Angga dan ketiga anak buahnya mengumpat karena kelakuan Zuki yang membuat mereka harus mengurungkan niat untuk tidur lama. Angga duduk di kursi rotan dan memandang rumah kepala desa.
"Pak, kita mandi saja, karena sebentar lagi azan subuh. Kita solat ke masjid saja, kita harus membaur dengan warga sini, agar dapat informasi," jawab Bobo.
"Iya pak, jika tidak membaur kita tidak tahu seperti apa korban di desa ini," sambung Boni.
Angga menganggukkan kepalanya, dia akan ke sana untuk mencari tahu Darsimah itu wanita seperti apa dan kesehariannya seperti apa.
Ceklekk!
Pak Mahmud keluar dari kamar bersama sang istri. Keduanya sudah bersiap memakai pakaian untuk ke masjid. Angga dan ketiganya bangun dan tersenyum kepada yang punya rumah.
"Kalian sudah bangun?" tanya kepala desa kepada Angga dan ketiga anak buah Angga.
"Sudah, kami sudah bangun. Maaf kami merepotkan lagi. Kalau tidak keberatan, bolehkah kami ikut ke masjid?" tanya Angga.
"Boleh, ayo lah cepat. Kami tunggu. Mana yang lain, ajak juga ke masjid kita pergi sama-sama," jawab kepala desa Kemuning.
Angga tersenyum dan bergegas masuk ke kamar membangunkan Zuki yang masih tidur dengan nyenyak. Sekali-kali Zuki mengeluarkan suara dari bokongnya. Prettt ... Prettt ... Angga menendang bokong Zuki karena Zuki tidak sopan. Zuki terbangun saat bokongnya di tendang oleh Angga.
"Bangun kamu, jorok sekali. Kalau mau keluarkan sesuatu ada tempatnya. Ini main prot aja. Ikut nggak ke masjid, mandi sana, tapi gantian," ketus Angga yang langsung keluar sambil membawa handuk dan pakaian.
Satu jam, akhirnya para pria keluar ke masjid, sedangkan Nena di rumah bersama istri kepala desa. Angga melihat sekeliling desa yang sejuk dan dingin. Hembusan angin menusuk kulitnya. Jarak dari rumah kepala desa itu lumayan sedikit jauh tapi tidak jauh.
"Kalian mau cari darimana?" tanya kepala desa kepada Angga.
"Kami akan cari dari hutan itu dulu. Tepatnya jembatan yang waktu itu jadi saksi pembunuhan keji itu. Dan kami juga masih memikirkan kemana kepala kusir itu, dia dimakamkan tidak ada kepalanya," jawab Angga.
Kepala desa itu menghela nafas panjang, karena waktu pemakaman mereka juga tahu jika kepala kusir tidak ada. Itu yang membuat desa ini makin mencekam dan tentunya angker. Padahal dulu desa ini aman dan tidak ada hal yang aneh sama sekali.
"Kau tahu tidak Angga, waktu mereka masukkan jasad itu utuh, benar nggak Bobo, Bono?" tanya Zuki.
"Iya benar, tidak ada yang mencurigai sama sekali. Kami masukkan lengkap pak, kan tergelatak kepalanya di dekat mayatnya, jadi mana mungkin bisa hilang saat di rumah sakit," jawab Bono dengan wajah serius.
Hahhh! Helaan nafas Angga terdengar kasar, dia juga tidak mungkin mengatakan kalau anak buahnya bohong, dia juga lihat sebelum dimasukkan ke kantong jenazah.
"Jadi, kemana kepala itu nak Angga?" tanya kepala desa.
"Kami juga tidak tahu, tapi saat malam itu, kami benar-benar hampir meninggal. Mereka berdua datang dan merasuki Nena, aku saja sampai terluka dan pingsan. Wajahnya cantik, tapi perlahan berubah serem dan menakutkan. Kami saja takut melihatnya," jawab Zuki dengan wajah yang serius.
Ketiga anak buah Angga dan kepala Desa mengangga mendengarnya. Mereka tidak menyangka jika mereka di hantui Darsimah dan kusirnya. Bono mengelap keringatnya dia jadi ciut karena takut mendengar apa yang dikatakan oleh Zuki bawahan kepala Komandan Angga.
"Kalau begitu kita balik saja, saya takut jika dia bunuh kita bagaimana?" tanya Boni.
"Iya, bagaimana jika itu terjadi. Aku takut untuk meneruskan ini," jawab Bobo dengan nada lirih.
Angga menghela nafasnya mendengar anak buahnya ketakutan. Angga jujur saja dia takut tapi tugas harus di selesaikan dengan benar dan tuntas, jangan setengah-setengah.
"Cihh! Kau pikir apa hmm? Main pulang saja. Pulang saja sana, entar kamu pulang bisa kena sama Darsimah penari Jaipong itu baru tahu kamu. Kamu pikir tugas ini bisa dilepaskan," kesal Zuki yang mendengar rengekan anak buahnya.
Satu orang yang tidak berbicara dari tadi, dia hanya diam dan diam saja tanpa berkata apapun. Zuki melihat yang satu itu, kenapa tidak bicara apa dia kerasukkan pikirnya.
"Kau kenapa diam saja? Apa sekarang kau bisu? Atau kau kerasukan seperti Nena?" tanya Zuki kepada anak buah yang dari tadi diam saja.
"Tadi kan saya sudah bicara, saya hanya nyimak saja, tidak kerasukan juga, amit-amit kalau saya kerasukkan. Tapi benar kata mereka katakan, lebih baik kita pulang saja," jawab Bono lagi.
Angga lagi-lagi menghela nafas, dia tidak tahu harus bagaimana lagi menjelaskannya pada ketiga anak buahnya. Dia yang masih mengingat kejadian itu hanya diam dan kutukan Nyai Darsimah sungguh menakutkan dan kejam. Pria yang tidak bersalah harus jadi korban demi pelaku yang tidak dia ketahui.
"Sudah, kita berdoa saja, supaya kutukan itu tidak berlarut dan korbanya belum berjatuhan." Angga tidak bisa berkata lagi dia hanya memberikan semangat kepada rekannya yang ikut bersama ke desa untuk menyelidiki kasus ini.
Sampai di masjid, Angga dan rekannya masuk dan mulai solat berjamaah. Mereka khusyuk tanpa terganggu dengan semilir angin yang berhembus. Selesai solat mereka pulang ke rumah dan menyusun rencana untuk datang ke hutan. Dan satu jam perjalanan akhirnya mereka sampai di perbatasan antara desa Kemuning dengan Desa kenanga yang menjadi tempat pembunuhan sadis itu.
"Aku baru tahu, ada pembatas antara desa ini. Apa ada yang lewat setelah kejadian seminggu yang lalu Angga?" tanya Nena yang ikut bersama untuk menyelidiki pembunuhan keji itu.
"Iya ini pembatasnya, jembatan itu yang memisahkan kedua desa itu. Dan kalau ditanya apakah ada yang lewat jawabanya lihat itu." Angga menunjuk ke arah jembatan sepi.
Sejak terjadi pembunuhan itu tidak ada yang berani lewat malah mereka selalu mendapatkan gangguan dari Darsimah. Gangguan Darsimah membuat warga kedua desa itu memutar jalan biar jauh asal selamat.
"Mereka memutar arah dan lihatlah tidak ada yang lewat. Mereka takut, saya saja yang jadi kepala desa saja takut. Jika mau ke desa sebelah saya mutar dan habis magrib tidak ada yang lewat lagi. Jika ada yang hajatan, tidak ada yang mengundang penari Jaipong, alasannya takut," jawab kepala desa yang memandang sekitar desa yang dulunya aman sekarang nggak.
"Kalau kita buat apa itu akan mengundang dia datang?" tanya Zuki.
Kepala desa menganggukkan kepalanya, dia tidak mau ada korban di desanya. Itu pun, mereka mendengar dentingan alunan musik Jaipong yang membuat mereka merinding. Baiklah, mungkin terbawa suasana pikirnya.
"Ayo kita ke sana. Kita cari benda yang bisa menunjukkan satu petunjuk. Ingat, jangan terlalu jauh, aku tidak jamin keselamatan kalian," ucap Angga.
Angga yang melangkahkan kaki tiba-tiba berhenti karena rekannya dan kepala desa mendekatinya malah dekat sekali. Angga terkurung oleh ulah mereka. Angga menatap jengah ke arah mereka yang mengubrungi dia.
"Kalian mau bermalam di sini? Jika iya, ayo kita berdiri di sini dengan posisi seperti ini, setelah itu kita berada di kantong jenazah mau?" tanya Angga dengan wajah kesal.
Mereka melepaskan tangan mereka dan berjalan bersama. Dari kejauhan, Angga melihat wanita yang memandang dia, Angga yakin itu pasti Darsimah, dia muncul di sela pohon yang rimbun dan gelap. Hutan pinus dan cemara terbilang gelap jika sudah memasukki kawasan itu, walaupun cahaya masuk di celah-celah daun tapi tetap gelap jika sudah masuk lebih dalam.
"Aku tidak menganggumu Darsimah, biarkan kami yang cari siapa pelakunya," gumam Angga dalam hati.