Denyut jantung Nirmala tak beraturan. Napasnya mulai sesak. Tangannya terus bergetar. Namun, ia harus tetap kuat di atas kakinya yang mulai melemas.
Kepala menoleh ke kanan. Perhatiannya menyapu ke seluruh jalan.
"Mati aku kalau begini terus. Kenapa enggak ada taksi yang mau lewat sekarang, sih?" rengek Nirmala.
Tentu saja. Terakhir kali ia melihat jam dinding tampak menampilkan pukul satu malam. Para sopir taksi pun memilih beristirahat saat ini. Binar tidak bisa dihubungi. Dan tidak ada siapapun yang bisa dimintai bantuan. Dengan terpaksa dan sangat tidak rela, Nirmala harus menahan amarahnya, selama Erick masih berada di punggungnya.
Mau bagaimana lagi?
Nurani Nirmala tidak membiarkannya tega meninggalkan Erick dalam keadaan sekarat.
Sesekali Nirmala menghentikan langkahnya. Memperbaiki gendongannya karena Erick berulang kali hampir merosot ke bawah. Sejujurnya, keadaan inilah yang membuat Nirmala semakin membenci Erick.
"Dari semua orang yang bekerja di restoran, kenapa harus aku yang melalui semua ini?" gerutu Nirmala. Ia tidak sungkan mengeraskan suaranya. Lagi pula, si bos dingin itu tidak akan bisa mendengarnya.
Napas Nirmala akhirnya bisa keluar lega setelah cahaya lampu rumah sakit menyapa pandangannya.
"Akhirnya ...," katanya dengan mata berbinar.
Seketika kekuatan Nirmala kembali penuh. Ia mempercepat langkahnya hingga memasuki tempat itu agar Erick bisa diberikan pelayan kesehatan segera.
-oOo-
Secercah cahaya membelai rambut Nirmala yang terurai tak beraturan. Bau obat dan peralatan medis menyapa indra penciumannya. Kelopak matanya bergerak. Terasa lekat untuk dikedipkan. Beberapa bagian badannya terasa linu. Tidur dalam posisi duduk tidak memberikannya kenyamanan sama sekali. Mau bagaimana lagi? Nirmala terlalu lelah untuk pulang dan tidur di atas ranjang. Sehingga ia memilik tidur di dekat ranjang Erick.
Nirmala mengangkat kepalanya. Kemudian membenahi rambut dan menarik kuncir di pergelangan tangannya untuk mengikat. Setelah wajahnya terlihat sempurna, jantungnya seolah dibuat berhenti berdetak oleh tatapan tajam Erick.
Nirmala meneguk ludahnya. Meski berulang-ulang ia disapa tatapan setajam itu, ia tidak pernah terbiasa sekali pun. Ia tetap ketakutan.
"Ba-bapak sudah bangun?" tanya Nirmala terbata-bata.
Erick mengangkat pergelangan tangannya yang berhias jam tangan hitam yang ia pasang beberapa saat lalu. "Sudah jam sepuluh dan kamu masih ada di sini," kata Erick tidak menjawab pertanyaan Nirmala.
"Maaf kalau Bapak terganggu karena saya tidur di samping Bapak. Saya kemarin antar Bapak yang pingsan di kafe ke sini. Karena enggak ada kendaraan umum yang lewat, jadi saya nggendong Bapak ke sini. Sampai sini sudah malam banget. Mau pulang, saya capek. Jadi, saya tidur di sini," ujar Nirmala menjelaskan dengan detail.
Meski begitu, Erick tidak mengurangi ketajaman pandangannya sedikit pun. Seolah tiada rasa terima kasih di dalam hatinya. Untuk pertama kalinya Nirmala menyesal melakukan kebaikan!
"Sekarang sudah jam sepuluh. Seharusnya kamu ada di kafe bukannya di sini. Kamu mau beneran di pecat?" sentak Erick.
Seketika mata Nirmala melebar. "Ya ampun!" pekiknya. Sembari menepuk pelan dahinya. Akhirnya ia menyadari kalau ia terlambat bangun. Tapi, karena siapa semua ini sampai terjadi?
Si pemicu tampaknya tidak menyadari sama sekali.
Nirmala pun bangun. "Maaf, Pak. Maaf. Kalau begitu, saya mau ke kafe dulu. Bapak baik-baik saja, kan, sendiri di sini?" tanya Nirmala. Masih berusaha memberikan perhatian.
"Saya sangat baik-baik saja, bahkan untuk memecatmu sekarang juga," jawab Erick masih tetap dengan kedinginannya.
"Kalau begitu, saya pamit duluan, Pak," pamit Nirmala. Ia pun membalikkan punggungnya dan segera mengerucutkan bibir. Ia berdengus kesal. Kemudian melangkahkan kaki.
"Seharusnya kubiarkan saja dia. Biar mati sekalian," gerutu Nirmala. Sengaja ia mengeraskan sedikit suaranya. Tak peduli jika Erick mendengar dan tersinggung lalu memecatnya saat itu juga. Toh, segera ia akan keluar dari kafe Pandora.
Untungnya, Erick tidak pernah mendengarkan itu. Jika tidak, ia pasti sudah membentak Nirmala sekarang juga.
-oOo-
Sekali lagi, Nirmala menghabiskan malam harinya untuk bekerja lembur.
Lembur kedengarannya luar biasa. Seperti pekerjaan besar yang tidak bisa ditunda dan penting. Tetap saja, di tempatnya, Nirmala hanya berkecimpung di bak cuci piring dan serangkaian piring kotor. Lagi-lagi rombongan jamuan malam memberikannya pekerjaan lebih.
"Ngapain, sih, harus ada acara makan malam? Bukannya waktu siang sangat panjang?" gerutu Nirmala, sembari mencuci gelas dengan kasar. Bibirnya mengerucut. Hatinya tidak ikhlas bekerja sendirian di sini.
Kasarnya perlakuan Nirmala menyebabkan suara dentingan keras dari gelas yang bertabrakan. Seketika ekspresinya berubah ketakutan. Ia menoleh ke belakang. Tampak Erick mendekat dengan wajah dingin yang begitu menyebalkan seperti biasa. Nirmala pun kembali memusatkan perhatiannya ke gelas itu. Napasnya berembus lega menemukan gelas itu tergeletak tanpa cacat sedikit pun. Ia pun kembali melanjutkan pekerjaan dan berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi.
"Kamu ...." Akhirnya, suara itu datang begitu dekat.
Nirmala, pun, meletakkan gelasnya. Ia menoleh. "Ada apa, Pak?" sahutnya, dengan kepala tertunduk. Banyak orang yang tidak sanggup memandang tatapan Erick. Nirmala salah satunya. Berada di dekat Erick saja bisa membuat siapapun merasa parno.
"Ikut aku sebentar," jawab Erick.
"Eh, saya?" Nirmala menunjuk dirinya sendiri.
"Memang ada orang lain di tempat ini?" tanya balik Erick.
Nirmala semakin menunduk. "Enggak ada, Pak," jawabnya.
"Ayo!" ajak Erick.
"Bentar, Pak," tahan Nirmala.
Ia pun berbalik dan melepaskan semua alat perangnya. Kemudian bergegas mengikuti langkah Erick yang sudah bergerak duluan.
Langkah Erick berhenti di salah satu meja yang sudah berisi 3 piring makanan dan dua gelas minuman. Ia pun duduk. Kemudian mempersilakan Nirmala duduk di depannya.
Nirmala menoleh ke kanan kiri. Seketika suasana menjadi canggung. Ia merasa suasana ini tidak menggambarkan sisi Erick biasanya. Erick tampak lain kali ini. Wajahnya terlihat sedikit mencair.
"Makanlah semuanya. Aku sedang mencoba membuat resep baru. Aku perlu seseorang untuk menguji rasanya," kata Erick.
"Eng-enggak, Pak. Saya enggak lapar," tolak Nirmala. Ia nekat. Bisa saja Erick menjadi lebih garang setelah ini. Namun, mana bisa ia makan dengan tenang di depan Erick?
"Cobalah saja, kalau begitu. Lagi pula, makanan ini terlalu sedikit untuk membuatmu kenyang," jelas Erick. Masih berusaha membujuk Nirmala.
Nirmala melirik ke arah makanan di atas tiga piring itu. Makanan itu tampak sederhana dan sangat sedikit. Nilai plusnya hanya pada penampilan.
"Baik, Pak." Akhirnya, Nirmala mengalah. Ia khawatir jika ia kukuh pada penolakannya, bisa saja ada monster yang datang sebentar lagi.
Sekali suapan, Nirmala langsung dihipnotis oleh rasanya yang fantastis. Keanggunan tampilan makanan itu benar-benar menggambarkan rasanya.
"Hm. Enak banget, Pak," puji Nirmala.
Hanya membutuhkan tiga kali suapan saja untuk menghabiskan sepiring makanan itu bagi Nirmala. Seketika Nirmala kehilangan rasa sungkannya.