Chereads / Rahasia Istri Bos Mafia Buta / Chapter 3 - 3: Penagih Utang

Chapter 3 - 3: Penagih Utang

Ryou mendorong gerobaknya dengan tergesa kembali pulang. Dia sedikit mengabaikan tangisan sang anak yang tak nyaman—ngantuk dan juga lapar. Perempuan itu sempat menyelipkan uang hasil penjualan hari itu di dalam gerobaknya. Dia tak ingin kejadian yang sama terulang, sang suami dan ibu mertua mencuri uang hasil berjualan.

"Jika mereka terus mengambil uangku, aku tak akan punya modal untuk belanja bahan." Ryou memejamkan mata dan menarik napas dalam.

Rumah kontrakannya hanya tinggal beberapa langkah lagi. Di rumah hanya ada sang suami. Biasanya, pria itu masih akan tidur sampai matahari tinggi. Ryou masih terngiang-ngiang pada wajah perempuan yang ditemukan mati pagi ini. Perempuan itu adalah pelanggan lama Ryou. Dia juga mempunyai seorang anak bayi seperti dirinya.

Sudah seminggu ini perempuan itu tak datang untuk membeli bubur bayi. Pada pertemuan terakhir mereka, perempuan itu mengatakan sesuatu yang selalu mengusik Ryou.

"Kau harus bisa pergi dari suamimu. Orang seperti itu, suatu saat bisa membunuhmu atau anakmu!"

Ryou memilih tak menanggapinya. Dia tak pernah bercerita pada orang lain tentang kehidupan rumah tangganya. Selama setahun lebih berjualan bubur bayi, Ryou selalu berhasil menyembunyikan bukti-bukti perlakuan kasar sang suami pada wajah dan tubuhnya. Tapi, perempuan itu seakan tahu segalanya.

Dua meter lagi, Ryou akan tiba di rumah. Dari jarak sejauh itu, dia bisa mendengar teriakan dan makian sang suami entah pada siapa.

"Brengsek, kau! Mentang-mentang kami ngontrak di sini, kau bisa hinakan kami seperti ini?" teriak sang suami.

Ryou tertegun. Dia melupakan sang induk semang, Pak Bram yang akan datang menagih uang kontrakan rumah.

"Aku hanya meminta hakku, Bin!" teriak Pak Bram tak kalah kencang.

Brak!

Mendengar suara gebrakan dari rumahnya, sejumlah tetangga yang berbagi dinding dengan rumah kontrakan Ryou muncul seketika. Mereka melongokkan kepala dari jendela rumah masing-masing ingin tahu apa yang sedang terjadi. Ryou sangat malu. Dia meletakkan gerobaknya dan berlari cepat masuk ke rumah.

Sang suami mengambil panci dan akan melemparkannya ke arah Pak Bram. Ryou mengadangnya dengan cepat dan panci itu hampir memukul kepalanya. "Sudah cukup, Mas!"

"Ah, pulang juga kau akhirnya. Bayar uang kontrakan padanya! Panas kupingku dipermalukan soal uang kontrakan yang tak seberapa!"

Pak Bram memicingkan mata. "Jika memang tak seberapa, kenapa tak kau bayarkan juga?" ujarnya sambil berkacak pinggang.

Kakek berusia 65 tahun itu terlihat masih kekar dan gahar. Dia bisa bersikap sangat baik, tapi kadang juga menjengkelkan. Karena Ryou tak tahan semakin banyak tetangga yang melongokkan kepala ke arah rumah mereka, akhirnya dia menutup rapat pintu rumahnya. Mereka bertiga terkunci di dalam ruang tamu yang sempit.

"Apa yang akan kalian lakukan? Kalian akan membunuhku? Aku akan berteriak!" ancam Pak Bram dengan wajah ketakutan dan tubuh yang sigap untuk melawan.

"Bukan begitu, Pak. Saya hanya tak mau dilihat banyak orang. Bisa kita bicarakan baik-baik? Marilah, kita duduk dulu!" bujuk Ryou dengan putus asa.

Sang suami terlihat masih marah dengan wajah kantuk dan pucatnya. "Sudah kubilang, bayarkan uang sewa itu!" desis sang suami sambil menyeret dan mencengkeram tangan Ryou memasuki dapur.

"Sungguh, Mas, aku belum ada uang. Tidak bisakah Mas Bintang bayarkan dulu? Nanti akan aku ganti," ujar Ryou tertahan dan ketakutan.

"Ah, perempuan sialan! Berani membantah, kau, sekarang?" Sang suami menggeledah pakaian Ryou dan mencari uang hasil jualannya hari itu. Dia juga menarik lepas sang anak dari gendongan dan memeriksa seluruh bagian tubuhnya. "Di mana kau simpan?"

Ryou sangat ketakutan jika sang anak akan menjadi korban. Dia peluk dan dekap anaknya dengan erat.

"Ibu sudah mengambil semua uang simpananku. Tadi pagi, Mas Bintang sendiri yang menyuruhku menyerahkannya, bukan? Itu uang simpanan untuk bayar kontrakan."

"Bangsat, kalian berdua!"

Bintang bangkit sambil menyugar rambut. Dia mengusap wajah tampak sedang berpikir. Di ruang tamu, Pak Bram tampak sedang menunggu dengan was-wasa. Karena tak tahan dengan tekanan, Bintang kembali ke ruang tamu untuk menemui sang induk semang.

Ryou meringkuk di sudut dapur yang dingin sambil mendekap anaknya yang mengantuk. Dia susui sang anak agar terlelap meski perutnya sendiri kosong belum terisi. Dia tidak tahu apa yang sedang suami dan induk semangnya bicarakan. Tapi, tak ada lagi keributan terdengar dari depan.

Tak berselang lama, pintu depan terdengar terbuka dan Pak Bram pamit pergi. Mereka terdengar bercakap-cakap seperti teman lama yang akrab. Keributan dan teriakan yang sebelumnya terjadi seakan menguap begitu saja.

Bukannya lega, Ryou malah semain ketakutan. Dia tahu suaminya mungkin sedang merencanakan sesuatu. Hal yang sama juga terjadi beberapa bulan yang lalu. Pak Bram datang menagih utang dan marah-marah karena sudah tiga bulan mereka menunggak. Pada akhirnya, Pak Bram tak mengungkit hal itu dan menganggapnya sudah lunas. Belakangan, Ryou tahu bahwa suaminya mencuri dan menjual perhiasan sang ibu pada pria itu untuk menutup utang sewa kontrakannya.

Masih melekat jelas ingatan tentang peristiwa kehilangan perhiasan itu dari lemari ibu mertuanya. Perempuan itu mengamuk dan menuduh Ryou sebagai pelakunya. Dia dipukuli dan disiksa sampai pingsan. Belum puas, perempuan itu kembali melakukannya keesokan hari. Bintang menghentikan ibunya karena tak ingin Ryou mati yang akan menimbulkan masalah panjang bagi mereka.

Terdengar suara langkah kaki Bintang mendekat ke dapur. "Aku lapar!" teriaknya.

Ryou mengembuskan napas berat. "Aku belum sempat masak, Mas. Beras kita habis."

"Apa saja kerjamu jadi istri?" teriak Bintang sambil mengayunkan tangannya.

Ryou mengerut sambil melindungi anaknya. Dia menunggu beberapa saat berpikir Bintang akan memukul atau menendangnya seperti yang sudah-sudah, tapi tak terjadi.

"Capek juga aku lama-lama hidup seperti ini. Aku makan di warung saja!" teriak Bintang berlalu pergi. "Ingat, nanti bayar utang sewa kontrakan pada Pak Bram!" teriak sang suami sesaat sebelum pergi.

Ryou melorot di kasurnya, "Jadi, utang itu belum dibayar!" Dia mengatupkan mata.

Sang anak sudah tidur. Suaminya pergi entah ke mana. Sang ibu mertua juga belum kembali. Saat sendirian seperti itu biasanya Ryou gunakan untuk menangis dan meringkuk di kamar mandi. Dia merasa sangat lelah dengan hidupnya. Tapi, setiap kali melihat sang anak, keinginan untuk menyerah itu pupus seketika.

"Jika aku tinggalkan dia sendirian, maka nasibnya akan lebih mengenaskan! Aku tak ingin dia hidup menderita sepertiku!"

Air mata menitik di wajah Ryou. Dia merasa mual setiap kali membayangkan hal-hal buruk yang bisa terjadi padanya kapan saja seperti pelanggannya yang ditemukan meninggal pagi ini di bawah jembatan.

Ryou pergi ke kamar mandi. Dia ingin memuntahkan cairan asam dalam perutnya yang kosong. Air keran dia nyalakan dan duduk di atas closet tanpa pakaian sambil menekuk lutut. Dia biarkan tubuhnya terguyur air dingin. Samar dari arah dapur terdengar gagang pintu diputar. Ryou mempunyai pendengaran yang waspada semenjak sering mendapat perlakuan buruk dari suaminya.

Dia begitu ketakutan. Pintu dapur itu selalu terkunci dan tak pernah dibuka. Rumah kontrakan mereka tersambung dengan rumah induk semang, satu rumah panjang yang dibagi menjadi dua. Bagian depan dihuni induk semang, bagian belakang dihuni Ryou dan keluarganya. Rumah mereka dipisahkan oleh satu pintu yang selalu terkunci yang terletak di bagian dapur Ryou.

Perempuan itu teringat pada ucapan suaminya sebelum pergi agar Ryou membayar utang pada Pak Bram. Ryou menggigil ketakutan. Dia mengunci rapat kamar mandi. Pintu dapur terbuka dan seseorang berjalan masuk.

"Aku tahu kau di kamar mandi," bisik Pak Bram yang terkenal dengan kemesumannya. "Keluarlah dan bayar utangmu!"

Ryou menutup telinga dengan rapat.

"Suamimu sudah menjualmu untuk membayar utang sewa selama dua bulan ini. Keluarlah, kau tak ingin anakmu terbangun, kan?