Angga mencari ke segala tempat, termasuk garis polisi yang masih terpasang. Angga melihat ke arah pohon yang jadi tempat Darsimah yang digantung oleh pelaku. Terlihat burung hantu yang bertengger dan memandang Angga dengan tatapan tajam. Zuki mendekati Angga dan menepuk pundak Angga.
"Kau lihat itu, burung hantu memandangmu, sepertinya kita menganggu dia yang sedang ingin tidur." Zuki menunjuk ke arah burung hantu yang melihat ke arah Angga.
Angga menatap burung hantu itu dan melambaikan tangannya dan tersenyum. Zuki yang melihat kelakuan Angga hanya berdecih. Dia meninggalkan Angga dan menyisir setiap sudut. Angga ikut mencari dan dia melihat ada cincin dengan batu akik berwarna hitam. Angga mengambil sarung tangan dan plastik khusus untuk menyimpan barang bukti. Angga senang ini bukti pertama yang dia jumpai.
"Ini kenapa tidak terlihat saat penemuan jasad Darsimah ya? Apa mungkin mereka tidak melihat cincin batu akik ini tersembunyi di sini." Angga masih memikirkan kenapa anak buahnya tidak menemukan ini.
Angga menyimpannya di kantong, dia tidak akan memberitahu ke kepala desa, jika diberitahu maka akan gempar dan pelakunya akan mengikuti mereka. Yang ada mereka yang dihabisi. Angga bukan takut, tapi dia tidak mau kasus ini hilang begitu saja.
Angga tidak menyadari ada sebuah mobil dari kejauhan memandang ke arah Angga dan lainnya. Mereka pria yang menutup wajahnya dengan masker agar tidak ketahuan oleh warga desa kemuning.
"Mereka belum menyerah sama sekali. Sepertinya mereka masih berusaha untuk mencari pembunuh Imah, aku harus laporkan padanya." pria itu meninggalkan hutan dan menuju rumah seseorang yang dia katakan tadi.
Angga melihat sekilas ada mobil melintas ke arahnya ujung jalan, Angga menatap dingin dan penasaran siapa yang melintas, tapi pikirnya hanya orang lewat, wajar karena jalan raya. Angga mengangkat bahunya dan mencari lagi bukti namun, tidak ada lagi bukti di tempat dia menemukan bukti pertama tadi.
"Angga, sepertinya emang tidak ada apapun, lihatlah, kami sudah mencari ke segala arah. Apa kita pergi saja, sudah siang juga," kata Zuki lagi.
Angga pun menganggukkan kepalanya, dia mutuskan untuk pulang saja. Nanti saja dia cari pikirnya, atau bukti pertama ini akan menjadi bukti siapa pembunuh sadis itu. Angga meninggalkan hutan dan menuju mobil. Mobil bergegas menuju rumah kepala desa.
"Nak, bapak ke kantor dulu, bapak hanya izin setengah hari. Hari ini mau rapat dengan kepala desa sebelah. Kami mau bahas jalan untuk warga, bisa antarkan bapak ke sana?" tanya Pak Mahmud.
"Iya pak, akan saya antar ya, tunjukkan jalannya ya," jawab Angga dengan sopan.
Angga mengikuti arahan dari kepala desa, tidak jauh dari rumah kepala desa, setengah jam mereka sampai ke kantor kepala desa. Kepala desa turun dan masuk ke dalam kantornya. Angga mutar balik dan langsung pulang ke rumah kepala desa.
"Ngga, kita harus cari rumah deh, kita tidak mungkin tinggal di rumah kepala desa terus, yang merepotkan beliau." Nena menyarankan untuk mencari rumah baru untuk mereka tinggalin.
Angga yang mendengarnya memandang Zuki, dia pun berpikiran sama dengan apa yang dipikirkan oleh Nena. Paling nggak mereka butuh waktu lama untuk mengungkap secara jelas siapa yang membunuh Darsimah dan kusirnya itu.
"Iya, aku setuju, kita cari saja. Nanti kita minta bantuan dari Pak Mahmud saja, dengan begitu kita bisa mudah mencari rumah di sini. Kita orang luar jadi harus bisa membaur dengan warga di sini, jika tidak maka kita akan diusir karena menganggu ketenangan warga sini." Angga menyetujui ide Nena.
Mobil memasuki rumah kepala desa yang nampak sepi. Angga dan yang lainnya turun dari mobil dan berjalan menuju teras rumah. Dia ingin masuk tapi ada rasa sungkan. Angga mengeluarkan bukti yang dia jumpai tadi di hutan. Zuki dan lainnya menatap bukti yang angga letak di meja.
"Kau jumpa dimana Ngga?" tanya Zuki dengan pandangan tajam dan penasaran.
"Aku melihatnya di semak dekat dia digantung. Aku yakin ini bukti pertama yang harus kita pecahkan, kita akan selidiki orang yang memakai cincin ini, aku rasa ini orang terpandang dan terkenal di sini," jawab Angga yang mengeluarkan apa yang dia pikirkan.
"Aku rasa begitu Ngga, dia orang yang cukup terkenal, lihat cincin ini mewah dan aku rasa dia kenal dekat dengan Darsimah, jika tidak mana mungkin dia tahu kapan dia pulang dan arah mana dia lewat, mana ada orang bisa tahu sedetail itu dengan kegiatan Darsimah, jika bukan orang terdekat atau bisa saja ini kekasihnya," jawab Nena yang mengutarakan apa yang dia pikirkan.
Angga, Zuki dan ke tiga anak buah Angga meresapi apa yang Nena katakan. Ada benarnya juga apa yang Nena katakan. Jika tidak orang dekat, dia tidak tahu dengan jelas jika Darsimah lewat jembatan itu pada malam hari dan hari jumat lagi.
"Ini pembunuhan berencana, dia sudah merencanakan apa yang akan dia lakukan, ya, aku yakin, dia sudah merencanakan dengan matang, jadi eksekusi berhasil tanpa ada yang tahu." Zuki lagi-lagi mengatakan apa yang ada dipikirannya.
"Pak, apa kita selidiki pacarnya dulu?" tanya Bobo.
"Jika iya, kita bisa tanya kepada kepala desa, siapa pacar Darsimah, dengan begitu kita dapat titik terang dari kasus ini," ucap Boni lagi kepada Angga.
Tidak berapa lama, istri kepala desa datang ke rumah. Dia kaget melihat tamunya di luar. Dia lupa jika ada tamu di rumahnya. Istri kepala desa masuk ke ke dalam rumah dan tersenyum ke arah tamunya.
"Maafkan ibu, ibu tadi ke rumah buk camat, ada arisan ibu-ibu. Ayo nak masuk. Ibu bawa banyak makanan, kebetulan dikasih banyak. Kalian tentu belum makan," kata istri kepala desa.
Angga dan rekannya masuk dan duduk di ruang tamu. Bukti yang Angga dapat sudah di simpan sebelum istri kepala desa mendekati mereka. Istri kepala desa menghidangkan makanan yang dia bawa. Nasi kotak beberapa buah dan lauk yang cukup banyak untuk mereka makan malam nanti.
"Ini saya di kasih nak, beginilah jika ada acara, kami kebagian makanan, sayang dari kebuang. Ibu camatnya kebetulan baik dia mengundang kami untuk menghadiri jamuan anaknya yang akan tunangan. Kebetulan anaknya itu mantan Darsimah." Ibu kepala desa mengatakan apa yang mereka butuhkan.
Angga dan lainnya menatap satu sama lain, mereka mendapatkan informasi tanpa mereka minta. Angga memberikan kode pada Nena untuk mencari info lebih lagi. Biasanya sesama wanita suka ngobrol tanpa ada yang ditutupi. Nena yang tahu kode dari Angga langsung mengorek informasi dari istri kepala desa itu.
"Wah, ada pesta besar lah ya?" tanya Nena basa basi.
"Iya, kami akan adakan acara besar di sini. Tapi, itu tadi anak pak camat itu sedikit arogan, dia kaya dan berlimpah harta, sudah berkali-kali bawa wanita, terakhir Darsimah. Tapi, keluarga prianya tidak suka, karena Darsimah orang miskin dan penari jaipong. Meninggalnya Darsimah membuat anaknya pak camat tidak datang, kadang kasihan dengan Darsimah terlebih ibunya itu," ucap istri kepala desa dengan tatapan sendu.
Nena ikut sedih mendengar apa yang dikatakan oleh ibu kepala desa. Angga mulai mencurigai anak camat itu. Dia akan jadi tersangka utama untuk saat ini. Zuki dan Angga mengangguk dan keduanya langsung punya ide untuk mendekati anak pak camat itu. Dia tidak peduli jika dia anak pejabat.
"Eh, makan. Jadi nggak enak ibu, ibu jadi ngibahin orang. Semoga Darsimah tenang bersama Mang Mamad amin," ucap istri kepala desa.
Angga dan lainnya juga mengucapkan amin dan menyantap makanan dengan lahap. Mereka sudah menemukan titik terang, walaupun tidak bisa memastikan benar atau tidak dia orang yang membunuh, tapi tidak membuat Angga menyerah begitu saja. Di tempat lain, pria yang melihat Angga di hutan mulai mengatakan pada seseorang.
"Ada yang menyelidik pembunuhan itu bos," kata pria tadi pada pria yang duduk sambil menghisap cerutu.