๐๐๐
Setibanya di depan rumah, aku memasuki halaman dengan mobil yang bergerak sejurus menuju garasi di samping. Sementara penjaga gerbang telah siap siaga membukakan pintu. Diman adalah laki-laki yang bekerja dari malam hingga pagi.
Dengan ditemani oleh Karjo, mereka menjaga rumah dua puluh empat jam non-stop. Karena rumah sangat terjaga, membuat aku susah untuk keluar sesuka hati. Namun, belakangan hari mereka berdua sangat mudah untuk dikompakin. Asal ada rokok saja, mereka akan menurut dengan kata-kataku.
"Selamat malam, Den ...," ucap Diman.
Aku membuka pintu mobil seraya membuang tatapan. "Selamat malam."
Setibanya di dalam garasi mobil, aku keluar dan mengunci mobil. Kemudian langkah kaki bergerak sejurus menuju ruangan yang menghubungkan antara bagasi dengan tempat nonton televisi. Entah kenapa, malam ini aku sangat bahagia dan bersenandung tanpa henti.
Meskipun badan sangat bau keringat, aku tidak menghiraukan itu semua dan tetap bergerak untuk menaiki lantai dua. Setibanya di anak tangga pertama, sebuah teriakan terdengar dari belakang badan.
"Andrew ...," panggil seseorang, dari nada suaranya seperti wanita.
Ya, dia adalah ibuku. Memiliki suara sangat cempreng, dan siapa pun yang mendengar akan sakit telinga. Sudah pasti akan mengintrogasi diri ini. Pulang jam segini sangat tidak lazim untuknya, karena aku selalu tiba di rumah ketika sore hari.
"Dari mana kamu, Drew?" tanya ibu.
Mendengar ucapan itu aku memutar badan. "Apa, sih, Ma ... orang lagi capek juga."
"Bukan itu yang mama tanya, tetapi dari mana kamu?" tanyanya lagi.
"Aku baru pulang dari kantor, ban mobil aku bocor tadi."
Dari arah dapur, ayah datang dengan langkah yang laju. Lelaki paruh baya itu pun bergeming di samping badan, lalu dia menyentuh pundakku perlahan. Tampak tidak biasa, si ayah malah membuang senyum semringah.
"Andrew, kamu masuk kamar dan segera mandi. Ayah sudah tahu kalau kamu tadi lagi bocor ban mobil," suruh si ayah dengan sangat lembut.
"Ayah, kenapa disuruh masuk kamar. Kan, mama belum siap ngomong."
"Sudahlah, Ma ... dia tadi sudah pamitan sama ayah. Yuk, kita nonton lagi di ruang tamu." Terdengar samar, kalau ayah sedang mengajak si mama untuk pergi.
Dengan mengelus dada, aku pun kembali berjalan menuju kamar. Tibalah aku di atas dipan, badan pun mendudukkan diri seraya menatap sejurus menuju kamar mandi. Bau pun muncul dari badan, keringat serta yang lainnya juga ikut hadir.
Secepat mungkin, aku membuka baju dan celana. Tanpa mengenakan sehelai benang pun, aku bergerak menuju kamar mandi dan menatap cermin berbentuk lingkaran. Pantulan sosok diri terpancar jelas, lekuk sempurna yang Tuhan ciptakan tanpa sela dan noda.
Kesempurnaan ini menghias wajah dan badan, serta tinggi juga sangat ideal dengan otot. Aku tanpa jemu menatap pantulan sosok diri dan bangga akan ciptaan Tuhan. Setelah selesai mandi, aku mengenakan pakaian khas di rumah.
Kemudian aku melangkah keluar kamar dan turun dari anak tangga lantai dua. Tepat di meja makan, ayah dan ibu sedang berbincang. Mereka selalu hadir lebih awal entah apa yang akan dibahas.
Tibalah aku di meja makan seraya menatap kedua orangtua, kemudian diri ini mendudukkan badan sembari mengambil piring. Wanita yang mengenakan sanggul itu menatap sejurus ke arahku, dia pun memberhentikan ucapan sejenak.
"Drew, mama mau ngomong sama kamu," kata si Ibu.
"Mau ngomong apa, Ma?" tanyaku penasaran.
"Kamu kapan menikah, Nak? Mama sudah ingin sekali gendong cucu, karena cuma kamu anak semata wayang kami."
Deg!
"Uhuk!"
Mendengar ucapan itu, aku pun batuk dan menghentikan aksi untuk meneguk air mineral.
"Kalau minum pelan-pelan, Le ...," kata si ayah.
Tanpa menjawab, aku hanya sekadar mengangguk. Sementara kedua netra menatap mantap piring dan nasi. Untuk menjawab, rasanya mulut enggan dan tidak kuasa memberikan kepastian. Di usia dua puluh enam, rasanya masih terlalu muda untuk menikah.
Seperti yang sudah aku rencanakan, kalau pernikahan akan dilakukan ketika aku berusia tiga puluh tahun ke atas. Untuk bersikap dewasa pada diri sendiri saja rasanya tidak mampu, apalagi membina rumah tangga dengan anak orang lain.
"Bagaimana dengan perkataan mama, Drew?" tanya si ibu lagi.
"Ma ... aku belum ada niat menikah. Terlalu cepat kalau usia dua puluh enam tahun. Yang enggak-enggak aja kalau ngomong," omelku memungkas si ibu.
"Kamu sudah bisa kalau berkeluarga, karena mama dan Ayah juga menikah saat usia dua puluh tahun," sambung si ibu menambahkan.
"Ma ... anak kita benar. Usia dua puluh enam masih terlalu muda untuk menikah. Lagian ... dia belum bisa memiliki pengalaman mengurus perusahaan kita, tunggulah dia pintar dulu." Ayah memberikan pembelaan.
Mendengar ucapan itu aku merasa sangat puas, kemenangan berpihak padaku malam ini. Setelah sekian lama si ayah menurut dengan ucapan ibu, sekarang malah menjadi pembantah sama dengan aku.
"Ayah kalau diajak ngomong enggak pernah dukung mama, sama aja dengan anaknya," ucap si ibu.
Dari ekpresinya, ibu seperti kena mental karena pungkasan si ayah. Berdasarkan faktanya, lelaki paruh baya itu benar karena aku belum paham dengan perusahaan. Alasan kuat sudah terpegang, semoga ibu tidak pernah membahas lagi kapan aku menikah.
"Ma, makan yang banyak biar sehat," ucap ayah.
"Sudah, jangan urusin mama. Kalian sama saja berdua, suka sekali mencari-cari alasan," omel si ibu.
'Syukur ... kalau ibu sudah paham sedikit dengan maunya kami. Emang enak, kami juga manusia kali. Enggak setiap saat juga ditindas,' gumamku dalam hati.
Selepas makan malam, si ibu pun pergi lebih awal. Karena jam istirahat telah datang, membuat wanita paruh baya itu tidak boleh terlalu lelah. Ibu memiliki penyakit jantung, dan komplikasi dengan ginjalnya. Hal demikian yang membuat aku dan ayah tidak bisa membentak atau melawannya.
Akan tetapi, kalau masalah sepele seperti tadi, ibu sepertinya bisa terima dengan lapang dada. Tidak berapa lama, ayah pun membangkitkan badan seraya duduk di sampingku. Tatapan lelaki paruh baya itu sangat tajam, dia mengedarkan senyum sebelum menarik napas berat.
"Ayah, kenapa seperti itu ekspresinya?" tanyaku mengawali ucapan.
"Enggak apa-apa, Nak. Ayah cuma mau bilang sesuatu sama kamu, sangat penting."
Melihat gelagat tersebut, aku seperti tengah menatap sebuah sosok yang bukan ayah. Karena dia tidak pernah berkata dengan mengernyitkan kening beberapa kali.
"Emang Ayah mau ngomong apa? Ayo, katakanlah," suruhku.
"Jadi begini, Nak. Kan, usia ayah sudah tidak lagi muda. Kamu juga sudah lulus kuliah sampai Amerika. Pesan dari ayah, kamu harus benar-benar serius belajar di perusahaan. Karena enggak ada lagi yang bisa meneruskan selain kamu," kata si ayah.
Mendengar ucapan itu, aku menarik napas berat. Beban pikiran yang selama ini kupikul ternyata tercetus dari mulut ayah. Sebelum dia berkata, aku sudah memikiran akan hal itu.
Bahkan tidak bisa tidur, dan hanya fokus pada halusinasi karena kegagalan akan aku dapati ke depannya. Namun, sebagai manusia yang masih punya Tuhan, aku sekadar pasrah. Bahwa segalanya terjadi karena restu darinya, tidak lain dan tidak bukan.
Bersambung ...