Rangga dan Intan yang baru saja pulang dari pasar malam, memutuskan untuk menonton televisi di ruang keluarga, sebenarnya Rangga ingin ke apartemen Dion, tetapi karena putrinya ingin jalan-jalan, terpaksa Rangga tidak ke apartemen adiknya tersebut.
Padahal ada sesuatu yang ingin Rangga sampaikan pada Dion. Namun, diurungkannya demi sang putri, dan sepertinya Rangga bisa menemui Dion lain kali
"Papa, lain kali kita jalan-jalan lagi ya," ucap Intan mengalihkan pandangan dari layar televisi.
"Tentu saja, dek," ucap Rangga tersenyum ke arah putrinya.
Rangga yang mendengarnya sangat senang, itu artinya dia akan kembali jalan-jalan dengan putrinya, mengingat selama ini dia sibuk mengurus perusahaan cabang.
"Memangnya tadi jalan-jalan kemana, dek?" tanya Dewi ikut bergabung dengan mereka berdua, setelah selesai sholat isya.
Dia pun melihat ke arah Rangga dan menyuruh Rangga untuk sholat terlebih dahulu, mengingat ini sudah hampir jam 9 malam, dan Rangga lupa untuk itu.
"Adek naik kereta putar, Ma," ucap Intan mulai cerita pada sang ibu.
Sedangka Rangga langsung ke kamar mandi, setelah istrinya duduk dan menemani putrinya melihat acara televisi.
Setelah selesai mengambil wudhu, Rangga bergegas ke kamarnya dan langsung menunaikan sholat isya, dan ingin langsung tidur, mengingat badannya terasa capek sekali.
"Ayo Dek, kita tidur dulu," ajak Rangga setelah selesai menunaikan sholat isya, dan kini Rangga berdiri di ruang tamu dan mengajak putrinya untuk tidur.
"Adek tidak ngantuk, Pa."
Mendengar jawaban putrinya, Rangga langsung menghela nafas. Padahal dirinya sudah ingin beristirahat, karena tubuhnya terasa capek.
Dewi yang mengerti keadaan suaminya tersebut, tersenyum dan melihat ke arah Rangga
"Kamu istirahat saja, Pa. Biar Intan dengan mama" ujar Dewi pada Rangga.
"Baiklah, Ma. Papa capek, mau tidur duluan." Rangga bergegas masuk ke dalam kamarnya kembali.
Sebelum dia memejamkan mata, Rangga mendengar percakapan istri dan putrinya, dia pun tersenyum dan sedetik kemudian Rangga sudah tertidur.
*****
Malam yang begitu dingin, tak menghalangi tiga orang pria yang ingin masuk ke dalam sebuah rumah.
Sepertinya mereka memiliki niat tak baik, terlihat salah satu dari mereka membawa senjata tajam.
"Jam berapa sekarang?" tanya salah satu dari mereka sembari melihat rumah yang menjadi targetnya.
"Hampir jam 2 dini hari," sahut temannya juga melihat ke arah rumah yang ada di depannya.
Ya, mereka melakukan aksinya pada dini hari, dimana semua orang sedang asyik-asyiknya terlelap dalam tidurnya.
Namun, tidak dengan wanita cantik yang ada di dalam rumah yang menjadi target mereka.
Dia terlihat selesai mengambil wudhu, dan sepertinya akan melaksanakan sholat tahajud.
Tidak seperti biasanya, dia sholat tahajud sendiri, karena biasanya sang suami juga sholat tahajud kalau sudah dini hari seperti ini.
Namun, karena suaminya tadi terlihat capek, sang isteri tidak tega untuk membangunkan suaminya. Dia pun masuk ke dalam kamarnya sendiri, dan langsung melaksanakan sholat tahajud.
"Kamu yakin, ini rumahnya?" tanya seseorang yang sedari tadi merokok di dalam mobil sedan yang mereka kendarai.
"Sepertinya memang benar."
Pria lainnya kembali melihat lokasi yang dikirim sang bos padanya. Dan juga mencocokkan foto rumah tersebut.
"Masa iya? Bos punya masalah dengan pria yang tinggal di dalamnya?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu." Mereka pun terdiam dengan pemikiran masing-masing.
Mereka masih tak percaya, jika bos mereka memiliki masalah dengan pemilik rumah mewah yang ada di hadapannya.
"Rumahnya sangat besar, dan memiliki memiliki beberapa mobil yang harganya fantastis? Tapi kok gak ada satupun satpam yang berjaga?
"Mungkin dia tidak membutuhkan satpam."
Mereka pun mengangguk setuju, karena tidak mungkin bisa mereka yang kaya, memiliki masalah dengan pria kaya, Paling tidak pria yang ada di dalam rumah, adalah orang kaya, dan saingan perusahaan sang bos, pikir mereka bertiga menduga-duga.
Mereka masih terdiam, hingga dering ponsel mengagetkan ketiganya.
"Ponselmu berbunyi, harusnya dalam keadaan seperti ini, ponsel itu di selent. Untung kita masih belum di dalam," tunjuknya dengan terus melihat rumah incarannya.
"Maaf-maaf, aku tidak tahu jika akan ada yang menelpon jam segini."
Kedua temannya hanya menghela nafas, mendengar alasan pria yang ponsel berbunyi.
"Sebaiknya kamu angkat."
Pria yang ponselnya berdering mengangguk setuju, lantas dia mengangkat telepon tanpa melihat nama penelpon terlebih dahulu.
"Hallo, ah iya ini sudah ada di depan rumahnya bos."
Kedua temannya langsung kaget setelah mendengar pria yang menerima telepon mengucapkan kata bos.
"Siap Bos! Sebentar lagi kami selesaikan dan segera pergi." Ponsel pun dimatikan.
"Bos ya?" Pria yang ditanya mengangguk, sedetik kemudian dia memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Apa kata bos?"
"Kita tidak boleh gagal!"
Salah satu dari mereka menghela nafas, entah kenapa dia memilikinya firasat aneh, seakan pria yang ada di dalam rumah, bukan pria biasa.
Namun, pria itu tidak ingin berpikir aneh-aneh. Tugas mereka harus berhasil, mengingat sang bos memberikan bonus yang cukup besar. Apalagi tugas itu hanya membuat lumpuh orang yang di dalamnya, bukan membunuhnya.
"Ponselmu sudah di selent?"
"Belum, aku lupa." Pria yang memasukkan ponselnya tadi, kembali mengeluarkannya dari dalam saku, dan langsung mengaktifkan mode selent, takut-takut ada yang menelpon lagi seperti barusan.
"Bagaimana? Kita mulai sekarang?" tanya temannya yang memakai jaket warna hitam, karena memang malam ini begitu dingin, tidak seperti biasanya.
Mereka berpikir mungkin karena sudah dini hari, yang memang pada jam segini cuaca begitu dingin-dinginnya, dan membuat beberapa orang menarik selimut dan kembali terlelap.
"Tantu saja, lagian kita menunggu apa lagi?" ujar seorang yang tak lepas mengamati rumah incarannya dari tadi.
Pria yang memegang rokok mengangguk, lantas dia mematikan rokoknya dan melemparnya keluar mobil.
"Sebaiknya kita selesaikan urusan kita, dan segera pergi dari sini," ujarnya sembari melihat ke kanan dan ke kiri, mencoba melihat situasi.
Sepi, itulah yang terjadi. Meski di seberang ada warung kopi, tetap saja terlihat sepi, karena tidak ada yang singgah, dan warung kopi tersebut terlihat tutup.
Salah satu dari mereka, keluar dari dalam sedan setelah melihat situasi di luar.
"Aman!" ujarnya memberi tahu teman-temannya yang ada di dalam mobil sedan.
Mereka berdua keluar, setelah temannya mengatakan aman.
Sekarang terlihat tiga orang berada di luar pintu, mereka saling pandang dan mengangguk bersamaan.
"Sebaiknya kamu yang buka jendelanya," perintah dari pria yang berjaket hitam pada kedua temannya.
Salah satu dari mereka mengangguk, "Biar aku saja, aku ahlinya membuka jendela," ujarnya membanggakan diri, karena merasa ahli dalam membuka jendela.
Sedangkan kedua temannya hanya menggelengkan kepala, melihat temannya sombong.
"Ya sudah, cepat buka! Tunggu apalagi!"
Pria yang menawarkan membuka jendela mengangguk, tapi sedetik kemudian dia terlihat bingung.
"Ada apa?" tanya pria yang memegang senjata tajam.
"Obengnya tertinggal di mobil! Sebentar, biar aku ambil dulu."
Namun, saat pria itu ingin kembali ke mobil dan mengambil obeng, pria yang memegang senjata tajam menghentikannya.
"Tidak usah! Kelamaan! Sebaiknya pakai ini saja," ujarnya dengan suara pelan sembari menyodorkan senjata tajamnya.
Pria itu mengangguk menerima senjata tajam itu, dan mulai membuka jendela.