Chapter 3 - 3. Binar

Nirmala, Binar, dan putrinya pun berjalan beriringan menuju taman kecil di dekat tempat tinggal mereka. Benar seperti dugaan Binar, taman itu diramaikan oleh pasangan kekasih yang menikmati kebersamaan mereka di malam Minggu. Bella langsung bubar menuju ayunan. Sedangkan Binar dan Nirmala memilih duduk di sebuah bangku yang masih kosong.

"Kamu masih enggak pengin kayak mereka?" Binar menunjuk beberapa pasangan di taman itu dengan lirikannya.

Ditanya begitu, Nirmala tersenyum malu. "Ya pengin. Tapi, gimana lagi, belum ada yang mau sama aku," ujar Nirmala berbohong.

"Belum ada yang mau sama kamu. Atau memang kamunya saja yang belum mau?" tudur Binar.

"Ya memang, kan. Aku saja enggak bisa dandan. Jarang mandi. Pria mana yang bakal mau sama aku?" tanya Nirmala merendah.

"Pak Erick." Jawaban Binar tepat sasaran.

"Ih, Kak Binar!"

"Aku tadi menguping pembicaraanmu di ruang Pak Erick. Aku menyusulmu karena khawatir sama kamu," jelas Binar.

Nirmala pun menunduk.

"Sudah tiga kali Pak Erick melamarmu. Apa yang membuatmu belum bisa membuka hatimu? Apa kamu masih takut dengan masa lalumu?" tanya Binar.

"Sampai saat ini aku enggak mengerti, bagaimana seseorang bisa tega menyakiti hati orang lain?" ujar Nirmala. Ia menarik napas dalam-dalam. Lalu mengembuskannya. Nonstalgia masa lalu membawanya pada rasa sakit yang sempat dilupakannya susah payah. "Kenapa mereka enggak bisa berpasangan dengan satu orang saja? Bukankah orang itu juga bisa memberikan kebahagiaan kepada mereka? Apa kerennya punya kekasih lebih dari satu? Kupikir, hanya orang-orang berengsek dan murahan yang akan melakukan itu!" Nada suara Nirmala penuh penekanan dan emosi.

Orang-orang di era sekarang, menganggap keberengsekan itu sebagai hiburan tanpa memedulikan rasa sakit yang disebabkan. Dan Nirmala sempat menjadi korbannya. Seorang pria pernah membuatnya merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Tanpa tahu, kalau dirinya bukanlah satu-satunya wanita yang diperlakukan seperti itu. Ada segudang wanita yang dijadikan korban perasaan. Nirmala tidak pernah mengetahuinya sampai pria itu menyerahkan sebuah undangan pernikahan dan meninggalkannya begitu saja.

"Kalau mereka tidak bisa bertanggung jawab pada perasaan orang lain, setidaknya jangan menyakiti. Saat kedua orang memutuskan untuk berkomitmen pada sebuah hubungan, seharusnya mereka sudah siap menerima kekurangan masing-masing dalam keadaan apa pun. Dan kalau mereka sudah enggak bisa bertahan, seharusnya mereka segera meninggalkan bukannya malah memberikan harapan tanpa tujuan."

"Setiap pribadi itu berbeda, Nirmala. Enggak semua orang itu sama," nasihat Binar bernada lembut.

"Meski berbeda, masih lebih banyak yang sama," elak Nirmala.

Binar mengembuskan napasnya kasar. Ia mulai letih berdebat dengan adik sepupunya itu. Di sisi lain, ia merasa kasihan dengan kondisi Nirmala yang masih trauma karena ditinggal kekasihnya menikah dengan wanita lain.

"Aku yakin Pak Erick bukan orang yang sama. Dia berusaha keras untuk mendapatkanmu sedari dulu. Padahal dia kaya dan tampan. Banyak wanita yang menginginkannya. Tapi, yang Pak Erick inginkan hanya kamu. Aku yakin dia benar-benar tulus menyukaimu," ujar Binar.

"Justru itu yang membuatku curiga. Dia kaya dan tampan. Kenapa memilihku yang hanya seorang pelayan? Delapan puluh persen sikap awal yang ditunjukkan orang-orang yang menyukai kita adalah munafik. Aku takut semua kebaikan Pak Erick akan berubah menjadi hinaan suatu hari nanti," jelas Nirmala. Ia menarik napas dalam-dalam. Kemudian mengembuskannya. Berusaha menerima posisinya sebagai orang yang kurang berada. "Orang jelek dan pas-pasan seperti mantanku saja bisa mengkhianati aku. Apalagi yang kaya dan tampan seperti Pak Erick. Pasti banyak wanita cantik dan seksi yang akan menggodanya nanti."

"Justru itu! Karena dia kaya. Jika kamu berhenti mendapatkan kasih sayangnya suatu hari nanti, setidaknya kamu memiliki jaminan hidup berkecukupan. Kamu enggak akan sengsara memikirkan mau makan apa besok? Bagaimana uang sekolah anak? Dan kamu enggak akan terbirit-birit mencari uang untuk membayar utang di bank," jelas Binar.

"Aku enggak mau jadi wanita seperti itu, Kak Binar. Aku enggak mau melihat pria dari kekayaannya. Aku mau bersama pria yang mencintaiku dan aku mencintainya. Uang bukan segalanya. Yang terpenting bagiku, adalah perasaan dan kebahagiaan kami berdua," elak Nirmala.

Binar tersenyum sinis. "Enggak selamanya perasaan memberikan kebahagiaan. Kadang, justru perasaanlah yang menghancurkan masa depan kita. Lihatlah aku, Nirmala! Di usiaku yang masih 25 tahun, di saat wanita lain yang seusiaku sedang menikmati pekerjaan masing-masing, aku justru terpontang-panting mengurus anak delapan tahun tanpa suami. Untuk membayar uang sekolah Bella dan kebutuhan hidup kami berdua, kadang gajiku masih tidak cukup. Dan aku masih harus membayar utang dari bank. Kalau gajiku belum bisa menutupi semua itu, terpaksa aku harus berutang di bank lain untuk menutupinya. Utang terus berputar-putar dalam kehidupanku. Dan aku enggak akan bisa lepas dari itu.

Kamu pasti tahu karena siapa hidupku jadi runyam begini? Karena orang yang kucintai! Ayah dan ibu sudah menentang hubungan kami karena ingin aku fokus dengan sekolahku. Tapi, aku justru memilih pria itu dibandingkan sekolahku. Jadi, kami pun memutuskan berhubungan badan beberapa kali sampai aku hamil.

Terpaksa orang tua kami menikahkan kami. Kupikir kami akan bahagia selamanya. Ternyata justru itulah awal kesengsaraanku. Gajinya bekerja selalu dihabiskan untuk berjudi. Aku pun harus bekerja untuk kebutuhan hidup kami. Tapi, aku sudah tidak bisa lagi bersabar mengetahui dia juga bermain wanita.

Cinta tak selamanya indah, Nirmala. Andai suamiku sekaya Pak Erick, setidaknya aku masih bisa hidup tenang dengan anakku menggunakan kekayaan suamiku."

Air mata menuruni pipi Nirmala. Entah, kapan itu dimulai. Perasaannya ikut sakit mendengarkan kisah hidup Binar. Apalagi, Nirmala menyaksikan semua kisah itu secara langsung sepanjang hidupnya. Namun, baru malam ini, Nirmala menyadari satu hal: hidup Binar sudah sangat hancur dan mungkin tidak terselamatkan.

Bodohnya Nirmala, berpikir kalau hidup Binar berjalan normal selama ini. Bahkan, ia kagum karena Binar berhasil menyeimbangkan dirinya sebagai ibu dan tulang punggung. Tanpa pernah melihat tangisan Binar setiap malam karena Binar terlihat tegas di siang hari.

"Di usiamu, kamu mungkin bisa berkata uang bukan segalanya. Kamu masih bebas tanpa beban. Tapi, beberapa tahun lagi, saat kamu benar-benar dewasa, apalagi berumah tangga, kamu akan menyadari kalau segalanya membutuhkan uang," imbuh Binar.

Binar menarik napas dalam-dalam. Kemudian mengembuskannya. Melakukannya berulang-ulang untuk melonggarkan rasa sesak di dadanya. Ia tidak mau menunjukkan air matanya di depan Nirmala. Biarlah hanya dirinya yang benar-benar merasakan rasa sakit ini.

Menemukan air mata di wajah Nirmala, Binar pun mendekatkan jemarinya. Kemudian mengusap air mata itu. "Aku saja enggak menangis. Kenapa kamu menangis? Kamu enggak berhak lancang merasakan rasa sakit ini. Biar kurasakan sendiri. Hidupku enggak akan berubah. Karena mungkin, ini adalah karmaku karena sudah mengecewakan orang tuaku."

Seketika Nirmala menghamburkan diri dengan memeluk Binar. "Aku enggak tega," rengek Nirmala.

Perlahan, Binar pun menjatuhkan tangannya di atas kepala Nirmala. Mengusapnya. "Kamu enggak berhak merasakan rasa sakit ini, Nirmala. Kamu harus punya hidup lebih baik agar aku bisa bahagia saat melihatmu," ujarnya.

Tangisan Nirmala semakin keras. Ia lupa kalau banyak pasang mata yang menyaksikannya. Sedangkan Binar sudah terbiasa dengan hidup tanpa memedulikan cara pandang orang lain.

-oOo-