Akaito sadar dengan tindakannya yang berbahaya ini. Dia baru setengah jalan saat ular tersebut kembali melecutkan ekornya. Makhluk itu sudah menargetkan Akaito, sejak teriakannya memanggil nama Mafuyu.
Kabar baiknya Akaito masih sempat menjatuhkan diri ke tanah sebelum Hebitsu menyerangnya, namun kepulan asap beracun segera menyambut Akaito. Pria itu batuk dan merasa sesak, tapi dia harus terus bergerak.
Hebitsu kembali menyerang dengan ekor, memaksa Akaito berguling untuk menghindari setiap serangannya. Seluruh tubuhnya terasa kebas, karena gerakan yang sama dalam waktu cukup lama. Rasanya dia seperti ditusuk oleh jarum berukuran besar, namun tidak dapat dapat berhenti bergerak.
Puncaknya terjadi saat dia mulai kehabisan tempat untuk menghindar, di saat itulah satu sosok melesat di hadapannya. Sekali pun Mafuyu terluka parah, dia masih berusaha melindungi suaminya meski harus memaksakan tubuhnya.
"Akaito-kun, ka ...kau tidak apa?" tanya Mafuyu dengan suara gemetar.
Akaito menatap istrinya yang bermandikan darah dan juga luka, namun masih sanggup untuk membuat pelindung khusus dari serangan Hebitsu. Akan tetapi pelindung itu tidak bertahan lama, karena kondisi tubuh Mafuyu yang terluka begitu parah.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Mafuyu, pria itu menarik selembar kertas dari balik kemejanya sebelum merapal mantra. Cahaya merah terang menyelimuti mereka saat simbol sakral pada kertas yang dipegang, kemudian merubah tangan kiri Akaito diselimuti pelindung khusus yang menyala merah seperti bara panas.
"Cursed Talisman : Abyss of Inferno."
Akaito melompat ke samping untuk memancing perhatian Hebitsu, mencegahnya supaya tidak menyerang Mafuyu yang terluka. Tujuan utama pria itu adalah memberikan waktu bagi istrinya beristirahat, dan menghabisi Hebitsu seorang diri. Jadi dia berlari mengitari tubuh makhluk tersebut dan masuk ke dalam hutan, sebelum melancarkan serangan pertamanya.
Akaito bisa merasakan napas beracun Hebitsu dari jarak sejauh itu. Tanpa aba-aba taring Hebitsu segera menancap hanya beberapa senti darinya di tanah. Hanya tinggal waktu dan turunnya konsentrasi Akaito saja, sebelum Hebitsu bisa melumat dan membunuhnya. Detik berikutnya Akaito mendengar suara yang keras berasal dari balik pepohonan jauh di belakangnya.
Dia menoleh sejenak dan menyadari bahwa sesuatu tengah melesat begitu cepat ke arahnya. Pria itu merunduk hanya untuk melihat sebuah anak panah menancap tepat pada bola mata Hebitsu, dan mengalirkan energi listrik yang begitu besar.
"Tidak bisakah kau tidak terlibat kasus, Akaito?"
Suara seseorang terdengar dari arah hutan yang gelap, memaksa Akaito harus melihat lebih teliti guna mengetahui siapa yang berbicara. Tak lama, muncul seorang pria berambut gelap dengan membawa busur di tangannya. Dia berlarian kecil menuju tempat Akaito sambil mengomel--tidak senang, karena tugasnya malam ini.
"Kau berhutang padaku, Akaito."
Akaito terkekeh, "Terima kasih, Daichi."
Percakapan mereka berdua terputus oleh serangan yang dilakukan Hebitsu, memaksa Akaito harus merunduk sementara Daichi melompat tinggi ke angkasa.
"MATILAH!" raung Hebitsu sekali lagi.
Suaranya yang menggelegar membuat tanah yang dipijak ikut bergetar. Daichi menarik tali busurnya dan melancarkan serangan pertama ke arah Hebitsu, membuat ular tersebut berbalik arah untuk mengejarnya.
"Akaito!" suara Daichi terdengar begitu samar saat dia mulai berlari menjauh. "Dimana Mafuyu dan kedua anakmu?"
Saking besarnya Hebitsu, Akaito harus menjawab pertanyaan sembari menghindari sabetan ekornya. "Sho dan Yoshi ada di tempat aman!" Akaito merunduk ke tanah begitu ekor Hebitsu nyaris menerbangkannya. "Bisa kau tahan Hebitsu sendiri, Daichi?!"
Meski enggan menjawab pertanyaan tersebut, Daichi hanya mengangguk selagi berurusan dengan mulut besar Hebitsu. Terlihat jelas bahwa pria itu tengah menahan rahang ular tersebut menggunakan busur khususnya, sehingga dia tidak termakan oleh Hebitsu.
"Pergilah! Selamatkan Mafuyu!"
Akaito mengangguk. Dia segera berlari ke arah lain untuk menjemput Mafuyu, sementara Daichi mulai bergulat dengan Hebitsu. Suara hantaman yang begitu keras sempat membuat Akaito ragu untuk meneruskan perjalanan, namun tidak jauh dari lokasinya berdiri, Mafuyu mendekat dengan perlahan-lahan.
"Mafuyu!" Akaito berlari mendekat dan memapah istrinya. "Beristirahatlah dengan anak-anak di ruangan darurat."
Mafuyu menggeleng, "Tidak apa ...aku akan ikut bertarung dengan kalian."
Jelas sekali terlihat bahwa Akaito ingin memprotes, namun Daichi juga memiliki nyawa yang tengah dipertaruhkan. Tidak dapat menolak permintaan Mafuyu, pria itu mengangguk memberikan izin sebelum kembali ke tempat Daichi.
Sesampainya di sana, mereka disambut oleh pemandangan yang luar biasa. Hebitsu mengibaskan ekornya, persis seperti kucing yang gemas ingin menerkam mangsa. Makhluk itu menerjang dan menghantam ruang kosong, di saat Daichi sudah menghindar dan bergabung kembali dengan Akaito serta Mafuyu.
"Manusia lemah seperti kalian hanya menang berkat jumlah," ucap Hebitsu dalam pikiran mereka. "Jiwa kalian memang pantas untuk mendekam di bagian terdalam Hametsu."
"Kemudian mengabdi kepada Ashuramaru?" hardik Akaito. "Dalam mimpimu, makhluk busuk."
Jawaban Akaito memicu amarah Hebitsu. "Busuk?! Kita lihat siapa yang akan membusuk!" Dan kemudian, dia mengibaskan ekornya.
Saat itu juga tanah berguncang dengan hebat, sementara kepulan asap--kabut semakin menebal dan jaraknya pun meluas. Kali ini Akaito nyaris tidak dapat melihat apapun kecuali gumpalan merah pekat di depan mereka.
"Ini tidak bagus," gumam Akaito. Di tengah pekatnya kabut beracun ini, dia tidak dapat mendeteksi keberadaan Hebitsu.
Untung saja Mafuyu berada dengannya. Wanita itu mengeluarkan tiga lembar kertas jimat dan melemparnya ke udara, sebelum satu baris mantra diucapkannya.
"Bersihkan dan murnikan apa yang menjadi dosa di dunia ini ...kembalikan semua ketidakmurnian menjadi kilau bintang di langit malam," Mafuyu berhenti sejenak, "Vajra Talisman : Heaven Protection!"
Kertas tersebut berubah menjadi percikan cahaya kecil berwarna biru dan menyebar ke sepenjuru udara. Perlahan namun pasti, semua kabut yang ada mulai menghilang dan memperlihatkan sosok Hebitsu yang tengah bersiap untuk menyerang.
"Lompat!"
Telat beberapa detik saja, maka mereka bertiga sudah mati tertimpa tubuh besar Hebitsu. Tanpa menunda lagi, Akaito menyerang terlebih dahulu dengan cakaran besar. Namun kukunya yang tajam hanya memercikkan bunga api saja begitu menggores sisik Hebitsu. Daichi sendiri kembali mengincar bola mata Sang Ular yang lainnya, namun rencananya gagal karena Hebitsu mulai meronta-ronta dan memaksa mereka mundur.
"Bagaimana cara kita memurnikannya?" Daichi mengeluh sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Apakah aku perlu menggunakan jimat 'itu' sekarang, Akaito-kun?" tanya Mafuyu.
Akaito terdiam sejenak sembari menganalisis. Ini sangat sulit, karena Hebitsu memiliki kekuatan yang sangat besar. Bahkan dua anggota dari Dua Belas Penjaga Surgawi saja seolah belum cukup untuk memurnikannya.
Di saat itulah Akaito tersentak, seperti mendapatkan bisikan. Suara yang muncul di dalam kepalanya mengatakan bahwa, 'kelemahan Hebitsu bukan hanya pada satu titik'.
"Mata dan di balik sisik dekat dengan perutnya ...kelemahan Hebitsu ada si sana." ucap Akaito.
"Kau yakin?" Daichi mengangkat alis ragu.
Akaito mengangguk dan hanya menatap pria tersebut. Dia menoleh ke arah Mafuyu, seolah berkomunikasi melalui tatapan saja. Alih-alih kebingungan akan tatapan Akaito, wanita itu mengangguk kemudian pergi ke arah lain untuk mempersiapkan serangan.
"Nah, Daichi ...aku akan melunasi hutangku yang tadi," Akaito menyeringai. "Namun sebelumnya, aku butuh dukungan dari belakang."
Daichi tertawa. "Tiga botol ...kau berhutang tiga botol."
Dan setelah negosiasi ringan itu, mereka berdua menerjang ke depan bersama-sama.