Sejak pukul tujuh pagi, Nirmala sudah berdiam di bandara. Ia khawatir terlambat. Namun, ia malah kelamaan menunggu di sana. Karena jadwal keberangkatan pesawat masih jam sembilan kurang lima belas menit.
Sendirian di sana benar-benar membuat Nirmala merasa bosan. Ia sungkan mengajak bicara para calon penumpang lain. Namun, ia tidak berani tidur dengan keadaan barang-barang masih di dekatnya. Bahkan, ia bisa tertinggal pesawat saat menyesatkan pikiran dalam mimpinya.
Sebenarnya ia tidak datang dengan hati yang tenang. Pikirannya masih terbebani segala hal. Apalagi, nasihat Binar kemarin mulai memengaruhinya. Namun, ia memutuskan untuk tetap berlibur sembari meringankan pikirannya. Ia ingin memutuskan keputusannya dengan baik tanpa terpengaruh hal-hal yang membuatnya berpikir secara tergesa-gesa.
Ini adalah kali pertama Nirmala menaiki pesawat. Ia khawatir kesulitan. Namun, kelas bisnis yang menjadi pilihan Erick telah memudahkannya. Ia bahkan menaiki pesawat dengan kursi dan pelayanan yang nyaman.
Erick benar-benar memberikan semua yang terbaik untuk Nirmala. Namun, entah kenapa Nirmala tidak pernah bisa meyakinkan dirinya atas ketulusan Erick. Karena selama ini, yang ia kenal dari Erick adalah bos yang dingin, kejam, dan menyebalkan. Pria itu begitu tegas pada bawahannya, termasuk Nirmala selama masih jam kerja. Entah, sudaha berapa puluh kata kutukan yang keluar dari mulutnya. Tetap saja tidak memengaruhi kehidupan Erick. Karena Tuhan terlalu menyayangi Erick.
Nirmala jadi teringat saat awal ia bekerja di kafe Pandora. Ia bisa bekerja di sana atas bantuan Binar yang sudah bekerja lama di sana. Sebenarnya, bantuan orang dalam tidak benar-benar memfasilitasinya begitu saja. Karena di sana pun, ia hanya bekerja sebagai tukang cuci piring. Itu pun, dia hampir kehilangan pekerjaannya hanya dalam seminggu.
Semenjak dulu, Nirmala sering kehilangan pekerjaan karena memiliki kebiasaan terlambat bekerja. Termasuk di pekerjaan barunya. Dan kecerobohannya yang paling tidak termaafkan adalah ketika dia menjatuhkan sebuah bak dan membuat seluruh gelas di dalamnya pecah.
Erick marah besar dan langsung mengusirnya. Namun, Nirmala terus mengemis ampunan agar Erick tidak jadi memecatnya. Pekerjaan Nirmala memang sepele. Siapapun mudah mendapatkan pekerjaan seperti itu. Namun, Nirmala hanya ingin bertahan dalam satu pekerjaan. Ia lelah terus mencari pekerjaan baru. Lagi pula, pekerjaan mana lagi yang akan menerimanya dengan mudah?
Nama Nirmala sepertinya ada di seluruh catatan hitam para pengusaha.
Erick tetap menolak permintaan Nirmala hingga Nirmala mengajukan syarat.
"Biarkan aku tetap bekerja sampai aku mendapatkan pekerjaan baru. Kumohon," pinta Nirmala memelas.
"Setelah aku mendapatkan pekerjaan baruku, aku akan langsung pergi dari tempat ini dan tidak akan kembali," imbuh Nirmala berjanji.
Setitik iba menguasai pikiran Erick. Ia pun menyetujui dengan harapan semoga itu segera terjadi.
Erick pun menodongkan telunjuknya mengarah pada Nirmala. "Jangan pernah membuat kekacauan lagi. Atau kamu harus angkat kaki sebelum menemukan pekerjaan barumu," katanya memperingatkan.
Nirmala pun mengangguk lesu. Sepanjang waktu ia bekerja dengan ketakutan. Hidupnya kini berada di ujung jurang. Nasibnya benar-benar dipertaruhkan.
Ia sudah meminta Binar mencarikan pekerjaan baru untuknya. Sayangnya, kali ini amat sulit baginya menemukan pekerjaan baru. Karena Nirmala terlalu sering berganti pekerjaan.
Suatu malam, Nirmala harus lembur mencuci piring karena pesanan sangat banyak tadi. Ia belum bisa menyelesaikan di saat semua rekan kerjanya sudah pulang. Yang tersisa saat ini di kafe hanyalah dirinya dengan setumpuk pekerjaan dan Erick yang tampak sibuk merumuskan resep barunya di meja bar. Nirmala tidak bisa pulang dan melanjutkan pekerjaannya esok pagi karena Erick terus mengawasinya.
Nirmala akhirnya bisa bernapas lega setelah seluruh piring dan gelas kotor itu bersih berkilau. Ia melihat beberapa benda kotor di dekat Erick. Ia pun berjalan mendekati Erick.
Erick tengah terduduk dengan tangan memijati kepala pelan. Wajahnya tampak pucat. Sepertinya, pria itu tengah sakit. Dan kurang tidur semakin memperparah kesehatannya.
"Permisi, Pak. Apa ada piring kosong yang harus saya bersihkan?" tanya Nirmala.
"Besok saja. Pekerjaanku belum selesai," jawab Erick dengan nada ketus khasnya. Yang membuat Nirmala selalu ingin berjingkrak karena gemas. Namun, kali ini Nirmala harus bisa menahan diri. Karena Erick masih diam di depan mata.
"Tapi, sekarang sudah malam, Pak. Kayaknya Bapak kelihatan agak sakit. Sepertinya Bapak butuh istirahat sekarang," ujar Nirmala berusaha perhatian.
Sayangnya, bukan Erick jika menerima kebaikan seseorang dengan kelembutan. Ia malah memberikan tatapan menusuk kepada Nirmala.
"Itu bukan urusanmu!" tegasnya.
Nirmala menarik napas dalam-dalam. Kemudian mengembuskannya. Ia berusaha menahan diri agar tidak sampai meninggikan suara.
Sabar, Nirmala, katanya dalam hati, kamu harus bisa menahannya sampai menemukan pekerjaan baru. Hanya sampai saat itu. Selanjutnya kamu bisa memaki bos angkuhmu ini sebebasnya. Nirmala telah berjanji dalam hati.
"Baik kalau begitu, Pak. Saya permisi pulang dulu," pamitnya.Kemudian melangkahkan kakinya cepat keluar dari pintu kafe.
Sesampainya di luar dan lenyap dari pandangan Erick, akhirnya ia bisa bernapas segar. Ia pun meloncat-loncat dan menendangi udara dengan tangan menggenggam erat. Seolah meremas tubuh Erick menjadi seperti kertas lusuh.
"Dasar Erick manusia tidak berhati! Padahal aku berniat baik kepadanya. Tapi, dia malah bersikap seperti itu! Seperti orang yang tidak akan membutuhkan bantuan orang lain!" omel Nirmala.
"Dia pikir dia enggak akan mati. Ketahuilah, Erick, di saat kamu mati, kamu tidak akan bisa mengurus mayatmu sendiri! Bahkan, jika pun kamu belum mati, aku tidak akan sudi menolongmu saat dalam kesulitan!"
Puas mengatakan semua itu, Nirmala pun memperbaiki pernapasan. Kemudian melangkahkan kakinya untuk pulang.
Baru beberapa kali langkahnya jatuh, tiba-tiba ia berhenti. Ia teringat pulang tanpa membawa apa pun. Padahal, saat berangkat, ia membawa sebuah tas berisi dompet dan ponsel. Ia pun segera berbalik menuju kafe dengan perasaan jengkel karena harus bertemu si tuan tak berhati itu.
Sesampainya di kafe, Nirmala tidak menemukan Erick mengisi kekosongan tempat itu. Tidak mungkin pria itu sudah pulang tanpa mengunci pintu.
Nirmala semakin merasa sebal jika sampai menemukan Erick di dalam. Namun, ia perlu masuk ke dalam untuk mengambil tasnya. Sesampainya di dalam, ia tidak menemukan Erick lagi. Ia pun segera mengambil tasnya dan beranjak pergi.
Nirmala sebenarnya tidak mau peduli. Namun, ia sedikit penasaran dengan lenyapnya Erick secara tiba-tiba.
"Kalau dia enggak ada di situ, pasti dia ada di ruangannya," tebak Nirmala, sembari mengarahkan langkah kakinya menuju meja bar.
Ia langsung terkejut saat mengira meja bar itu kosong dari penghuni justru menyembunyikan tubuh Erick yang terbaring pucat di sana.
Kaki Nirmala mundur. Kemudian ia terjatuh ke lantai. Matanya membelalak. Pikirannya terus teringat pada wajah pucat yang tampak seperti mayat.
"A-apa yang terjadi sama Pak Erick?" pekiknya. "A-apa dia mati?"
-oOo-