Seminggu pasca pembunuhan itu, hidup Angga dan Zuki juga Nena normal seperti semula. Mereka tidak lagi di datangi arwah Darsimah lagi. Angga dan Zuki juga Nena duduk di meja kerja masing-masing. Suasana hening terasa di ruangan mereka.
"Angga, bagaimana hasil penyelidikan kasus pembunuhan Darsimah? Apa tidak ada secerca harapan sama sekali?" tanya Zuki pada Angga.
Angga yang seminggu lalu pisah ruangan dengan Zuki dan Nena kini satu ruangan. Zuki tidak mau ruangan sendiri katanya dia ingin bersama dengan Komandannya ini. Alhasil Nena juga ikut satu ruangan dengan Angga.
"Belum ada. Aku sudah cek BK mobilnya dan jenis mobilnya, tapi tidak ada hasilnya. Aku juga sudah meminta tim lain untuk mencari katanya BK itu tidak terdaftar sama sekali. Aku rasa itu bodong," kata Angga lagi.
Zuki dan Nena menghela nafas panjang, dia tahu jika mencari pembunuh Darsimah sulit seperti mencari jarum dalam jerami.
"Jadi kita harus apa sekarang? Sekarang kita aman, tapi setelah ini, apa kita aman. Kalian lihat kan seminggu lalu bagaimana kita di rumah sakit. Dan kau lebih parah Angga," kata Zuki dengan nada pasrah.
"Zuki benar, kita tidak mungkin bisa melawan Darsimah, mungkin doa bisa, tapi bleng sedikit kita habis Angga," jawab Nena dengan suara lirih.
Angga menghela nafas panjang. Dia tidak tahu harus apa saat ini. Dia juga ada rasa takut, tapi dia bisa apa. Kasus kali ini membuat dia harus bekerja lebih keras.
"Bagaimana jika kita ke sana lagi dan kita cari lebih teliti, siapa tahu kita menemukan titik terang di sana. Kalian mau ikut?" tanya Angga pada ke dua sahabatnya.
Zuki melihat ke arah Nena, ke duanya sama-sama berikan kode satu sama lain. Ke duanya tidak mungkin menolak bisa dipecat oleh Komandan tertinggi. Zuki mengangguk menyetujui apa yang Angga katakan.
"Kami akan ikut. Kapan kita ke sana?" tanya Zuki.
"Sekarang, kita ke kost dan bawa beberapa pakaian dan kita bawa beberapa anak buah untuk membantu kita. Paling tidak kita tidak hanya bertiga saja. Menghindar sesuatu yang tidak kita inginkan," kata Angga.
Akhirnya ke duanya setuju. Mereka keluar dan bersiap untuk kembali ke kost untuk mempersiapkan semuanya. Angga melaporkan pada atasannya untuk pergi ke desa tempat pembunuhan itu untuk menyelidik pembunuhan itu. Komandan menyetujui dan memberikan surat perintah penyelidikan.
Angga yang menerima surat dari Komandannya langsung bergegas pergi, dia meminta tiga orang untuk ikut dengannya. Mereka pun ikut dan sekarang mereka berenam bergerak menuju desa kemuning.
"Komandan, kita mau ke sana menyelidiki apa?" tanya Boni anggota Angga.
"Kasus pembunuhan. Kau tidak takut kan?" tanya Zuki.
Ketiganya menggelengkan kepalanya, mereka masih muda tidak mungkin takut pikirnya. Biasa menyelesaikan kasus pembunuhan dan tidak ada yang aneh pikirnya. Zuki dan Nena tersenyum geli karena ke tiganya tidak takut.
"Bagus kalau kalian tidak takut. Jangan sampai pingsan sampai berkali-kali ya, aku tidak akan membantu kalian jika kalian pingsan. Aku akan buang kalian ke jurang," sindir Angga melirik Zuki yang menyetir mobil.
Nena yang mendengarnya terkikik, dia tahu jika Angga menyindir Zuki yang pingsan sampai 3 kali dalam hari yang sama. Zuki yang di sindir hanya berdecih kesal. Dia tahu arah pembicaraan Angga, dia cemberut dan meneruskan perjalanannya.
"Kita pergi ke sana jam berapa dan kira-kira sampainya jam berapa ya?" tanya Nena lagi.
Nena melirik jam tangan dan sudah hampir sore. Malam sebentar lagi akan menjelang. Ada rasa khawatir di hati Nena. Masih di jalan dan jalannya juga sepi dan banyak hutan juga jurang.
"Sekitar 3 atau 4 jam lagi. Kalau tidak ada halangan sama sekali," kata Angga.
Zuki bawa mobil tidak ngebut, dia tidak mau celaka, jurang yang curam membuat dia harus hati-hati. membawa mobil. Malam menjelang hari makin gelap, tidak ada penerang di sisi jalan, hanya suara binatang malam dan burung hantu juga kelelawar yang berterbrangan ke sana kemari.
"Angga, apa masih jauh? Sepertinya ini udah lebih dari waktu yang kamu katakan. Apa kamu tidak salah prediksi?" tanya Nena yang mulai cemas.
Angga melihat sekeliling, sepertinya dia mengenal lokasi ini, ini jalan yang tadi mereka lewati dari tadi, tapi kenapa masih di tempat yang sama. Semua melihat sekeliling tidak ada yang bersuara mereka hanya memandang jalanan yang sepi. Tapi, Boni melihat sosok wanita berdiri di pinggir jalan.
"Eh, ada wanita tadi di sana, apa kalian melihatnya?" tanya Boni lagi yang menunjuk ke arah yang dilewati.
Semua melihat arah telunjuk Boni, beda dengan Zuki yang tidak bisa memandang, karena dia membawa mobil. Zuki mulai keringat dingin, dia tidak bisa menahan ketakutannya. Angga masih diam tanpa berkata apapun.
"Kang mas Angga." Panggil seorang wanita di telinga Angga.
Angga menoleh ke arah kiri kanan, dia memandang Boni yang duduk di tengah. Boni yang dipandang balik memandang Angga. Dia heran wajah Komandannya terlihat pucat dan keringatan.
"Komandan, kenapa?" tanya Boni yang heran dengan wajah Komandannya.
Zuki melihat ke arah belakang melalu kaca spion depan. Nena menoleh dan melihat Angga yang pucat. Bono dan Bobo yang duduk di belakang Angga hanya diam sambil menunggu apa yang dikatakan oleh Komandannya.
"Kalian dengar suara perempuan tidak di mobil?" tanya Angga pelan.
Semua yang di mobil menggelengkan kepalanya, mereka tidak mendengar sama sekali. Malah mereka sibuk melihat wanita di jalan itu pun hanya Bono yang melihatnya. Bono menelan salivanya, dia mulai merinding. Bobo yang duduk di dekat pintu merasakan bulu kuduknya berdiri.
"Komandan Zuki, apa kita tidak bisa berhenti atau putar balik?" tanya Bobo.
"Muter balik kau bilang? Mana mungkin, ini juga aku tidak tahu kita berada di mana. Aku juga tidak mungkin menghentikan mobil ini, cari mati namanya," ketus Zuki yang terus menjalankan mobilnya.
"Angga, kau harus tenang, jangan buat kami takut. Anggap saja kau tidak dengar," cicit Nena yang mulai takut.
"Suara Darsimah terdengar Nena, dia memanggilku dan dia terus memanggilku," kata Angga yang menutup kupingnya.
Zuki yang masih fokus mulai merasakan setirnya sedikit berat dan seperti berjalan sendiri. Zuki keringat dingin dan mengigil, Nena melihat Zuki yang melepaskan setirnya.
"Zuki, kenapa kau lepaskan setirnya, kau ingin kami mati hhh!" pekik Nena yang melihat tangan Zuki lepas.
Zuki menggeleng kepalanya, dia juga tidak tahu kenapa tangannya tidak bisa bergerak, tadi setirnya berat dan berputar sendiri, sekarang tangannya.
"Aku tidak tahu, aku merasakan tanganku kaku. Angga tolong aku, aku tidak bisa memegang setir ini!" rengek Zuki yang takut jika terjadi kecelakaan dan masuk jurang.
Angga bergerak ke depan tapi, dia melihat bayangan Darsimah yang berdiri di sisi jalan dan tersenyum padanya. Angga menoleh dan melihat bayangan Darsimah.
"Angga! Kamu kenapa lihat ke sisi jalan? Tolong Zuki cepat," ucap Nena yang menepuk pundak Angga.
Angga tersadar dan langsung membantu Zuki, lama kelamaan Zuki bisa menggerakkan tangannya. Dan saat bersamaan mereka melihat plang bertulisan Desa Kemuning. Angga lega bisa masuk ke Desa Kemuning.
Nena yang melihat banyak rumah penduduk merasa lega. Sekarang tinggal mencari rumah kepala desa saja. Satu jam mencari rumah kepala desa akhirnya mereka sampai di depan di rumah kepala desa.
"Angga, ini sudah jam sebelas malam, apa kepala desanya sudah tidur atau belum ya? Kita datangnya mendadak juga," kata Nena.
"Kita masuk saja, aku sudah kabari tadi di kantor, aku harap dia menunggu kita, jika tidak, kita tidur di mobil saja," kata Angga.
Angga dan rombongan keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah kepala desa yang sangat asri tidak mewah tapi nyaman. Angga mengetuk pintu dan memberikan salam. Lima menit keluar pria tua yang kemungkinan itu kepala desa.
"Maaf, kami mencari bapak Mahmud, kepala desa sini. Apa Pak Mahmud ada?" tanya Angga dengan sopan.