Chapter 2 - 2. Lamaran

Nirmala masih mematung di tempat. Ia meneguk ludahnya. Suaranya tercekat di tenggorokan. Tidak ada satu pun kata yang mampu keluar dari mulutnya.

Sepanjang hidupnya, Nirmala selalu mendapatkan omelan bahkan dikeluarkan dari pekerjaan akibat kecerobohannya. Baru kali ini, ia berbuat salah dan justru dilamar bosnya.

Apakah Nirmala sedang bermimpi?

Tentu saja tidak. Nirmala menyadari itu dengan baik. Karena bukan sekali saja sang bos mengungkapkan cinta kepadanya. Ia sudah menolak dua kali lamaran Erick sebelumnya. Namun, sampai saat ini, ia masih terkejut.

"Kenapa kamu belum menjawabku?" tanya Erick tidak sabaran. Ia juga merasa ketar-ketir. Akankah ia mendapat penolakan Nirmala lagi? Tentu saja Erick tidak pernah berusaha untuk kegagalan.

Seketika Nirmala menjatuhkan dirinya di lantai. Ia terkulai lemas. Wajahnya lesu.

"Saya ketakutan, Pak," Nirmala merengek.

Erick tercengang. Tidak menyangka mendapatkan reaksi begitu dari Nirmala.

"Saya ketakutan," Nirmala mengulangi, "saya kira saya akan dipecat hari ini karena terlambat masuk kerja. Tapi, sepertinya, hidup saya benar-benar berakhir kali ini."

"Kenapa begitu?" Dahi Erick mengernyit keheranan. "Aku justru berniat memulai hidup baru denganmu."

Nirmala kesulitan memberikan jawaban dengan kata-kata. Ia memilih memberikan tatapan lesu yang mengisyaratkan jawabannya. Kemudian menunduk menunjukkan permintaan maaf darinya.

Erick menarik napas dalam-dalam. Terasa sesak. Akhirnya ia mengembuskannya.

"Aku mengerti sekarang." Suara Erick terdengar lesu. "Kamu menolakku lagi, kan?"

Nirmala menganggukkan kepala.

"Tapi, kenapa? Apa selama ini, sikapku kurang baik kepadamu? Apa aku pernah menyakitimu?" tanya Erick. Ia keheranan. Karena selama ini, sudah banyak yang ia lakukan untuk menarik hati Nirmala.

Nirmala bergeleng pelan. "Bapak sangat baik, kok."

"Terus?"

"Saya belum bisa sayang sama, Bapak. Saya enggak mau membohongi perasaan saya demi kebahagiaan saya sendiri," jelas Nirmala.

"Bukankah perasaan hanya hal sepele? Kalau kamu menikah denganku, kujamin hidupmu akan termanjakan dengan kekayaan, dan hidupmu pasti bahagia," bela Erick.

Nirmala bergeleng lagi. "Enggak, Pak." Ia tidak setuju. "Perasaan bukan hal sepele. Karena yang membuat saya bahagia adalah kebebasan bukan keterpaksaan. Dan saya ingin memiliki kebebasan itu untuk menentukan bersama siapa saya akan melanjutkan hidup dan berbahagia."

"Dan seseorang itu masih bukan aku," ujar Erick, berusaha memahami penjelasan Nirmala.

"Maafkan saya, Pak." Nirmala merasa amat bersalah.

"Tapi ...." Tiba-tiba Erick menemukan sesuatu dalam pikirannya. "Belum bisa sayang bukan berarti enggak akan bisa, kan?"

Akhirnya Nirmala mengangkat wajahnya yang memasang raut terkejut. "Eh?" Ia tidak mengerti.

"Sekarang kamu memang belum bisa sayang sama aku. Siapa tahu suatu saat kamu bisa sayang sama aku, kan?" jelas Erick.

Akhirnya Nirmala mengerti. "Bapak belum mau menyerah?"

"Tentu saja enggak. Karena aku akan terus berusaha untuk mendapatkan kamu," jawab Erick.

Nirmala menarik napas dalam-dalam. Kemudian mengembuskannya. Padahal, yang ia inginkan hanya ketenangan. Ia ingin mencintai lelaki mana pun dengan bebas tanpa ada perasaan bersalah terhadap Erick. Rasanya, itu akan sulit terjadi sampai Erick menyerah terhadap perasaannya.

Erick pun bangun. Kemudian bergegas menuju mejanya. Sebuah amplop dibawanya mendekati Nirmala lagi.

"Bangunlah!" titah Erick.

Nirmala pun bangun. Kemudian wajahnya memasang raut heran saat Erick menyodorkan amplop itu bersamanya.

"Itu adalah tiket penerbangan ke Bali besok pagi. Sebenarnya aku hendak ke Bali. Tapi, batal karena aku ada urusan lebih penting di sini. Kamu bisa menggunakannya untuk berlibur selama tiga hari dua malam dan menginap di apartemen. Sesampainya kamu di bandara internasional I Gusti Ngurah Rai, akan ada wanita yang menjemputmu dan melayanimu di sana," jelas Erick.

Nirmala tidak menyambutnya dengan senang dan terima kasih. Ia melongo. Belum bisa mencerna sikap Erick yang berubah begitu cepat.

Erick teringat sesuatu. Ia pun mengambil dompet dari saku belakang celananya. Ia mengambil dompetnya lalu mengeluarkan kartu kredit dan menyodorkan kembali kepada Nirmala bersama amplop yang belum disentuhnya.

"Dan kartu kredit untukmu berbelanja di sana. Tanpa batas," ujar Erick, menekankan dua kata terakhirnya.

"Pak. Saya menolak Bapak baru saja. Kenapa Bapak memberikan semua itu kepada saya?" tanya Nirmala. Ia khawatir Erick belum bisa mengerti penolakannya.

"Aku tahu. Dan aku sedang berusaha merubah jawabanmu," jawab Erick.

"Enggak usah, Pak. Rasanya itu hanya membuang uang Bapak saja. Karena jawaban saya enggak akan berubah," tolak Nirmala.

"Uangku tidak akan terbuang karena jawabanmu pasti berubah," kata Erick begitu yakin.

"Kenapa Bapak begitu yakin?" tanya Nirmala.

"Nikmati saja liburanmu. Dan pikirkan dengan baik jawabanmu," jawab Erick.

"Baiklah, Pak. Saya akan berlibur ke Bali seperti yang Bapak perintahkan. Tapi, dengan satu syarat," ujar Nirmala.

"Apa?" tanya Erick.

"Jika seandainya jawaban saya enggak berubah, saya mau Bapak enggak memaksakan jawaban saya lagi. Saya mau Bapak benar-benar menyerah mengejar hati saya," jawab Erick.

Erick terdiam. Ia mempertimbangkan. Jika ia menyetujui syarat itu, perjuangannya mungkin akan berhenti setelah Nirmala pulang dari sana. Namun, jika ia tidak menyetujuinya, perjuangannya sudah pasti berakhir saat ini.

Akhirnya Erick mengangguk. "Baiklah. Saya setuju syarat itu. Karena saya yakin jawabanmu akan berubah setelah pulang dari sana. Dan saya akan menjemputmu di bandara Juanda dengan pelukan hangat."

Nirmala tidak mau berbicara lagi. Karena Erick terlalu yakin dan memaksakan kehendaknya.

"Sekarang biar kuantar kamu pulang," ujar Erick.

"Tapi, Pak, saya masih harus bekerja." Nirmala bahkan belum memulainya di saat semua rekan kerjanya sudah letih.

"Sekarang kamu harus beristirahat. Karena besok kamu harus memulai perjalanan panjang," tegas Erick.

Nirmala hanya pasrah. Ia muak berdebat dengan Erick. Ia pun melangkah keluar ruangan lebih dahulu menuju halaman parkir.

Sepanjang perjalanan pulang, Nirmala tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya ada keheningan di antara mereka. Sesampainya di rumah, ia bahkan tidak mengucapkan terima kasih.

Sesampainya di kamar dan berdiam sendiri, Nirmala menangis. "Aku hanya ingin segera bebas dan hidup sesukaku," rengeknya.

-oOo-

"Nirmala," panggil suara tak asing wanita dari luar kamar. "Kamu ada di dalam, kan?"

Akhirnya, Nirmala menegakkan kepalanya yang sedari pagi bersembunyi di kedua lututnya.

"Iya, Kak Binar. Ada apa?" sahut Nirmala.

"Bella ngajak ke taman. Kamu mau ikut apa enggak?" tanya Binar.

"Kan, sudah malam, Kak," sahut Nirmala.

"Iya, sih. Tapi, kan, ini malam minggu. Pasti banyak taman yang masih ramai," jelas Binar.

Nirmala pun bangun. Ia membuka pintu. Wajah wanita empat tahun lebih tua darinya, dengan penampilan kacau karena tidak sempat mengurus dirinya sendiri, menyapanya.

"Iya, deh, Kak. Aku ikut." Nirmala setuju. "Aku lagi butuh udara segar hari ini." Untuk menenangkan perdebatan dalam pikirannya.

"Ya sudah. Ayo keluar. Bella sudah menunggu di teras," ajak Binar. Kemudian melangkahkan kaki mendahului Nirmala. Nirmala pun mengikutinya di belakang.

-oOo-