Angin dingin di malam hari berhembus dengan lembut. Cahaya rembulan di atas sana membuat suasana menjadi lebih syahdu, tetapi hal itu tidak berlaku untuk Akaito yang harus menggendong kedua anaknya sepanjang perjalanan.
"Kurasa ...makan malam di luar adalah ide yang buruk," keluh Akaito, "Mereka berdua benar-benar membuatku harus bekerja ekstra."
Mafuyu hanya dapat terkekeh mendengar keluhan sang suami, sementara dia menggendong Hokuto--serigala kecil baru mereka--yang ikut tertidur.
Sebelumnya, mereka berempat memutuskan untuk makan malam di restoran sekitar penginapan. Sho dan Yoshi merengek ingin memakan sushi, namun pihak penginapan tidak menyediakan menu tersebut di sana. Maka dari itu Akaito segera mengajak mereka keluar dan mencari kedai sushi terdekat.
Begitu sampai di tempat makan, Sho dan Yoshi segera memesan apa saja yang ingin mereka makan. Namun belum sampai satu jam lamanya, mereka berdua tertidur akibat terlalu letih dan juga kenyang. Hal ini jelas membuat Akaito harus menggendong mereka kembali ke penginapan.
"Bukankah ini hal baik?" tanya Mafuyu. "Kita begitu jarang bisa bersama mereka berdua ...bahkan tanpa kusadari, keduanya sudah tumbuh begitu besar."
Kalimat Mafuyu membuat Akaito tersadar. Rasanya waktu berjalan dengan begitu cepat, hingga mampu merebut saat-saat dimana Sho dan Yoshi masih begitu kecil. Kini, keduanya bukanlah bayi mungil yang merengek karena masalah popok.
"Kau benar, Mafuyu," ujar Akaito menyetujui.
Pria itu menatap kedua anaknya yang pulas dalam buaiannya. Akaito sama sekali tidak pernah menyadari bahwa waktu bisa sekejam ini, merebut momen kebersamaan mereka dalam sekejap mata. Tapi setelah ini semua akan berbeda, karena baik Akaito maupun Mafuyu akan dipindah lokasi menuju Tokyo.
Saat berada terhanyut dalam pikiran masing-masing itulah Mafuyu berhenti melangkah. Dia menoleh ke belakang, namun hanya menemukan hutan kosong yang menghubungkan jalan utama dengan penginapan mereka di puncak bukit.
"Ada apa, Mafuyu?" tanya Akaito mengikuti tindakan istrinya.
Mafuyu terdiam sejenak selagi matanya memicing. Begitu menyadari apa yang terjadi, dia mendorong Akaito menjauh dan berteriak.
"MENGHINDAR!"
•••
Hantaman sesuatu yang begitu keras membuat jalanan di depan mereka berlubang seukuran mobil. Sesuatu yang tak kasat mata nyaris menghantam tubuh mereka, jika saja insting Mafuyu tidak menyelamatkan mereka.
Dengan cepat Mafuyu menyibakkan rok panjang yang menutupi kakinya, kemudian mengeluarkan sebuah belati berukuran 50 cm dari sarungnya yang membelit pahanya.
"Akaito-kun," Mafuyu memasang kuda-kuda, "Bawa anak-anak ke tempat yang aman ...dan tolong bawa Hokuto juga bersama denganmu."
"Kau gila?!" seru Akaito. "Mana mungkin aku membiarkanmu dalam bahaya! Lagipula, lawan kita belum menampakkan diri!"
Mafuyu tidak menjawab mendengar bentakan suaminya. Dia menoleh ke belakang dan merasakan sesuatu mulai mendekat, membuatnya harus meminta Akaito pergi bersama Sho, Yoshi dan Hokuto.
"Lawan kali ini cukup berbahaya, Akaito-kun. Kumohon ...bawa jauh Sho dan Yoshi."
Akaito menimbang permintaan Mafuyu dengan berat hati. Dia tidak ingin meninggalkan istrinya seorang diri, namun dia juga tidak mau membahayakan kedua anaknya. Frustasi akan keputusan yang memberatkannya, Akaito mundur sambil menggendong Sho, Yoshi dan Hokuto.
"Bertahanlah sampai aku tiba, Mafuyu!" ujar Akaito.
Mendadak pepohonan yang menutupi hutan tersibak, membiarkan cahaya rembulan menyinari tanah tersebut. Mafuyu mendongak dan bersiaga, setelah Akaito menjauh dia bisa fokus menghadapi lawannya. Kini dia bisa melihat langit berbintang dengan jelas tanpa terganggu oleh pohon. Tapi di saat bersamaan dengan keindahan langit musim panas, sambaran kilat dan iringan gelegar memekakkan telinga.
Jeritan panik orang-orang terdengar jelas beriringan dengan raungan dari kegelapan. Mafuyu tidak membiarkan kewaspadaannya menurun, sekali pun monster itu mulai merayap keluar dari dalam hutan.
Raungannya begitu kuat dan menggelegar, sehingga membuat tubuh Mafuyu terhuyung ke belakang karena sapuan angin. Mengetahui lawannya bukanlah makhluk biasa, dia memposisikan belati di tangannya dalam posisi menyerang. Namun, dia tidak kunjung melihat seperti apa rupa lawannya.
Tidak lama udara sekitar dipenuhi oleh asap--kabut beracun. Tabir itu berwarna merah pekat dan begitu mematikan untuk orang biasa. Mengetahui ada hal yang tidak beres mengenai perubahan di sekitarnya, dengan segera Mafuyu menarik secarik kertas dari balik roknya dan merapal dalam bahasa asing.
Tidak berapa lama setelah sebuah sihir melindungi Mayuri dari pengaruh kabut, makhluk itu mulai menampakan diri. Seekor ular--naga besar dengan sisik berwarna safir.
Sang Ular Safir berdesis selagi menjulurkan lidahnya. Makhluk itu merayap mendekati Mafuyu yang berdiri di pelataran terbuka antara hutan dan kawasan penginapan. Namun, tanpa rasa takut Mafuyu memperhatikan sepasang tanduk runcing yang mencuat dari kepala sang ular.
Merasa diperhatikan oleh seseorang, ular tersebut mengeluarkan suara desis nyaring. Dengan matanya yang kuning cerah seperti batu giok, makhluk itu menatap Mafuyu dengan penuh kebencian.
"Dimana inkarnasi sang Miko?" Tiba-tiba terdengar suara di dalam kepala Mafuyu.
"Apa kau berpikir bisa terus menyembunyikannya? Dasar, manusia naif."
Mafuyu menelan saliva sebelum menjawabnya, "Kau tidak akan kubiarkan mendekatinya, Hebitsu!" teriaknya lantang. "Hadapi aku dulu, sebelum kau bisa menemukannya!"
Hebitsu nampak gusar dengan jawaban Mafuyu. Hal ini jelas terlihat dari bagaimana dia bergerak gelisah, seolah ingin melumat sesuatu di hadapannya.
"Pancaran mantra ini ...kau ...kau adalah Tenko!" raung Hebitsu marah, sementara ekornya menghancurkan beberapa pohon di dekatnya. "Ma ...mati ...MATILAH!!"
Selesai mengatakannya, Ular Safir mengibaskan ekornya yang berukuran besar. Seiring dengan gerakan ekornya, asap tebal berwarna merah itu mulai mengepung Mafuyu.
Sebelum terkepung sepenuhnya, Mafuyu melompat ke sisi lain dengan menggunakan pepohonan sebagai tempat bersembunyi. Sang ular mengalihkan perhatiannya ke pepohonan tempat wanita tersebut bersembunyi. Ekornya yang besar menghantam ke tempatnya, tapi Mafuyu sudah berpindah tepat saat pohon tersebut dilumatkan.
Mafuyu dipaksa bertahan dari sang ular dan kabut beracun tanpa henti. Dia buru-buru merapal mantra untuk memberikan perlindungan, sebelum debuman keras membahana kala sang ular menyerang Mafuyu yang sudah terlindungi.
Dari balik kubah pelindungnya, Mafuyu dapat melihat celah antara sisik yang terkelupas di tubuh Hebitsu. Daerah itu berada di dalam jangkauan serangan belatinya dan tidak tertutup oleh gangguan lainnya. Ditambah lagi saat ini sang ular masih memulihkan diri dari serangan mantra tadi.
'Ini terlalu mudah,' pikir Mafuyu. 'Hebitsu pasti tidak akan memberikan celah semudah ini.'
Tapi Mafuyu tidak ingin membuang kesempatan tanpa mencoba. Nyawa banyak orang turut dipertaruhkan pada saat ini, hal itu turut mempertaruhkan keselamatan kedua anaknya. Dengan pemikiran seperti itu dia melesat sedekat mungkin dengan bagian yang tak tertutup sisik tersebut dan melemparkan sebilah pisau. Pisaunya meluncur di udara, dan nyaris menancap bagian yang diinginkan. Akan tetapi Hebitsu tidak akan membiarkannya semudah itu.
Hanya satu tarikan napas setelahnya, ekor Hebitsu melecut ke arah Mafuyu. Mafuyu berusaha menghindar di saat-saat terakhir, akan tetapi ekor ular itu kembali mengincarnya. Satu serangan tersebut berhasil menghantam perutnya, membuat tubuh Mafuyu terbang menuju dinding bangunan dengan mudahnya.
Dalam keadaan tubuh terluka cukup parah, Mafuyu bisa merasakan kepalanya berdenyut nyeri. Serangan tadi berhasil membuat tubuhnya terkubur cukup dalam pada dinding, membuat struktur bangunannya rusak parah.
Meski begitu dia tetap memaksakan diri keluar dari sana, walaupun tulang punggungnya patah diiringi darah mengalir dari kepalanya. Mafuyu berusaha tetap terjaga walaupun pandangannya mulai mengabur. Namun, hal terakhir yang dapat dilihatnya adalah sosok samar Akaito yang mendekat, dan suara teriakan yang memanggil namanya.
"MAFUYU!"