Deru kendaraan bermotor dan bunyi lolongan saling bersahutan, hingga membuat Yoshi harus terbangun dari mimpinya.
"Hngh," dia melirik jam pada dinding, kemudian kembali berbaring di atas ranjang.
Rasa kantuk masih menghantuinya, ditambah suhu ruangan yang begitu sejuk semakin membuatnya ingin terlelap. Setidaknya itu adalah hal yang dibutuhkan Yoshi, sampai tubuh besar berlapis bulu itu menimpa tubuhnya.
Dengan berat hati dia pun memutuskan untuk mengintip, sekedar melihat makhluk apa yang sudah menimpanya. Begitu mengetahui sang pelaku adalah serigala peliharaannya sendiri, Yoshi hanya bisa menghela napas pasrah.
"Hokuto, kumohon ...lima menit saja, ya?"
"WOOF!"
Seolah tidak mengizinkan gadis itu kembali berbaring, Hokuto segera menarik-narik selimut yang dipakainya . Mau atau tidak mau Yoshi harus bangun, atau serigala itu akan menggonggong ke arahnya tanpa henti.
"Baik, baik!" ujarnya kesal karena tidurnya diganggu. "Aku sudah bangun! Puas?"
Seolah meledek pemiliknya, Hokuto segera turun dari atas tubuh Yoshi. Gadis itu menyibakkan selimut kemudian beranjak dari ranjang, lalu merapihkan tempat tidurnya dengan cepat. Selepas mengumpulkan nyawa, dia pun berdiri dan membuka tirai jendela kamar.
Matahari belum muncul di ufuk timur saat ini, namun Yoshi harus segera bersiap karena dia harus bertemu dengan dosen pembimbingnya di kampus jam sembilan nanti. Memang menyebalkan, namun hal ini menjadi sebuah keharusan.
Sebelum turun ke lantai bawah dan mambantu di dapur, Yoshi ingin mandi terlebih dahulu untuk menyegarkan badan. Akan tetapi Hokuto seperti tidak sabar untuk keluar kamar, jadi dia mengurungkan niatnya dan membuka pintu. Begitu daunnya mengayun terbuka, Hokuto berlari menuruni tangga dengan begitu cepat.
"Hokuto!" panggil Yoshi panik.
Dia berlari dari kamar dan mengikuti serigala besar tersebut, kemudian berakhir di depan pintu dapur. Mafuyu yang berada di sana segera menoleh, dan menyapa putrinya tersebut dengan senyuman.
"Pagi, Yoshi."
Yoshi menghela napas sejenak sebelum menjawab. "Pagi, Ibu."
Gadis itu masuk ke dalam ruangan dan segera menuju pintu kulkas. Dia mengeluarkan daging mentah berukuran besar dan meletakkannya di atas piring khusus, kemudian memberikannya kepada Hokuto yang sudah duduk manis di dekat meja makan.
Mafuyu tertawa kecil melihat interaksi keduanya selagi menyiapkan makanan, kemudian meminta tolong kepada Yoshi untuk membangunkan Akaito.
"Sayang ...bisakah kau bangunkan ayahmu?" tanya Mafuyu sembari mengaduk saus tomat di panci.
"Ayah belum bangun? Astaga ...apakah ayah habis lembur lagi, Bu?"
Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan oleh Mafuyu, membuat Yoshi segera berdiri dan melangkah keluar ruangan lagi. Tujuannya kali ini adalah kamar orang tuanya di lantai satu, lebih tepatnya dekat dengan tangga menuju lantai atas.
Dengan perlahan Yoshi membuka kenop pintu, dan masuk ke dalam untuk membangunkan Akaito.
"Ayah," panggil Yoshi, "Bangunlah, Ayah."
Mendapati bahwa dengan suara pelan tidak mempan, maka Yoshi segera masuk ke dalam dan mendekati ranjang.
"Ayah!" panggilnya sedikit lebih keras. Tidak ketinggalan dia juga mengguncang tubuh yang terbalut selimut tersebut. "Ayah, bangunlah!"
Namun tetap nihil.
"Ayah ...kau ini tidur atau simulasi mati, sih?" gumam Yoshi sambil memutar otak. Dia masih berusaha untuk membuat ayahnya terbangun.
Dia melihat ke arah jendela terbuka, dan mendapati matahari sudah muncul di ufuk timur. Karena gemas dengan tingkah ayahnya, Yoshi pun mengambil keputusan yang mungkin akan membuatnya kena omelan Akaito atau Mafuyu.
"Ketahuilah bahwa aku melakukan ini demi kebaikan ayah." ucap Yoshi selagi merangkak ke ranjang dan berdiri di atasnya.
Tanpa keraguan sedikit pun gadis itu segera melompat cukup tinggi, dan mendarat tepat di atas tubuh Akaito. Cara ini sangat ampuh untuk membangunkan seseorang, dan itu sudah dibuktikan oleh Yoshi sejak kecil.
KRAK!
"UGH!"
Seolah tertimpa batuan besar, Akaito mengeluarkan suara aneh sekaligus bunyi retakan pada tulangnya. Bangun dari tempat tidur mungkin akan menjadi pilihan terakhir Akaito setelah ini.
"Ayah?" Yoshi yang berada di atas Akaito memanggilnya. "Um ...selamat pagi, Ayah."
Terlihat jelas bahwa Akaito enggan menunjukkan wajahnya kepada Yoshi, dan memilih untuk merasakan nyeri di punggungnya yang tak kunjung mereda. Sampai aada akhirnya, protes itu keluar dari mulut Akaito.
"Bisakah kau membangunkan ayah dengan lebih lembut, Yoshi?" keluh Akaito.
Yoshi hanya tertawa kecil sebelum menyingkir dari atas tubuh Akaito, kemudian berjalan menuju pintu terlebih dahulu.
"Ayo cepatlah sedikit, Ayah!" seru Yoshi. "Ibu membuatkan pasta untuk sarapan, dan juga aku harus bersiap untuk persiapan sidang kelulusan."
•••
Acara sarapan mereka berlangsung lebih lama dari dugaan Yoshi. Hal ini disebabkan oleh Akaito yang terus mengomel karena tingkahnya tadi, dan juga Mafuyu ikut-ikutan bertanya soal persiapan sidang bulan depan.
Dua hal tadi membuatnya harus berangkat sedikit terlambat, dan beruntung Akari--teman dekatnya bersedia menunggu sejenak di stasiun kereta.
"Akari!" panggil Yoshi setelah berlarian sepanjang peron. Napasnya tidak teratur, sementara wajahnya dipenuhi keringat.
Akari yang tengah duduk menunggu sendirian segera berdiri saat mendengar teriakan tadi. Dia menoleh ke arah suara, dan menemukan kondisi Yoshi yang kurang baik.
"Kau baik-baik saja, Yoshi?" tanya Akari dengan khawatir.
Yoshi menggeleng, "Tidak masalah ...aku tidak apa."
Akari tidak mempercayai jawaban temannya dengan mudah, dan membantu Yoshi untuk duduk sejenak. Untung saja ada mesin minuman di dekat mereka, jadi Akari pergi sejenak untuk membelikan Yoshi air mineral.
"Kenapa kau berlari seperti tadi, Yoshi? Padahal aku sudah bilang 'tidak apa kalau harus menunggu lebih lama' tadi, kan?"
Yoshi mendongak dan menerima sodoran air minum darinya. Dengan cepat dia membuka tutupnya, kemudian meneguk isinya hingga habis setengah bagian.
"Bukan itu masalahnya," sanggah Yoshi, "Aku juga memiliki janji dengan Professor Takigawa untuk menanyakan beberapa detil."
Pertanyaan yang tampk ingin diajukan oleh Akari tertahan oleh bunyi sirine kereta dari kejauhan. Mereka bersiap-siap untuk menaiki salah satu rangkaian, dan melaju menuju ke kampus.
"Yoshi," panggil Akari saat kereta mereka mulai bergerak maju. "Bukankah kau tinggal menunggu sidang saja? Kenapa masih menemui Professor Takigawa?"
"Soal itu ...aku perlu menanyakan beberapa detil saja." jawabnya sambil memandang ke arah luar jendela. "Bagaimana denganmu, Akari? Apakah bimbinganmu sendiri berjalan lancar?"
Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba saja Akari menghela napas dengan keras. Matanya mulai berkaca-kaca, membuat Yoshi panik seketika.
"A,ah! Ke ...kenapa kau?"
Akari menangis dalam diam selama beberapa saat, membuat suasana di dalam gerbong menjadi suram. Namun begitu mereka hampir sampai di stasiun tujuan, Akari baru menjawab pertanyaan tersebut. Satu kalimat saja, namun cukup membuat Yoshi menahan tawanya.
"Professor Murakami itu seperti iblis." ujarnya selagi melompat turun dari kereta, dan berjalan menuju pintu keluar.