang tidak mengenakkan.