Chereads / Rahasia Istri Bos Mafia Buta / Chapter 2 - 2: Perempuan Penghasil Uang

Chapter 2 - 2: Perempuan Penghasil Uang

Plak!

Seorang pria jangkung dengan rambut sedikit gondrong dan hanya mengenakan celana panjang tanpa baju memukul wajah perempuan berdaster kumal dan robek di beberapa bagian saat sedang memasak di dapur. Perempuan itu tersungkur dengan pipi merah dan dada meradang.

"Tuli, kau?" toyor pria itu pada istrinya yang tersungkur di balik lemari sebagai pembatas dapur dan kamar mereka. "Suruh bayi itu diam! Sakit kepalaku! Subuh tadi aku baru kembali, ingin istirahat saja tak bisa. Sumpal saja mulut bayimu itu!" Laki-laki itu membentak dan melotot dengan urat-urat bertonjolan di sekitar pelipisnya.

Istrinya hanya menunduk diam sambil memegangi wajahnya yang panas dan berdenyut. Satu bagian pundak dasternya melorot menampakkan biru-biru lebam di sekitar punggung dan lengan atas. Dengan tubuh gemetar hebat, dia merangkak cepat mendekati sang anak yang sedari tadi terus menangis karena pakaiannya basah. Bayi laki-laki berusia hampir dua tahun itu duduk sambil menjerit ketakutan. Dia ikut merasakan kegelisahan dan ancaman yang dialami sang ibu.

Ryou segera meraih sang putra dalam dekapan. Dia susui anaknya meski air susunya sudah hampir mengering karena kekurangan nutrisi. Dia hanya harus menenangkan sang buah hati agar tangan jahat sang suami tak beralih pada tubuh mungilnya.

Ryou duduk di permukaan kasur tipis di atas lantai dengan punggung yang bersandar ke dinding. Dia peluk putranya dengan sangat erat hingga kembali terlelap sambil mengganti pakaiannya yang basah. Selepas subuh, Ryou biasanya menyibukkan diri di dapur untuk memasak bubur bayi. Setiap hari, pekerjaannya tak pernah lepas dari sana. Dia harus menyiapkan dua panci besar bubur bayi untuk dijual di sekitar komplek tempat tinggalnya.

Sang putra terbangun dan menangis bersamaan dengan pulangnya sang suami dari klub malam, membuatnya tak sempat untuk mengganti pakaiannya sebelum sang suami marah. Ryou melihat penampakan dirinya sendiri di depan cermin oval yang terpasang di lemari. Wajahnya kusut dan tak terawat. Sebagian lebam belum hilang dan kini ditambah merah bekas tamparan. Sudah seminggu ini dia kehabisan perias wajah. Hari ini pasti akan banyak pelanggannya yang bertanya-tanya seputar wajahnya yang lebam dan penuh luka seperti beberapa hari kemarin.

Ryou selalu menyisihkan sebagian uang hasil berjualan bubur bayi untuk membeli perias wajah. Perias itu bukan untuk mempercantik diri, melainkan untuk menutupi bekas luka akibat perbuatan sang suami yang senang sekali menyiksanya setiap kali sedang kesal.

Air mata Ryou menitik. Dia usap dengan cepat. Perempuan itu bangkit dengan susah payah sambil menggendong sang putra. Dia kembali berdiri di depan kompor untuk mengaduk nasi agar menjadi bubur halus. Suara dengkuran lembut suaminya di ruang tamu terdengar mengalun ke telinga Ryou dan menyeretnya kembali pada masa-masa indah saat pertama kali mereka menikah tiga tahun yang lalu.

"Melamun saja!" tegur sang ibu mertua yang baru kembali dari depan gang untuk berbelanja. "Sini, anakmu, biar aku gendong!"

Tanpa menunggu persetujuan Ryou, perempuan berusia lima puluhan tahun itu merebut anaknya dengan kasar. Ryou tak bisa menolak. Dalam hati, dia merasa sedikit lega karena mempunyai waktu untuk menyelesaikan mengolah bubur yang akan dijual. Tapi, sisi lain dia juga khawatir karena kebaikan sang ibu mertua bukan tanpa maksud dan tujuan.

"Hari ini, aku mau ke rumah temanku. Dia sedang merayakan ulang tahun pernikahan ke-35."

Ryou diam saja.

"Kau di rumah saja, kan? Suamimu belum makan. Siapkan keperluannya seperti biasa. Jadi istri yang baik...!"

Ibu mertuanya terus berbicara meski suaranya lirih karena tak ingin mengganggu sang putra kesayangan yang sedang tidur. Tapi, suara dan isi pembicaraannya sangat mengusik Ryou. Janda itu terlihat mengayun-ayun sang cucu sambil terus berbicara. Penampilan ibu mertuanya selalu glamor, tak menunjukkan dia sudah berkepala lima.

"Aku harus membeli kado untuknya, tapi kau tahu kalau aku belum gajian, kan?"

"Saya juga tak ada uang, Bu," potong Ryou cepat.

"Kampret! Belum selesai aku bicara, sudah membantah kau!" desis ibu mertuanya.

"Sungguh, Bu. Hasil jualan saya hanya cukup untuk kebutuhan makan kita sehari-hari. Uang kontrakan juga belum dibayar. Pak Bram terus menagih setiap sore."

"Halah, Bram itu gampang. Bayar saja dia pakai anumu. Dia juga pasti akan diam!" bisik sang ibu mertua sambil melirik ke arah ruang tamu khawatir jika anaknya mendengar.

Ryou sangat marah. Dia berhenti mengaduk bubur dan menggenggam spatula kayu di tangannya dengan sangat kuat.

"Biasanya juga kau bayar dia pake anumu, kan?" desak sang ibu mertua.

Dia serahkan sang bayi kembali pada Ryou dan pergi ke tempat tidur Ryou. Sang ibu mertua membuka lemari pakaian Ryou dan mencari-cari uang simpanan di sana, di balik bantal, bahkan di bawah kasur.

Ryou ketakutan. Dia mendekati ibu mertuanya dan menarik tangan perempuan itu. "Jangan, Bu...."

"O, jadi, kau berbohong padaku? Di mana kau simpan uang itu?" Dia kibaskan tangan Ryou.

"Jangan, Bu, itu uang untuk membayar kontrakan!" pinta Ryou memelas.

"Woi! Perempuan-perempuan sundal keparat! Kenapa kalian berisik sekali?" teriak Bintang dari ruang tamu.

Sang ibu membeku dan menyalahkan menantunya. "Istrimu kurang ajar! Dia menyembunyikan uang untuk dirinya sendiri. Padahal, ibu cuma mau pinjam beberapa ratus ribu untuk ongkos ke kota. Nanti kalau gajian juga aku kembalikan."

Sang ibu mertua memang masih bekerja di sebuah pabrik konveksi. Tapi, uang yang dia hasilkan hanya untuk kesenangannya sendiri. Lebih sering, perempuan itu merampas penghasilan Ryou yang sedikit itu.

"Serahkan saja uang itu, Perempuan sialan!" teriak Bintang pada Ryou. "Aku ingin tidur!"

Ryou hanya terdiam sambil menahan kesal di dada. Dia bahkan tak bisa menangis lagi. Sang anak dia dekap erat dalam gendongan. Ryou kembali mengaduk bubur yang akan dijualnya hari itu. Tubuhnya sudah seperti robot tanpa jiwa dan hanya ada kemarahan serta dendam yang terpendam kala melihat sang ibu mertua berhasil merampas uang simpanannya.

Ryou kecup puncak kepala sang putra dan membisikkan sesuatu dengan putus asa. Bisikan itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri agar bisa bertahan sedikit lebih lama.

Rumah sudah lengang setelah ibu mertuanya pergi entah ke mana di akhir pekan. Sang suami masih tidur meringkuk di depan TV. Setiap akhir pekan, suaminya akan pergi semalaman dan pulang pagi dalam keadaan mabuk dan marah. Sedang sang ibu mertua, akan bersenang-senang menghabiskan uang dengan teman-temannya.

Cahaya matahari pagi juga sudah mulai meninggi. Ryou sudah bersiap pergi berjualan bubur bayi. Sambil menggendong sang anak di punggang menggunakan selendang, dia mendorong gerobak bergambar makanan bayi dengan susah payah.

Ryou tinggal di sebuah rumah kontrakan di permukiman padat penduduk yang sedikit kumuh. Rumah-rumah yang ada di sana berjajar penuh sesak dan tak ada ruang kosong sama sekali. Dia harus berjalan sambil mendorong gerobak menyusuri lorong-lorong panjang dengan banyak rumah di kanan dan kiri jalan. Dia akan pergi ke jalan raya dan memarkir rombongnya di dekat trotoar. Peluh menderas dari kening dan punggungnya. Hanya celoteh dan tawa sang anak yang menghiburnya agar terus berjuang untuk bertahan hidup.

Serombongan mobil polisi dan ambulan berdengung melintas di depannya. Suara sirine mereka sangat memekakkan. Di salah satu warung kopi tak jauh dari tempat Ryou berjualan, sejumlah pria terlihat tengah berkerumun dengan pandangan terus tertuju mengikuti arah sirine.

"Bu, beli bubur dua!" pinta salah satu pria langganan Ryou.

Sambil terus menunduk, Ryou melayani sang pembeli. Pria itu mengawasi wajah Ryou dengan penuh rasa ingin tahu, tapi terlalu takut untuk bertanya. Seorang pembeli lain datang. Dia berbincang-bincang dengan pria di sebelahnya.

"Ada mayat ditemukan di perbatasan kota di bawah jembatan!"

"O, pantas pagi-pagi polisi dan ambulan berdatangan. Bunuh diri atau gimana, Bu?"

"Kurang tahu juga, Pak. Tadi pagi saya liat beritanya di TV. Tubuhnya rusak parah. Katanya, sih, dia dibuang dari Nameless Street."

Ryou tak mendengarkan lagi percakapan mereka. Kepalanya serasa berdenyut hebat akibat pukulan sang suami pagi ini. Dia merasa kepayahan. Sang anak juga mulai kepanasan di gendongannya karena mentari yang semakin terik.

"Kamu lelah, Nak? Kita meneduh dulu, ya. Pembeli juga sudah mulai sepi."

Ryou menoleh ke arah warung kopi di belakang tempatnya berjualan bubur. Ryou menggendong anaknya dan berjalan ke sana untuk meneduh. Di warung itu ada sebuah televisi berukuran besar yang menayangkan ulang sebuah berita penemuan mayat perempuan di bawah jembatan.

Ryou membeliak menatap wajah korban yang ditampilkan di televisi. Sang pembawa berita menampilkan wajah itu agar dikenali oleh siapa saja yang mungkin anggota keluarganya. Karena pada mayat itu tak ditemukan identitas apa pun. Tubuh Ryou gemetar hebat. Dia gigit bibir bawahnya dengan sangat kuat.

Sebelum disadari orang lain, dia sudah pergi dari warung itu. "Aku mengenali wajah itu!"