Begitu mendengar nama anaknya disebut dan digunakan sebagai ancaman, Ryou segera berdiri dari kloset. Dia memegang gagang pintu kamar mandi dengan sangat kuat. Perempuan itu sempat ragu akan membuka pintu kamar mandi ataukah tetap bersembunyi di sana.
"Cepat keluar, Sundal! Aku tahu kau bukan perempuan baik-baik! Cepat keluar dan layani aku!" desak Pak Bram.
Ryou panik dan menggigit bibir bawahnya sampai perih. Dia meraih handuk di gantungan baju kamar mandi dan melilit tubuhnya dengan handuk itu.
Ceklak!
Tubuh Ryou yang basah kuyup dan hanya berbalut handuk dari dada ke paha membuat Pak Bram tertegun. Mereka saling berhadapan di dapur, tepatnya di depan pintu kamar mandi. Di balik sekat dapur ada anak Ryou yang sedang terlelap setelah puas menyusu.
Pak Bram menelan ludah dengan sepasang mata lapar begitu melihat sisi lain Ryou yang tak pernah dia sadari selama ini. Perempuan itu meski saat ini wajah dan sebagian tubuhnya sedang memar kebiruan akibat pukulan sang suami, tapi secara keseluruhan dia masih sangat cantik dan memiliki tubuh yang ramping.
"Apa yang Anda lakukan di sini? Bagaimana bisa Anda masuk tanpa izin ke rumah saya?" desis Ryou menahan suaranya agar sang anak tak terbangun.
"Rumahmu? Hei, kalian bahkan numpang tinggal gratis di sini! Sama sekali tak ada uang sewa yang kalian bayarkan untukku!"
"Saya akan membayarnya! Tolong, Anda keluar dari sini!" pinta Ryou masih menahan nada suaranya.
"Halah! Gak usah banyak bacot kau! Suamimu sudah menjualmu padaku untuk biaya kontrak rumah selama dua bulan. Aku tak punya banyak waktu. Cepat kita selesaikan sekarang!"
Ryou berusaha lari ke kamarnya untuk mencari uang simpanan, tapi Pak Bram lebih dulu menarik ujung handuk Ryou sampai hampir melorot. Ryou menahannya dengan susah payah di tubuhnya agar tak terlepas. Terjadi tarik menarik antara mereka.
"Jangan, Pak! Anda tidak punya malu!" sentak Ryou. "Saya akan laporkan pada istri Anda dan polisi!"
"Cih, suami dan mertuamu yang tak punya malu. Mereka sudah menjualmu padaku. Ayo, layani aku!"
Tangan kasar dan keriput Pak Bram mulai mendarat di pundak Ryou yang basah.
"Jangan teruskan!" desis Ryou.
Pak Bram tak peduli dengan penolakan itu. "Meski usiaku sudah kepala enam, tapi aku masih punya kekuatan yang cukup untuk menindihmu saat ini juga. Kau hanya perempuan kurus yang lemah," ancam Pak Bram.
"Lemah," desis Ryou.
Pak Bram dengan kasar mendorong punggung Ryou hingga menghadap ke dinding pembatas antara dapur dan kamarnya. Dinding papan tipis itu tak akan bisa menutupi suara dan gema apa pun. Ryou menahan tubuhnya dengan kedua tangan menekan dinding.
PaK Bram mulai melancarkan aksinya. Dia mulai dengan mengusap tulang belikat Ryou. Pria tua itu berdecak dan mencibir sekaligus.
"Sayang sekali tubuh sebagus ini harus rusak akibat tangan keparat itu!"
Ryou memejamkan mata menahan semuanya seorang diri.
Punggung perempuan itu penuh luka lebam baik yang masih baru maupun lama. Selama ini, dia selalu menutupi luka-luka di tubuh dan juga keindahannya dengan pakaian yang tertutup dan longgar. Orang lain yang melihat Ryou pasti berpikir dia perempuan yang tidak menarik dan membosankan.
Tapi, Pak Bram sudah lama memperhatikan Ryou pada setiap kesempatan. Dia tahu perempuan itu seperti mutiara di dalam tumpukan pasir hitam. Setiap kali sang ibu mertua membayar uang kontrakan dengan tubuhnya untuk Pak Bram, yang Pak Bram bayangkan saat melakukan semua itu adalah wajah Ryou.
"Kali ini aku tak perlu membayangkannya lagi! Kau sudah ada dalam genggamanku. Kau milikku sekarang meski hanya beberapa menit. Ayo, buka kakimu!" bisik Pak Bram sambil menendang ke dua kaki Ryou yang telanjang agar terbuka. Dia dorong tengkuk Ryou ke dinding agar menungging.
"Hentikan, Pak! Jangan lakukan ini."
"Kenapa? Kau mau mengancamku dengan apa?"
"Anda akan menyesal jika menyetuh saya lebih jauh!" geram Ryou.
Pak Bram menyeringai. Plak! Dia pukul pantat Ryou dengan gemas.
Wajah Ryou memerah dengan kedua tangan yang mengepal ke dinding menahan harga diri.
Bintang menunggu di beranda rumah sambil menyulut rokoknya. Dia tampak tenang dan tak terusik sama sekali dengan apa yang menimpa istrinya saat ini.
"Cih, tua bangka itu, mana mampu dia melakukannya? Paling belum satu ronde sudah tumbang!" gerutu Bintang sambil mengibas-ngibaskan api pada nyala korek batangannya.
"Aaah!" terdengar pekikan dan jeritan dari dalam rumah.
Bintang yang terkejut segera berdiri dan mondar-mandir di beranda. "Apa yang terjadi? Apa dia begitu menikmatinya sampai menjerit seperti itu? Tua bangka keparat!"
Bintang mulai gelisah dan resah. Meski dia muak dengan kehidupannya tapi masih ada rasa cemburu yang tersisa di dalam batinnya.
"Apa yang sebenarnya tengah mereka lakukan? Ini sudah terlalu lama dari perjanjian. Harusnya Pak Bram tak mampu berbuat sejauh itu, kan?"
Karena tak tak tahan dengan rasa penasaran dan juga gelisah, Bintang berusaha masuk rumah. Dia sudah memegang gagang pintu depan dan....
Klak!
Bintang tersetak mundur. Belum sempat dia membuka pintu, Pak Bram sudah muncul lebih dulu di depannya dengan terengah dan bersimbah keringat.
"Sudah selesai, Pak?" tanya Bintang dengan senyum malu-malu.
Pak Bram tak berbicara. Wajahnya begitu marah dan pucat. Dia dorong Bintang yang berdiri di depan pintu dengan kesal.
"Minggir!"
Pak Bram meninggalkan rumah kontrakan Bintang bukan lewat dapur seperti saat dia masuk tapi lewat pintu depan. Jalannya terpincang-pincang.
Bintang keheranan. "Bukankah seharusnya istriku yang terpincang? Kenapa jadi dia yang pincang?"
Bintang meneleng dan lari ke kamarnya. Dia melihat sang anak masih lelap sendirian. Dia pergi ke dapur. Di sana ada istrinya yang sedang menungging di lantai dapur mengepel lantai dengan kain lap. Tubuhnya hanya terbalut handuk. Bintang melihat pintu dapur yang menghubungkan dapurnya dengan dapur rumah Pak Bram terkunci rapat.
"Apa Pak Bram kehilangan kuncinya, ya?" batin Bintang.
"Aww!" jerit Bintang.
Kain pel Ryou mengenai ujung kaki Bintang yang cantengan.
"Brengsek! Di mana matamu kau taruh? Kau menyakitiku!" umpat Bintang.
"Tolong, minggir! Aku harus mengepel bagian itu," ujar Ryou lelah tanpa menoleh pada sang suami.
Bintang mundur dan menatap istrinya yang diam saja tanpa banyak protes. Dia ingin bertanya apa Ryou baik-baik saja tapi terlalu malu. Jika memang benar terjadi sesuatu antara istri dan induk semangnya, tentu istrinya tak akan baik-baik saja dan itu salah Bintang. Dia sadar itu. Akhirnya, dia pergi meninggalkan rumah.
Bintang mulai berpikir bahwa istrinya menikmati apa yang sudah dilakukan bersama Pak Bram. Karena tak tahan dengan rasa penasaran akhirnya Bintang berbalik dan bertanya.
"Apa uang kontrakan sudah kau bayarkan?" tanya Bintang.
Ryou yang saat itu baru selesai ngepel dan berdiri dengan gemetar hanya bergumam tanpa menoleh pada Bintang.
"Ya, sudah lunas!"
"Kau tak marah padaku?" tanya Bintang dengan nada menghardik.
"Ya, aku marah, tapi apa yang bisa aku lakukan? Bukankah selama ini selalu seperti ini?"
Saat bersamaan sang ibu mertua yang mendengarkan pertengaran mereka ikut berbicara. "Apa kalian tahu sesuatu tentang Pak Bram?"
Bintang bertanya balik pada sang ibu. "Apakah terjadi sesuatu padanya, Bu? Dia baru pulang dari sini untuk menagih uang kontrakan."
Sang ibu panik seketika. "Apa kau memukulnya? Dasar anak bodoh!" teriak sang ibu.
"Apa maksud Ibu? Tak terjadi apa pun di antara kami! Aku sudah membayarnya lunas."
"Aku bertemu dengan istrinya di jalan. Mereka sedang panik dan akan membawa Pak Bram ke rumah sakit. Katanya dia terluka. Seseorang memukulinya."
Bintang terdiam dan melirik pada istrinya yang kini tengah bersalin dengan daster rumahan. Perempuan itu masih diam dan datar. Tak ada kemarahan pun tak ada tangisan.
"Apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah antara Ryou dan Pak Bram?" batin Bintang.