🍁🍁🍁
Pagi telah tiba ...
Semburat arunika memboyong cahaya indah memasuki lubang ventilasi rumah, setelah subuh mulai menyingsing dan manusia sudah tiba untuk melalsanakan aktivitas sebagaimana mestinya. Di luar rumah tengah terdengar suara kicauan burung-burung gereja, bersama kupu-kupu dan bahkan hewan lain yang bergerak ke sana dan ke mari.
Karena sudah sangat terang, aku membangkitkan badan seraya melompat dari atas dipan. Sebagai tujuan utama adalah kamar mandi, membuka pakaian dan ingin membersihkan badan. Kebiasaan tidur setiap hari, aku selalu melepas pakaian.
Kalau tidur menggunakan pakaian, aku tidak bisa tidur. Entah kenapa demikian, sejak kecil memang sudah terbiasa tidur telanjang dada. Bahkan membuka seluruh badan tanpa sehelai benang pun menempel. Karena aku tidur sendirian, semua itu tidak masalah.
Kecuali kalau tidur berdua dengan teman, mungkin dia akan aneh dan sangat terganggu. Memiliki badan yang putih, berkumis tipis, dan berwajah tampan menurut kata rekan-rekan di kantor. Ketampanan itu adalah luka, aku selalu mengatakannya begitu.
Karena sampai sekarang aku belum punya pacar. Kurang apa lagi, pekerjaan ada, kendaraan mewah, wajah tampan. Kemungkinan kutukan masa lalu ketika duduk di bangku SMA. Saat itu aku pernah bersumpah pada suatu ketika, kalau tidak akan mendekati wanita karena trauma berat.
Bagaimana tidak, cewek yang aku sayangi pun rela tidur dengan pria lain tepat di hadapanku. Kala itu mereka melakukannya di rumah, akan tetapi bukan di kamar tidur. Ruang tamu adalah tempat mereka melakukannya. Akibat dari hal tersebut persepsi diri ini sama, sampai saat ini.
Bahwa wanita hanyalah seorang pelacur, mengemis untuk bisa digagahi pada laki-laki. Melepas perawan segampang memberikan uang lima ribu rupiah. Entah apa maunya wanita, yang pasti selalu membuat gerah. Sampai saat ini aku seakan tidak nafsu jika ada cewek duduk di samping.
Untuk membunuh hal demikian, aku berlarut hari memendam rasa yang membelenggu jiwa. Cinta pertamaku telah musnah diambil oleh teman satu kelas, bahkan laki-laki bajingan itu duduk tepat di sampingku ketika belajar.
Kini mereka telah menikah muda dan punya anak satu, hasil dari perbuatan gelap ketika sekolah. Bahkan aku sempat pindah sekolah waktu itu, karena tidak tahan dengan melihat mereka selalu bersama akan tetapi si cewek masih ingin menjalin hubungan denganku.
Traumatis, tragis, dan akhirnya dramatis. Tiga hal yang tidak dapat terpisah dan terus membekas dalam ingatan. Perihal perbuatan mereka berhubungan badan sampai aku lihat dan tampak jelas, kalau kekasihku rela memberikan mahkotanya.
Sejak awal aku sudah sempat curiga kalau mereka dekat, karena sering pulang bersama dan mengedarai motor berdua. Tetapi dia bilangnya sahabat, karena rumah keduanya tidak begitu jauh. Namun, ternyata kedekatan itu malah menjadikan mereka untuk saling melakukan hubungan layaknya suami dan istri di siang hari.
Hingga sampai saat ini aku memutuskan untuk jomlo, tidak tahu ke depannya. Dengan tatapan penuh kegembiraan, kutatap cermin yang memberikan pantulan sosok diri. Benda berbentuk lingkaran itu memperlihatkan benda pusaka milikku yang ternyata tidak mati.
Benda pusaka tersebut lumayan besar, berwarna sedikit cokelat, dan sangat berurat. Namun, ketika aku menyentuhnya, teringat pulalah milik Arjuna yang ada di sebuah foto kamera. Seketika aku memundurkan badan seraya napas menjadi ketakutan.
"Astaga! Kenapa wajah Arjuna muncul di dalam lemari kaca itu, ya?" tanyaku dengan berkata sendiri.
Tepat di dalam cermin, sepintas foto Arjuna terpampamg jelas. Tanpa mengenakan sehelai benang untuk menutup badannya. Ketika aku memulai membuka potret kilas balik perihal penampakan kemarin, begitu jelas kalau milik lelaki bertato naga itu jauh lebih besar dengan milikku.
Runcing ke atas, dengan bentuk yang sangat atletis dan tidak bengkok ke kanan dan ke kiri. Entah kenapa Arjuna berfoto seperti itu, meskipun hanya sekadar koleksi pribadi saja. Aku kemudian tersenyum ketika hal demikian mulai merayap ke dalam ingatan, seumur hidup aku tidak pernah melihat benda laki-laki lain sekalipun teman sekolah.
Karena aku telah lama mendekam dalam kamar mandi, kemudian diri ini mencoba beringsut pergi dan ingin menapak menuju kamar. Mengambil jas hitam dan dasi berwarna serasi. Badan telah tertutup rapi layaknya dewa perang serba hitam sebuah film bioskop, pemeran utama pria dan sangat tampan.
Pagi ini membuat aku bahagia, entah karena apa. Kehampaan seakan mulai sedikit demi sedikit terisi satu titik berkat hadirnya Arjuna. Namun, aku tidak mungkin terus memikirkannya, karena dia adalah laki-laki yang sama dengan aku.
Perasaan konyol dan terlarang, tidak mungkin dijalani di negeriku. Namun, kalau berada di negara Jerman atau Thailand, biasa saja. Mereka telah meresmikan pernikahan seperti itu. Akan tetapi aku tidak mau, karena aku masih ingin hidup seperti biasanya dengan menikahi perempuan.
Parfume telah aku semprotkan di badan, sepatu telah terpasang di kaki, dan siap untuk keluar kamar dengan gaya rapi. Senyum simpul layaknya lekaki berkarisma, aku edarkan pada para asisten rumah tangga yang lalu lalang mengerjalan tugas rumah.
"Selamat pagi, Tuan ...," ucap mereka.
"Selamat pagi," jawabku.
Memiliki hampir dua puluh asisten rumah tangga membuat aku pusing, karena bingung menentukan nama-nama mereka. Rumahku sudah seperti ruang kelas ketika masa sekolah dasar, saking ramainya para pembantu berpakaian serba hitam dan putih.
Kedua kaki melangkah menuruni anak tangga lantai dua, bergerak menuju meja makan yang ada di bawah sana. Ayah dan ibu telah hadir lebih dulu, sebagai biasanya. Kemudian aku mendudukkan badan tepat di hadapan mereka.
"Eh, anak ayah udah bangun. Rapi sekali kamu, Nak?" kata si ayah, dia mengedarkan senyum semringah.
"Gimana, Yah. Ganteng, kan, anak mama," sambar ibu sekenanya.
"Mana anak Mama, dia adalah anak ayah. Enggak ada sejarahnya kalau anak itu milik Mamanya," kata si ayah.
"Kan, yang melahirkan dia adalah mama, bukan Ayah."
"Tetapi tetap saja kalau anak adalah atas nama ayah, bukan Mama."
Mendengar perdebatan konyol itu aku pun meringis geli, karena hal yang sepele dapat berbuntut panjang kalau sudah orangtuaku berdebat. Mereka saling keras kepala, tidak bisa mengalah dan mau menang sendiri.
Hal demikian sudah sering aku dapati, membuat telinga panas dan terkadang nafsu makan menghilang. Namun, apa pun yang mereka katakan, tetap kalau keduanya adalah surga bagiku. Sebisa mungkin aku tetap menghargai, dari keduanya hidup ini ada.
Ayah dan ibu terkadang lucu, akan tetapi ada kalanya memiliki sifat tempramen. Mulai dari kemarin, aku mendadak sayang sama ayah, entah kenapa pria berusia paruh baya itu tampak lebih perkasa dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya.
Dulu aku sempat tidak mau berbicara padanya, semenjak sifatnya berubah menjadi lembut dan perhatian, jantung pun berdetak ketika si ayah mulai meraba leherku bahkan pundakku. Meskipun sudah sebesar ini, ayah masih mau mencium pipiku.
Karena itu adalah ketulusan sebagai seorang ayah pada anaknya, aku bersikap biasa saja dan membiarkan kalau dia mencium pipiku berulang kali. Ketika itu mama pergi ke dalam dapur, tinggallah aku berdua dengan lelaki paruh baya di hadapan.
Kemudian ayah membangkitkan badan seraya mendekatiku, dia duduk di samping dan menatap serius menuju wajah ini.
"Anak ayah sudah besar, kamu harus rajin bekerja agar bisa meneruskan usaha ayah," katanya.
Tanpa menjawab, aku hanya mengangguk dua kali. Kemudian ayah mencium pipiku sebelah kanan, seketika jantung ini berdetak kencang. Ada perasaan berbeda yang tumbuh dalam dadaku. Bersama tatapan tajam, aku menoleh ke arah wajah sang ayah.
Bersambung ...