Chapter 3 - Bab 02

"Mas, kenapa melihat saya seperti itu, ya?" tanyaku pada pelayan yang sedang membuang cengir.

"Aku kira masih jomlo, rupanya sudah punya pacar. Ya, sudahlah, aku permisi pergi dulu." Pelayan itu pun beringsut pergi bersama tatapan kesal, sesekali dia membuang pandangan ke belakang.

"Dia kenapa, ya, Mas?" tanya orang di hadapanku.

Karena memang tidak tahu apa maksud dari pelayan itu, kami pun akhirnya saling tukar tatap. Sementara orang di hadapan terlihat sangat pongah, dia tidak memedulikan aku sama sekali. Bahkan sekadar memesan minuman pun enggan berkata.

Lelaki yang memiliki mata cokelat itu sibuk pada kamerannya, dia sangat serius menatap foto-foto yang aku tidak tahu apa. Setelah beberapa menit membungkam, orang di hadapan pun meletakkan kameranya di atas meja. Kemudian dia menatap mantap ke arahku.

"Nama kamu siapa, Mas?" tanyanya spontan.

Aku pun menyodorkan tangan kananku. "Nama aku, Andrew Sebastian Megantara. Panggil aja Andrew."

"Oh, nama aku Arjuna Immanuel, panggil aja Ajun," jawabnya.

Mendengar ucapan itu, aku mengangguk dua kali dan memerhatikan kamera di atas meja. Kamera itu belum mati, hanya saja diletakkan oleh pemiliknya sembari bertanya nama. Tidak berapa lama, orang di hadapan pun mengambil tisu putih.

"Mas, aku ke dalam dulu. Mau pesan minuman," katanya.

"Oke, silakan." Selepas menjawab, Arjuna pun pergi meninggalkan kameranya di atas meja.

Karena orang tersebut telah masuk ke dalam kafe, aku pun menyentuh kamera miliknya dengan menggeser beberapa kali benda berwarna hitam itu. Mendadak hati merasa kepo, dan ingin melihat apa yang ada di dalam kamera tersebut.

Sedari tadi, pemilik hanya terfokus pada kamera dan tidak beringsut. Dari gaya-gayanya, Arjuna adalah photografer handal, karena kamera yang dia bawa berharga sangat mahal. Menggunakan tangan kanan, aku mengambil kamera itu dan menatap beberapa foto wanita cantik berbaju merah.

'Loh, bukannya ... cewek ini adalah model yang tadi ada di depan pantai.' Selepas bersenandika, aku menatap lagi ke depan bibir pantai—tempat di mana lokasi pemotretan.

Wanita itu tampak cantik, sangat anggun dan cocok mengenakan pakaian serba merah itu. Apalagi ditambah suasana panas dengan terik matahari, terpancar sangat indah dan menambah panorama tambahan.

Karena merasa sangat kepo, aku pun membuka foto-foto di dalamnya. Tampak jelas model-model itu sangat serasi, tetapi ada hal yang membuat aku tercengang. Akibat salah tekan, sebuah foto pria muncul dan membuat bulu kuduk meremang.

Bagaimana tidak, foto pria itu tidak mengenakan baju dan celana. Hanya ada celana dalam merek mahal, serta berpose sangat serasi seperti iklan celana dalam luar negeri. Karena di sana banyak sekali foto, aku membuka semua yang ada di dalam kamera itu.

Setelah beberapa menit menatap, aku mendapati sebuah foto yang memiliki wajah sama dengan Arjuna, tidak memakai baju bahkan celana dalam. Benda pusaka yang dia miliki juga tampak jelas. Seketika aku mematikan kamera itu dan meletakkan kembali di atas meja.

'Gila ... itu benda apa barusan? Kok, gede banget. Tetapi kenapa Arjuna berfoto seperti itu? Ah, mungkin cuma koleksi pribadinya saja,' jawabku dalam hati.

Penglihatan tak lazim membayangi dan mengitari isi kepala, seolah bentuk tubuh serta benda pusaka itu membuat begidik dan menaikkan bulu kudukku. Akibat rasa kepo yang teramat dalam, membuat diri mendapati sebuah imbas di sana.

Dengan meneguk kopi hangat, aku tak mau menatap kamera itu lagi. Tidak berapa lama, Arjuna berjalan sangat laju dan kembali mendudukkan badan di atas mejanya. Kami pun saling berhadapan.

"Maaf, Mas, kalau menunggu lama. Aku tadi pesan minuman dan makanan," katanya.

"Iya, enggak apa-apa. Oh, ya, kamu bekerja di mana?" tanyaku basa-basi, akan tetapi wajah tidak menatapnya.

"Hmmm ... aku adalah potografer, Mas. Biasalah, untuk mencari gambar terbaik model-model berbakat," jawabnya.

Mendengar hal itu, aku mengangguk dua kali seraya menyandarkan badan di kursi. Kami bungkam sesaat, sebelum akhirnya pelayan datang dan membawa nampan berisikan makanan dan minuman. Namun, orang yang mengantar berbeda, tidak pria yang awalnya memainkan mata padaku.

"Ini pesanannya, Mas, silakan dinikmati," ucap pelayan itu, lalu dia mengambil gelas dan piring bekas makananku di atas meja.

Pelayan itu pergi, kami berdua celingukan dan menatap pria berbaju merah itu.

"Oh, ya, Mas. Udah lama di sini? Kok, banyak banget pesanannya?" tanyanya bertubi-tubi.

"Iya, aku sudah lama di sini. Mau pulang rasanya malas, karena sangat banyak banget pekerjaan."

"Kalau banyak pekerjaan, dikerjakan. Kalau dihindari, kapan bisa selesai," ujar lawan bicara sekenanya.

Aku pun mengangguk dua kali, memang ucapan dia ada benarnya. Namun, masalah di perusahaan tidak segampang ketika mengambil potret artis seperti profesinya itu. Melihat dokumen yang berantakan saja aku merasa sangat pusing, apalagi berbagai masalah yang datang dari proyek.

"Kamu jadi potografer, sudah berapa lama?" tanyaku sekenanya.

"Hmmm ... lama, Mas. Sejak orangtuaku ada masalah, aku terbiasa hidup sendiri," jawabnya.

"Emang masalah orangtua kamu apa? Sampai-sampai membuat kamu terjun ke dunia potografer?"

Lawan bicara tidak lantas bicara, dia pun membuang tatapan menuju pantai di samping kanan. Akibat pertanyaan itu, aku menarik napas panjang karena telah menyinggung perasaannya.

Karena tidak tahu bagaimana cara untuk meminta maaf, aku pun hanya sekadar menatap kopi hangat yang ada di samping kamera. Kami membungkam sesaat, lawan bicara pun mengambil ponsel yang telah pecah di atas meja.

"Jun, aku minta maaf karena sudah memecahkan ponsel kamu. Sebagai tanda maaf, kamu besok datang ke kantor aku untuk mendapat ponsel pengganti." Menggunakan tangan kanan, aku merogoh kantong dan mengambil kartu nama.

"Apa ini, Mas?" tanyanya seraya menatapku.

"Itu adalah kartu nama aku beserta alamat kantor, kamu datang ke sana saja besok. Ponsel kamu ini jangan diperbaiki, biar saya ganti dengan yang baru," paparku menjelaskan.

"Ah, enggak, Mas. Aku masih ada ponsel cadangan di rumah," tolaknya.

"Enggak apa-apa, kamu datang aja ke kantor. Kalau kamu enggak datang, aku tidak akan memafkan kamu."

"Perasaan yang salah si Mas, kenapa yang enggak mendapatkan maaf adalah saya?" Arjuna membuang cengir.

Senyum manis yang dia lempar membuat aku sangat merasa aneh, jantung ini bergetar hebat dan rasa nyaman mulai muncul. Padahal, aku tidak pernah mau berteman dengan siapa pun. Kali ini berbeda jauh, Arjuna sangat lembut dalam berkata.

Sebagai laki-laki yang sangat penurut, aku juga lembut dalam berkata. Apalagi jika menyangkut orangtua, karena tidak pernah membentak sama sekali apa pun keputusan mereka. Sejak kecil, aku dididik sangat mandiri dan menghargai orang lain, sehingga ketika dewasa membuat segalanya terbawa.

Seketika Arjuna menggulung lengan baju tangannya, terlihat jelas kalau dia memiliki tato berbentuk naga dan berukuran sangat besar. Sebagai laki-laki yang tidak pernah tahu bagaimana tato itu dibuat, aku pun menelan ludah seraya membuang tatapan tajam di lengan lawan bicara.

"Tato? Besar banget," tanyaku pelan.

Ternyata Arjuna mendengar ucapan itu, dia pun menatap ke arah wajahku yang sempat mendekat beberapa sentimeter.

"Kenapa dengan tatoku?" tanya Arjun.

Karena wajah Arjuna terlalu dekat dengan wajahku, membuat diri ini merasa aneh dan hanya senyum simpul sebagai alasan untuk aku menjauh. Badan yang tadinya ada di samping lengan, kemudian bersandar di bangku.

"Enggak apa-apa, keren banget tato kamu," jawabku terbata-bata, lalu aku menggaruk kepala tiga kali akibat salah tingkah.

Bersambung ...