Nameless Street, wilayah tanpa hukum di Kota Hambara
Sepasang kaki telanjang seorang perempuan menjejak permukaan tanah lembek. Suaranya berkecipak menerabas hujan hingga menyisakan genangan lumpur yang likat. Tubuhnya gemetar berselimut pekat. Perempuan itu melaju dengan langkah panjang dan cepat. Pada halimun yang menggantung, napasnya merengap saling memburu di antara kuak.
Jauh di belakangnya, serapah dan amarah tak berkesudahan terdengar terus memburu. Suara-suara mereka semakin cepat dan terus mendekat seakan melolong bersama pekik dan kepak para kalong. Perburuan itu padu di bawah bayang kelimut kematian.
Perempuan itu berlari dan menyelinap di antara lorong-lorong bangunan bekas pabrik yang ditinggalkan. Dia bersembunyi di antara bayangan gelap pipa-pipa besar berkarat yang saling terjalin membentuk maze tak terpecahkan.
To-long... Siapa pun! Aku tidak ingin berakhir di sini.
Merihnya tercekat tak ada suara keluar dari bibir yang mulai memucat. Hanya terdengar napas berat dan seratnya yang terus merengap. Sekujur tubuh sekal itu penuh luka: mulai dari goresan bekas cambukan, baret di punggung saat memintas jalinan pagar bekawat duri, hingga patahan kaca beling turut mengoyak telapakan saat memasuki kawasan pabrik. Meski kepayahan, dia terus berusaha mempertahankan kehidupan.
Tangan kanannya menjinjing erat ujung gaun basah yang berlumpur hingga sedikit di bawah lutut. Bagian atas bajunya koyak dan melorot sebelah sampai ke lengan atas menampakkan leher memar kebiruan bekas cekikan. Rambut panjang dan kotornya terus berayun-ayun. Tangan kiri perempuan itu sesekali menahan kerah bajunya yang terkelepai di bawah pundak. Ketakutan semakin menjengang kala dia mengingat tarikan paksa pada bagian atas gaunnya yang bermotif bunga-bunga.
Dia terus berlari menembus malam tanpa menoleh ke belakang.
Cahaya. Dia butuh cahaya.
Liar matanya menangkap kerlap-kerlip di kejauhan. Sekelebat, dia memacu langkah menuju pengharapan. Berharap dia telah dekat dengan permukiman. Kunang-kunang tak pernah jauh dari sumber air, pekiknya penuh tekat.
Aku hanya ingin bertemu dengan seseorang. Aku hanya ingin segera terbebas dari siapa pun mereka yang tak ingin aku keluar dari sini.
Halimun yang semakin pekat perlahan menyesap habis kewarasannya, lalu dengan cepat merebakkan putus asa di sekujur raga. Dia bisa merasakan ujung jemari kaki tak lagi menapak tanah. Tubuhnya seakan melayang di dalam kehampaan. Kesadaran membuatnya terpental dan tersuruk ke permukaan tanah yang menguarkan aroma pesing dan masam.
Empat pasang kaki bersepatu robek berdiri mengelilingi. Ujung celana katun dan mantel lusuh mereka terlihat muram di bawah pendar lampu yang temaram.
Perempuan itu mencoba merangkak mundur sembari menahan perih pada lutut dan telapakan. Namun, salah seorang pembawa suluh itu menarik tubuhnya hingga berdiri tegak. Dia bersiap untuk melawan dan kembali berlari, menjauh dari siapa pun mereka yang mungkin adalah para pengejarnya, tetapi raganya kepayahan.
Tiba-tiba, satu kancing terakhir pada gaunnya pun terlepas bersama tarikan di kedua pangkal lengan. Empat pasang mata berkilat-kilat para pengepungnya terbelalak tak bergerak. Tubuh kurus mereka menjadi merah kehitaman di dalam silap temaram halimun dan pendar suluh. Dia entakkan lengan pria yang mengangkatnya dari tanah. Putus asa, dia dekapkan kedua lengan untuk menutupi dada yang terbuka.
Tersentak dan kikuk, salah satu dari empat pria kurus itu membuka suara. "Kamu siapa dan mau ke mana?"
Perempuan itu mundur selangkah tanpa melepaskan dekapan di dada. Matanya menyelidik, awas menilai para pengepungnya.
Dua orang pria membawa suluh, seorang menjinjing keranjang berisi makanan sisa, seorang lagi yang telah mengangkatnya dari tanah kini memungut botol minuman keras yang tadi dijatuhkan. Mereka semua berwajah lusuh dan kotor.
Para tunawisma.
Satu tarikan napas besar dia jejalkan ke dalam dada. Perasaan lega berangsur mengembalikan tenaga.
"Tolong saya! Katakan, di mana stasiun terdekat berada? Saya ingin pergi dari sini!" Suara perempuan itu serak dan mengiba.
Keempat pria tunawisma itu saling bertukar tatap setelah mengamati sekali lagi penampilan perempuan di hadapan mereka.
"Kamu datang dari mana?"
Tubuh perempuan itu bergetar hebat. Sepasang bola matanya bergerak-gerak cepat. Bibir biru pucatnya membuka-tutup tanpa suara. Tak henti kepalanya berputar-putar melihat ke segala arah. "Di mana saya berada?"
Pria pembawa motol minuman keras melirik sekejap ke arah rekannya yang membawa suluh.
"Ini rumah kami, Nameless Street. Kamu mau ke mana larut malam begini? Marilah ikut dengan kami dan bersenang-senang!" tutur si pria mabuk.
"Saya diculik dan disekap. Antarkan saya ke kantor polisi sekarang juga!"
Para tunawisma itu kembali saling bertatap kebingungan yang membuat perempuan itu semakin panik ketakutan.
Salah satu dari mereka menarik kepala perempuan itu mendekat. Disibaknya rambut pada leher perempuan itu dan terlihat sebuah tato kecil di sana bergambar kepala harimau. "Kamu dari Distrik D?" selidik salah satu pria itu ketakutan.
Seketika perempuan itu terbelalak. Tubuhnya kembali menegang. Dia mundur selangkah dan mencoba berlari. Namun, pria yang sama berhasil menarik satu lengan sekal perempuan itu dengan kuat, sekali lagi, terlalu kuat untuk ukuran pria sekurus itu.
Satu lengan bebas perempuan itu menarik sebatang besi berkarat yang dia temukan di tanah. Dia ayunkan ujung besi dengan sisa tenaga yang ada tepat ke wajah salah seorang pria tunawisma itu.
Mereka kalap. Satu hantaman kuat mendarat di kepala perempuan itu. Pandangannya menggelap. Satu kerlip terakhir dari kunang-kunang di sisi telaga, menyadarkan pemikirannya.
Aku tak akan pernah bisa keluar dari sini.