Malam yang indah, lazuardi petang tampak dihiasi berjuta bintang. Cahaya bulan pun tampak terang, elok menawan. namun keindahan malam ini tak memikat hati dan membuat keresahan di hati Luna memudar. Gadis cantik berusia sembilan belas tahun itu, tetap terpaku dalam lamunannya dan tak hentinya pandangan kosong tersirat dari matanya. Ia meratapi nasibnya yang akan di jodohkan dengan seorang yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Luna merupakan putri semata wayang dari pasangan Tuan Laurent dan Nyonya Debora, mereka tinggal di desa yang bernama desa Wilts. Orang tuanya merupakan salah satu orang terpandang dan keturunan bangsawan di desa tersebut. Kisah ini terjadi beberapa puluh tahun silam di sebuah negara di Eropa.
"Luna, sedang apa kamu di kamar?" teriak Ibunya.
Namun tak ada seucap jawaban yang terdengar dari kamar sang putri.
"Luna," sang ibu kembali memanggilnya.
Nyonya Debora segera membuka pintu kamar putri kesayangannya, dan mendapati putrinya tampak murung di depan jendela.
"Sayang, apa yang sedang kamu pikirkan? Adakah yang mengganggu pikiranmu?" tanya sang Ibu.
"Tentu Bu, aku masih sangat belia dan belum mengenal cinta. Tapi aku dituntut untuk menikah dengan orang yang tidak aku kenal," jawab Luna.
"Sayang maafkan kami. Pernikahan ini sudah ditentukan oleh kakek kamu sesaat setelah kelahiranmu," ucap Nyonya Debora.
"Apakah Ayah dan Ibu tidak bisa menolongku dengan membatalkan pernikahan ini?" tanya Luna lantang.
"Maaf sayang mungkin menurutmu ini tidaklah adil. Tapi kami bisa menolak begitu juga keluarga besar dari ayah kamu pasti tidak akan menyetujui pembatalan pernikahan kalian. Ini sudah tradisi dan kami harus menepati janji," ucap sang ibu.
Luna hanya dapat menghela nafas panjang dan meremas baju yang ia kenakan.
"Ibu, bukankah aku ini anak kandungmu? Luna bukan anak dari saudara atau keluarga yang lain kan? Lalu kenapa harus takut untuk membatalkan pernikahan ini?" desak Luna lagi.
"Suatu saat kamu akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan kamu. Maaf sayang, ibu belum bisa berbuat apa-apa," ucap ibunya.
Wanita paruh baya tersebut kemudian meninggalkan kamar Luna dengan wajah sedih. Ia tak tega melihat guratan luka yang terpancar dari wajah Luna. Sebagai seorang ibu, ia sangat paham dengan gejolak hati yang dirasakan oleh putrinya dan hal tersebut tentu tidaklah adil untuk Luna. Ia berusaha menyampaikan perasaan anaknya kepada sang suami.
"Suamiku, putri kecilmu sedang risau perasaannya pun tampak kacau," ucap Nyonya Debora kalau bertemu dengan sang suami di ruang keluarga.
"Apa yang membuatnya merasa demikian?" tanya Tuan Laurent.
"Tentu saja pernikahan yang sudah di janjikan oleh ayahmu kepada keluarga Tuan Christ," jawab sang istri.
" Selain itu, adakah permasalahan lain?" tanya sang suami lagi.
Nyonya Debora hanya menggelengkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata. Kemudian ia meninggalkan suaminya yang sedang duduk di kursi sambil menikmati secangkir kopi yang tersaji di hadapannya.
Setelah kopi yang ia nikmati habis, Tuan Laurent menyusul putri kesayangannya.
"Luna," panggil sang ayah.
"Iya," jawab Luna.
"Bolehkah ayah masuk?" tanya Tuan Laurent.
"Silahkan ayah," teriak Luna.
Tuan Laurent membuka pintu kamar putrinya.
"Putri kesayangan ayah, kenapa engkau sering mengurung diri di kamar ini?" tanya sang ayah.
Gadis berambut panjang tersebut hanya menggelengkan kepala dan menundukan kepalanya.
"Apa pernikahanmu dengan March yang menja kamu gundah?" tanya sang ayah.
"Ayah dan ibu tentunya sudah tahu kan? Sebab aku murung dan mengurung diri? Tapi kenapa kalian tetap membiarkan ini terjadi?" tanya Luna.
"Sayang, ini sudah merupakan tradisi yang sudah keluarga kami jalani, ayah pastikan lelaki tersebut dari keluarga baik," ucap sang Ayah.
Luna hanya diam, bicara pun percuma karena tetap tidak ada solusi untuk memecahkan masalahnya.
"Luna, Marck merupakan pria pilihan kakek kamu. Dia berasal dari keluarga kaya dan bangsawan, keluarga mereka juga terpandang di kota itu," tegas sang Ayah.
"Ayah, aku belum ingin menikah. Aku masih ingin menikmati masa muda," tegas Luna.
"Sayang, kamu bisa menghabiskan waktu muda bersama suami kamu," ucap sang ayah.
Demi menghindari perdebatan dengan putri nya, Tuan Laurent segera keluar dari ruang tersebut.
Luna berusaha mencari cara untuk menggagalkan pernikahan yang tidak ia inginkan itu.
Kali ini dia berusaha meminta tolong kepada Alice, teman dekatnya. Ia ingin sahabatnya itu mencari informasi tentang keluarga Marck di kota Baren.
Dengan menunggangi kuda kesayangannya yang ia beri nama Charlie menuju rumah Alice.
Tok tok tok, suara ketukan pintu terdengar di rumah Alice.
"Luna, ada apa malam-malam begini berkunjung? Tumben sekali," ucap Alice.
"Iya Alice, aku butuh bantuan kamu," ucap Luna dengan napas tersengal-sengal.
"Bantuan apa? Mari masuk dulu," ucap Luna.
Keduanya pun berjalan pelan menuju ruang tamu di rumah Alice.
"Al, kamu mau membantuku untuk mencari info tentang Marck," pinta Luna.
"Bagaimana caranya Lun?" tanya Alice.
"Ini aku memberimu secarik kertas berisi alamat tempat tinggal Marck di kota Baren," kata Luna memberikan secarik kertas.
"Jujur, aku sendiri masih ragu untuk melakukannya," ucap Alice.
"Tolong aku kali ini Alice, aku mohon," pinta Luna.
Melihat permintaan tulus dari sahabatnya, Alice pun tak kuasa untuk menolak.
"Apa yang harus aku lakukan disana?" tanya Alice.
"Kamu cari tahu tentang keluarga Marck, karena feeling aku tidak enak tentang keluarga mereka," ucap Luna.
"Lalu?" tanya Alice.
"Sudah itu saja Al," ucap Luna.
"Baiklah, aku akan membantu kamu. Kapan aku harus berangkat ke kota itu?" tanya Alice.
"Besok pagi, apa kamu bisa?" ucap Luna.
"Baiklah," kata Alice menyetujui.
Luna pun memberikan sekantong uang dan beberapa batang emas untuk bekal Alice. Ia tahu untuk menuju ke kota uang yang dimiliki tidaklah cukup. Alice merupakan teman Luna sedari kecil yang hidupnya sangat sederhana. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai petani sayur dan buah.
"Ini untuk bekal kamu selama berada di kota," ucap Luna menyodorkan kantong yang ia bawa.
Alice pun mengangkat tangan kanannya untuk menerima kantong yang diberikan Luna. Sebenarnya dalam hati Alice berat menerima kantong tersebut, jika ia mempunyai uang yang cukup pastilah ia tak mau menerima kantong pemberian Luna mengingat selama ini Luna sudah sangat baik padanya dan keluarganya.
"Aku pastikan bekal ini cukup untuk perjalanan dan hidup kamu selama disana," tegas Luna.
"Baiklah Lun, tapi ini tidak membahayakan nyawaku kan?" tanya Alice.
"Aku pastikan tidak, kamu cukup mencari tahu dari orang sekitar saja," kata Luna.
"Baiklah, aku berangkat besok pagi," ucap Alice.
Akhirnya Luna dapat bernapas lega karena sang sahabat mau membantunya.
"Ya sudah Lun, kamu pulanglah karena sudah malam. Aku khawatir Charlie tidak dapat melihat jalan," ucap Alice.
"Baiklah Al, aku pamit pulang. Ayah dan ibu kamu ada?" ucap Luna.
"Mereka sudah beristirahat," jawab sahabatnya.
Mendengar jawaban dari sahabatnya itu, Luna pun bergegas pulang. Ia kembali menunggangi kuda kesayangannya itu menuju rumahnya.