"Akhirnya pekerjaanku selesai juga, Widya mana ya?" Dera bernapas lega karena pekerjaan telah selesai, dia menjamah pandangannya ke seluruh ruangan untuk mencari Widya, karena sudah berjanji akan pulang bersama.
"Maaf, kamu udah nunggu lama ya?" ucap Widya berjalan cepat menghampiri Dera.
"Aku juga baru pulang, oiya, sebelum pulang mampir ke warung dulu ya. Laper nih seharian kerja," rengek Dera seraya memegangi perutnya.
"Iya deh, kamu memang nggak pernah lupa urusan makan." Widya hanya bisa mengiyakan kemauan Dera, walaupun sebenarnya dia juga ada rencana lain, tetapi perutnya juga lapar.
"Makanan itu penting Wid, tanpa makan kita nggak bisa konsentrasi bekerja. Akhirnya, pekerjaan terbengkalai kan?" ucap Dera membela diri.
"Iya, ayo buruan." Widya hanya mengiyakan, dia berjalan keluar dari kantor diikuti Dera. Tetapi langkahnya terhenti karena melihat Dion sudah ada di depan kantor.
"Dion, kamu ngapain ke sini?" tanya Dera sembari mendekati Dion.
"Kebetulan aja aku lewat, makanya mampir ke sini," ucap Dion tersenyum lebar. Dia mengangguk kepada Widya yang menatapnya penasaran. "Hallo, teman kerjanya Dera ya?"
Widya mengangguk senang. "Iya, nih. Salam kenal, gue Widya. Lo?"
"Dion."
"Maaf ya, Dion. Aku udah ada janji sama Widya untuk pulang bareng," sesal Dera membuat ekspresi wajah Dion berubah.
Dion menatapnya kecewa. "Oh gitu …."
Widya segera menyenggol pinggang Dera dan berbisik, "Dera, gimana sih kamu. Dia ke sini mau jemput kamu, mendingan kamu pulang bareng dia gih."
"Iya sih aku tahu, tapi kan kita udah janji pulang bareng. Aku nggak enak sama kamu," ucap Dera serba salah.
"Lebih baik mana nggak enak sama aku, atau melihat dia kecewa sama kamu. Nggak enak kan?" ucap Widya lirih. "Aku enggak tau dia siapa, dari raut wajahnya, pasti something special kan?"
"Ya sudah, aku pulang bareng Dion ya. Kita bisa pulang bareng besok." Dera akhirnya mengalah, dia melirik Dion dan melempar seulas senyum.
Dion membalasnya dengan bahagia, senyumannya tak kalah lebar.
"Iya, santai aja. Kalau begitu, aku duluan ya." Widya mengalihkan pandangannya pada Dion dan tersenyum, kemudian pergi.
Sementara itu, Dion berjalan menghampiri Dera. Dia tak menyangka kecantikan Dera bertambah berkali lipat setelah mengenakan pakaian kerja, kecantikan itu murni dan membuat hati Dion berdesir hebat.
"Kenapa kamu liatin aku kayak gitu?" Dera canggung diperhatikan Dion, dia memilih tak memandang wajah Dion karena debaran jantungnya tak menentu.
"Kita jalan-jalan dulu ya," tawar Dion.
"Iya."
Setelah mendapat jawaban Dera, Dion segera melangkah beriringan dengan Dera menuju motornya. Hal tersebut membuat Dera Hera karena dia berpikir Dion menggunakan mobil sehingga dirinya bisa nyaman setelah seharian berkutat pada pekerjaan yang membuat otaknya panas.
"Kita mau ke mana?" Dera bertanya bingung seraya menerima uluran helm dari pria tersebut.
"Ke suatu tempat." Dion merasakan Dera memegangi pakaian menjadi tidak sabar hingga menarik tangannya kencang sampai memeluk pinggangnya.
Seketika debaran jantung Dera semakin kencang karena jaraknya dengan Dion sangat dekat. Tubuhnya merespon dengan cepat saat mereka harus bersentuhan.
Senyuman Dion akhirnya menyinggung, inilah yang diharapkan agar hubungannya dengan Dera yaitu semakin dekat.
Dia ingin menikmati harinya dengan Dera, Dion pun menancap gas dengan kencang, saat itulah Dera mengeratkan pegangan karena ketakutan.
"Dion, jangan ngebut. Aku takut," ucap Dera keras dengan mata yang sudah berair.
"Iya, maaf ya. Aku nggak tahu kamu bakal ketakutan." Dion akhirnya mengurangi kecepatannya, membiarkan pemandangan di sekelilingnya dijamah halus oleh mereka.
"Nah gitu dong," ucap Dera lega dan menyeka air mata yang keluar karena efek takut.
Dion fokus mengendarai motornya, tetapi sesekali tatapannya menghadap penjual kaki lima di pinggir jalan. Rasa lapar mulai menyergap karena udara sejak siang sangat terik, tanpa meminta persetujuan Dera, dia menepikan motor di penjual pinggir jalan.
"Dion, kenapa malah berhenti." Dera heran dengan tindakan Dion yang menepikan motor, walaupun hatinya mengetahui Dion pasti akan mengajak makan, tetapi dia sok jual mahal.
"Lapar, kita makan dulu ya." Dion tak mau ada penolakan dari Dera, dia segera turun dari motor dan masuk ke warung tepi jalan.
Dera pun duduk berhadapan dengan Dion dan siap menunggu penjual menghampiri meja mereka.
Tak berselang lama, seorang ibu paruh baya menghampiri meja Dera dan Dion dengan seulas senyuman.
Dera pun membalasnya dengan senyuman, tetapi Dion malah langsung berkata lugas tanpa basa-basi.
"Pesan nasi lauk ayam bakar 2 dan minumnya es jeruk 2 ya bu," ucap Dion.
"Baik Mas, mohon ditunggu sebentar ya." Ibu paruh baya segera pergi menyiapkan pesanan mereka. Sementara Dera malah memandang Dion dengan tatapan mengintimidasi.
"Kenapa sih kamu dingin sama semua orang," ucap Dera kesal dengan sikap Dion.
"Aku sudah lapar, memangnya kita harus basa-basi dulu? Kita bukan mau meeting atau mendatangkan konsumen Dera … maaf kalau tindakanku begitu kasar," kata Dion melunak. Dia merasa bersikap kelepasan bicara, padahal, dia berjanji untuk berubah demi Dera.
"Aku juga laper sih, ya udahlah. Aku nggak mau kita berdebat," ucap Dera mengalah. Dia tersenyum dan mengangguk. "Jangan diulangi, kasihan penjualnya."
"Iya pasti."
"Silahkan Mas, Mbak." Seorang pelayan perempuan menata pesanan Dion dan Dera di meja, pelayan tersebut tampak cantik dan masih muda seumuran Dera. B
ahkan Dera merasa tak nyaman karena mengkhawatirkan Dion akan terpesona dengan kecantikan pelayan itu.
"Terima kasih ya mbak," ucap Dera ragu.
"Sama-sama mbak." Tanpa menunggu lama, pelayan itu segera pergi dan membuat Dera diam-diam menghela napas lega karena Dion masih fokus dengan ponselnya.
"Ayo makan," ajak Dion setelah memasukkan ponsel ke saku celana jeansnya.
"I-iya." Dera mengulum senyum simpul, kemudian melahap makanan dihadapannya. Sesekali, dia melirik Dion yang asik melahap makanan.
Dion tetap tampan walaupun tengah menyantap makanan, hal tersebut membuat debaran jantung Dera semakin memburu.
"Habis ini, kamu ada kegiatan lagi?" tanya Dion penuh harap bahwa Dera mengatakan tidak.
Dera menggeleng. "Aku hanya ingin mempelajari dokumen aja, sikap semangat pegawai baru masih membara."
"Itu bagus. Berarti, sebelum pulang, kita pergi dulu ya."
"Iyaa, pulang sebelum matahari terbenam ya."
Dion menatapnya jahil. "Enggak sekalian matahari terbit?"
Sontak, Dera memukul pelan bahunya. "Dion ih!"
Dion tertawa kecil. "Hehe, iya-iya."
Dera mengulum senyuman terindahnya, dia tak pernah menyangka bisa bertemu dengan makhluk Tuhan paling tampan dan pengertian seperti Dion. Dia berharap menikmati kebahagiaan bersama pria itu di dalam hidupnya.
Mereka menghabiskan makanan dengan cepat. Dion tidak mengatakan apapun selain menatap cara Dera makan, merekam segala sikap wanita yang berhasil meraih hatinya.
Membuat Dion yang merupakan pria dingin ingin kembali menghangat.