Satu-satunya hal yang paling dibenci oleh anak kecil adalah mimpi buruk.
Dari sekian banyak imajinasi yang mampu dimunculkan dalam mimpi, Sho harus menelan kenyataan pahit yang teramat sangat. Di dalam mimpinya, dia melihat bagaimana ayah dan ibunya tengah melawan satu monster besar berbentuk ular--naga yang sangat berbahaya.
"Ayah," Sho berusaha memanggil mereka, "Ayah ...Ibu!"
Sekali pun dia menjerit, Akaito maupun Mafuyu tidak menoleh sedikit pun. Mereka berdua terus menyerang tanpa henti, seolah tidak ada kata lelah dalam kamus keduanya. Dalam situasi ini, Sho hanya bisa melihat tanpa melakukan apa-apa.
"Aku ...benci ini."
Semua pemandangan di mimpi itu segera menghilang, digantikan dengan suara seorang pemuda yang memanggil namanya. Meski enggan untuk membuka mata, Sho harus kembali pada kesadarannya atau dia akan terus melihat hal buruk dalam tidurnya.
"Shouichi? Apa kau bisa mendengar suaraku sekarang?"
"Hngh?" masih dalam kondisi setengah sadar, Sho hanya mengangguk sebagai bentuk jawaban.
Perlahan-lahan Sho mengusap matanya, dan berkedip berulang kali saat cahaya lampu menyorot retina matanya. Beberapa saat setelahnya, dia bisa melihat sekitar dengan lebih jelas. Akan tetapi, pandangannya terpaku pada pemuda di hadapannya.
"Kak ...Tenjin?" tanya Sho tidak percaya. "Apa yang ...kenapa kakak ada di sini?"
Tenjin hanya tersenyum, namun tidak memberikan jawaban. Pemuda yang tampak seperti anak SMA itu segera memanggil seseorang, sebelum kembali berbicara kepada Sho.
"Di luar sangatlah berbahaya sekarang," Tenjin menghela napas, "Celah antara Hametsu 'dunia bawah' dan dunia kita terbuka."
Sho terbelalak tidak mempercayai pendengarannya. Ucapan Tenjin terdengar tidak masuk akal baginya, ditambah jika itu memang benar maka mimpi buruknya adalah satu kenyataan.
Sho berniat menyampaikan sesuatu kepada Tenjin mengenai mimpi buruknya, namun dia tiba-tiba teringat kepada Yoshi yang tidak bersamanya.
"Kak Tenjin!" panggil Sho dengan sedikit berteriak. "Dimana ...dimana Yoshi?"
Tenjin menunjuk ke ranjang yang terletak tidak jauh dari sofa tempatnya berbaring. Mereka bertiga berada di dalam tenda darurat, yang lokasinya sendiri entah berada di mana. Pertanyaan Sho sebenarnya bukanlah itu, melainkan sejak kapan ada tenda di sana.
Seolah dapat membaca pikiran anak tersebut, Tenjin menepuk kepalanya dengan lembut. Pemuda itu seolah meyakinkan tidak akan terjadi hal buruk, selama Sho mempercayai mereka semua.
"Saat ini kau hanya perlu berfokus kepada Yoshi," tutur Tenjin, "Dia sedari tadi duduk di atas ranjang dan hanya menatap langit di belakangnya."
Begitu kalimat Tenjin selesai, Sho segera bangun dari sofa dan mendekati adiknya. Dia yakin kalau mimpinya barusan, dan kondisi adiknya sekarang saling berkaitan. Namun, begitu dia cukup dekat dengan ranjang, Yoshi langsung berbicara.
"Hebitsu ...Mata ...Sisik," tangannya terangkat kemudian bergerak seolah tengah memenggal kepalanya sendiri. "Listrik."
Tanpa mengatakan apa maksudnya, Yoshi segers terjatuh ke belakang dan tidur dengan nyenyak. Tenjin yang masih berada di sana hanya terdiam, sementara Sho berusaha mengguncang tubuh adiknya supaya bangun dan menjelaskan semua.
"Yoshi ...hoi! Bangunlah!" pinta Sho dengan cukup kasar.
"Hentikan, Shouichi."
Tenjin menyentuh pundak bocah itu, dan memintanya untuk tenang. Pemuda ini memahami maksud kata acak tersebut, sehibgga menghentikan apa yang dilakukan oleh Sho tadi.
"Sho, apa kau sudah berhasil menguasai kemampuan khusus 'itu'?" tanya Tenjin.
Sho menimbang sejenak sebelum memberikan jawaban. "Maksud kakak ...kemampuan khusus dari keluargaku?"
Tenjin mengangguk. "Dengar baik-baik, Sho ...waktu kita tidak banyak, dan aku butuh kemampuanmu untuk menyampaikannya kepada Akaito-san soal ucapanku ini."
Pada awalnya Sho menatap ragu Tenjin, namun dia mengangguk menyanggupi permintaan tersebut. Jadi dia menunggu sampai Tenjin memberitahukannya apa yang ingin disampaikan, sebelum Sho membuat koneksi yang menghubungkannya dengan pikiran ayahnya secara langsung.
Selama tiga menit lamanya, suasana di sekitar begitu sunyi. Tenjin menunggu bocah tersebut dengan sabar, dan begitu darah keluar dari hidung Sho terlihat maka tujuannya sudah terpenuhi.
"Kau tidak apa, Sho?" tanya Tenjin sembari menyeka darah yang masih terus keluar.
"Rasanya menyakitkan," jawab Sho, "Namun aku sudah mengatakannya kepada ayah. Jadi ...apa berikutnya, Kak Tenjin?"
Tenjin tersenyum tipis selagi membaringkan Sho ke atas sofa dan menyelimutinya. Pemuda itu menatap Yoshi dan Sho bergantian, sebelum berdiri dan beranjak dari dalam tenda tersebut.
"Tunggu saja di sini," pinta Tenjin. "Aku akan segera kembali bersama mereka semua."
•••
Hebitsu bergerak liar dan menyerang membabi buta tanpa pandang bulu, membuat semua yang berada di dalam jangkauannya tersapu bersih.
Mafuyu melompat ke samping saat taring-taring tajam itu berusaha mengoyaknya, nyaris membuat kakinya putus. Di sisi lain Daichi dan Akaito menyerang dengan kombinasi serangan jarak jauh dan dekat, membuat Hebitsu harus menerima pukulan menyakitkan di tubuhnya. Hingga Mafuyu berteriak memberikan tanda kepada Akaito dan Daichi.
"Akaito-kun!"
Suara panggilan itu membuat Hebitsu turut menoleh ke arah Mafuyu, membuat Akaito dan Daichi bertukar pikiran yang sama untuk memulai serangan. Mereka hanya memiliki satu kesempatan, dan jika gagal maka selesai sudah nasib mereka.
Daichi memanjat ranting tertinggi yang dapat dipijak olehnya, sebelum melakukan penyerangan. Dia menarik tali busurnya hingga batas maksimal, dan kilatan energi listrik terkumpul di mata anak panahnya saat dia merapalkan mantra.
"Vajra Talisman : Electric String," bisik Daichi, "Matilah!"
Kilatan cahaya itu menyambar hingga beberapa meter ke depan, membuat semua yang ada pada jarak jangkauannya terbakar hangus. Panah itu melesat di langit dan menancap tepat pada bagian sisik Hebitsu, hingga membuatnya terkena kejutan listrik ratusan ribu volt.
Raungan yang melengking itu cukup untuk memberitahu Akaito seberapa besar rasa sakit yang diterima Hebitsu, namun dia tidak memiliki waktu untuk merasa iba kepada makhluk tersebut. Melihat kesempatan untuk menyerang dan tidak ingin membuang informasi berharga dari putranya, Akaito menarik selembar jimat dan melemparnya ke udara tepat mengarah pada Hebitsu.
"Vajra Talisman : Endless Inferno!"
Sebuah simbol bintang muncul di depan wajahnya, dengan lingkaran api pada tepiannya. Akaito memasang kuda-kuda sebelum menghantam simbol tersebut dengan kuat, sehingga berhasil memuntahkan meriam api panas yang berpijar ke arah Hebitsu.
Sekali lagi raungan itu terdengar memecah keheningan malam. Suaranya cukup kuat untuk membuat tanah bergetar, dan juga mengalami keretakan.
"MANUSIA RENDAHAN!" raung Hebitsu.
Akaito paham bahwa serangan mereka berhasil memberikan dampak, dan kini tinggal serangan penutup untuk membuatnya tumbang. Maka dari itu, dia menoleh ke arah lain hanya untuk berteriak memanggil nama istrinya.
"MAFUYU!"
Teriakan itu adalah sinyal dari Akaito untuk Mafuyu, dan membiarkan wanita tersebut melakukan serangan.
Memahami panggilan tersebut dari kejauhan, Mafuyu berdiri pada posisinya yang berada di puncak sebuah batang pohon tertinggi. Dia sudah menyebarkan lima kertas jimat khusus di beberapa tempat, dan kini sudah saatnya Hebitsu dimurnikan.
Selagi Hebitsu menggeliat liar akibat serangan api panas Akaito, Mafuyu menggunakan kesempatan tersebut untuk merapal mantra.
"Jiwa yang terbelenggu pada kegelapan, kini kuperlihatkan pintu menuju pengampunan," Mafuyu mengacungkan tangannya ke langit, "Berikan jalan kepada makhluk berdosa, dan bersihkan semua kejahatan pada dunia."
Lima kertas yang disebar tersebut mengeluarkan sinar yang mengarah ke langit--dengan tegak lurus. Kelima pilar cahaya tersebut perlahan menghilang dan berubah menjadi tombak raksasa di langit, dengan mata tombak mengarah tepat pada Hebitsu.
"Heaven Seal Charm : Holy Judgement."
SYUUUUT!!
Kelima tombak tersebut menembus tubuh Hebitsu dan tertancap pada permukaan tanah, namun ada satu tombak yang melesat menghancurkan bola matanya. Tidak butuh waktu lama sampai darah hitam pekat itu berceceran di semua tempat, menyembur bak air mancur dari luka akibat tusukan tombak.
"Tidak! Tidak! Ashuramaru-sama!" Dengan lolongan yang membekukan tubuh, sang ular menggeliat liar.
Dia menggeliat liar saat rasa sakit itu menggerogoti tubuhnya, seolah hukuman Shinigami--Dewa Kematian sedang tertuju untuknya. Akan tetapi, pada akhirnya dia menyerah pada rasa sakit tersebut, dan mati setelah berulang kali menyebut nama Ashuramaru.
Tubuh ular besar itu tergeletak tak bernyawa di sana, namun dengan perlahan mulai berubah menjadi debu halus yang terbang ke langit. Suara sorakan Daichi dan Akaito terdengar bersahutan meski berada pada kejauhan yang berbeda, tentu saja ini membuat Mafuyu tertawa kecil.
"Kita ...berhasil," ucap Mafuyu lemah.
Detik berikutnya dia meluncur bebas menuju tanah, sebelum Tenjin datang dari sebuah portal dan menangkapnya. Pemuda itu tersenyum malu, namun berusaha mungkin tetap terlihat tenang.
"Maaf aku terlambat, Bibi."
Mafuyu menoleh dan menatap wajah Tenjin, kemudian tersenyum lemah sebagai bentuk jawaban. Kekuatannya sudah terkuras habis setelah menggunakan jimat khusus tadi, bahkan suatu keajaiban baginya masih dapat sadar setelah semua ini.
Tidak lama setelahnya, terdengar suara langkah kaki dari arah lain. Dari kejauhan pun Tenjin tahu bahwa itu adalah Akaito dan Daichi, maka dia segera menghampiri mereka supaya memperpendek jarak. Begitu keempatnya bertemu, hal pertama yang terjadi adalah Akaito memukul kepala Tenjin dengan cukup keras.
"Aduh! Apa-apaan itu tadi, Paman?!" protes Tenjin.
"Anggap saja itu hukuman karena kau terlambat tiba." ujar Akaito judes.
Pria itu mengambil tubuh istrinya dari gendongan Tenjin dan berjalan kembali lebih dulu. Daichi hanya terkekeh saat melihat pemuda ini mendapat pukulan, sekali pun dia adalah pemimpin para Onmyouji saat ini.
"Tenjin," Akaito berhenti sejenak dan menoleh kembali padanya. Hal ini juga membuat Tenjin serta Daichi yang berjalan di belakang ikut berhenti.
"Apa Sho dan Yoshi aman?"
Tenjin mengangguk. "Tentu saja."
Akaito tersenyum puas dan kembali berjalan. "Kita kembali dulu saja, dan Tenjin ...kau berhutang penjelasan mengenai peristiwa ini kepada kami semua."