Menjelang sore dan magrib akan tiba, kami masih bersama-sama di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari kota Medan. Karena sedari tadi kami asyik mengobrol, hingga lupa waktu kalau sebentar lagi akan malam.
Arjuna yang sedari tadi berdiam diri seolah membuat aku memekik di atas bangku. Laki-laki super dingin, dan tidak berkata jika orang lain tidak berucap. Itu adalah sebutan yang pantas untuknya. Namun, karena menghargai dirinya di hadapan, aku hanya mengikuti ritme waktu.
"Mas, sebentar lagi magrib. Aku harus pulang, soalnya ... masih sibuk dengan pemotretan besok," kata Arjuna sembari menghabiskan kopinya.
"Ah, iya, aku juga akan pulang. Karena sebentar lagi malam, kamu jangan lupa datang besok untuk mengambil ponsel." Selepas berkata, aku membangkitkan badan.
Belum lama berucap, Arjuna pun pergi dari lokasi dengan berlari kencang. Laki-laki bertato naga itu membuat aku sangat aneh, karena tingkahnya sama seperti bocah yang sedang mendapat hukuman dari orangtua. Untuk membayar semua pesanan, aku menggunakan ATM milik pribadi.
Jika menggunakan ATM milik kantor, ayah akan curiga kalau uang bisa hilang tanpa jejak. Namun, sejauh ini aku belum berani melakukan hal itu. Tepat bersamaan dengan langkah kaki, netra pun sejurus pada bartender dan berjalan lumayan laju.
Setibanya di ambang pintu, pelayan berpakaian serba merah tadi tengah mendudukkan badan seraya menatapku tajam. Bukan hanya dia, beberapa orang lainnya juga menatap seperti ingin menerkam. Seketika aku merasa sangat canggung, kemudian dengan cepat aku memberikan ATM pada orang di hadapan.
"Mbak, saya bayar pakai ini," ucapku pada penjaga.
"Oke, Mas." Setelah menunggu beberapa menit, aku kembali mendapatkan ATM dengan sodoran lembut dari wanita itu.
Penjaga membuang tatapan sangat semringah, netranya sejurus padaku dan seperti ada yang salah. Secara saksama, kedua netra ini menatap dari ujung kaki hingga sejurus pada dada. Yang mencuri perhatian bukan sekadar senyumnya itu, tetapi lebih kepada tatapannya malah beralih menuju celana keperku.
Tepat di bagain bawah perut, dia tanpa henti membuang tatapan sekilas. Karena aku merasa sangat terganggu, dengan cepat kuambil ATM di atas nakas dan pergi dengan laju. Setibanya di ambang pintu, aku menapak menuju tempat duduk dan menoleh ke kanan.
Sebuah benda yang ternyata tertinggal di atas meja, merupakan card berwarna hitam. Ukuran card itu memang kecil, akan tetapi terlihat karena aku sengaja bergeming di lokasi semula.
'Eh, ini card kamera siapa? Jangan-jangan ... milik Arjuna lagi. Dasar itu anak, bisa buat aku merasa aneh hari ini.'
Selepas bersenandika dalam hati, aku pun mengambil card itu dan memasukkan ke dalam kantong saku jas berwarna hitam. Dengan langkah kaki yang lumayan laju, tibalah aku di parkiran mobil. Karena merasa telah lama di luar, membuat diri ini untuk pulang secepatnya.
Di tengah perjalanan, netra hanya sejurus dan fokus menatap depan. Namun, pikiran entah melayang ke mana akibat banyaknya beban dan masalah di kantor. Belum lagi kalau pulang harus bertemu dengan ayah dan ibu, mereka memiliki sifat tempramen dan sangat membuat aku overload jika berdebat.
Akhir-akhir ini ayah tanpak lebih lembut, tidak seperti hari biasanya. Namun, ibu merupakan wanita yang sangat membuat resah jika aku di rumah. Kehadirannya seolah bagai nenek lampir yang siap menerkam siapa pun. Bahkan ayah tidak berani berhadapan dengannya.
Wanita yang berusia paruh baya itu selalu meminta aku untuk menuruti apa maunya. Tanpa dia berpikir lebih dulu, kalau keadaan seperti apa dan bagaimana. Betahnya aku di rumah karena belum siap untuk tinggal di luar, karena aku merasa belum cukup berani untuk hidup sendirian.
Kehampaan hidup seolah mematri dan membelenggu, warna cerah telah hilang dalam hidup ini. Yang ada hanyalah kesuraman, gelap, dan gulita. Bagai udara di tengah senja, bersama sebuah hujan lebat bercampur petir. Begitulah filsafah kehidupanku saat ini.
Setibanya di tengah kota Medan, aku berhenti sejenak dan ingin membelikan ponsel untuk Arjuna. Sesuai janji, kalau aku harus mengganti dan bertanggung jawab. Dengan langkah yang lumayan laju, kaki ini pun sampai di sebuah toko penjual ponsel ternama.
Dengan memasuki toko tersebut, aku mengenakan kacamata dan bergeming di samping kaca. Banyak ponsel-ponsel baru dengan merek berkelas. Namun, aku tidak tahu dengan ponsel milik Arjuna tadi.
"Selamat malam, Mas, ada yang bisa saya bantu?" tanya penjual itu, berjenis kelamin laki-laki, tetapi tampak glowing seperti wanita.
"Ada ponsel yang ram lumayan tinggi? Sekitar delapan atau berapa, intinya tidak ponsel kentang," ujarku.
"Oh, ada, Mas. Apakah ponsel ini cocok untuk selera si Mas ganteng?" tanyanya, lalu dia menyodorkan ponsel masa kini.
"Hmmm ... bagus juga, harganya berapa?" tanyaku.
"Murah, Mas. Dapat cash back lagi," katanya.
"Oke, bungkus satu saja, Mas."
Penjual pun membuang tatapan sinis, entah apa maksudnya. Karena merasa tidak ada yang salah aku lakukan, netra pun sejurus pada lemari kaca yang menghadirkan ponsel berbagai merek berjajar rapi.
Kedua kaki terasa lumayan lelah, aku mendudukkan badan di atas kursi yang terletak di depan lemari kaca, tepat berhadapan dengan penjual ponsel itu. Seketika ponsel milikku berdering di dalam kantong, aku merogoh dan menatap siapa yang menelepon.
Ternyata panggilan dari ayah, seketika kuangkat dengan segera:
[Hallo, ada apa, Yah?]
[Nak, kamu berada di mana? Kok, sampai saat ini enggak kunjung pulang?]
[Iya, Yah, aku bentar lagi pulang. Soalnya ... ban mobil aku bocor tadi.]
[Hati-hati kamu di jalan, karena musim begal. Jangan larut malam kalau pulang. Dengar nasihat ayah, ya.]
[Oke, Yah.]
Ponsel pun mati dengan sendirinya, kemudian aku kembali menatap penjual yang sedang mendaftar E-Mail ponsel dan berbagai aplikasi telah dia instal di dalam ponsel itu. Setelah menunggu waktu sekitar tiga puluh menit, akhirnya ponsel pun kelar.
"Sudah selesai, Mas."
Mendengar ucapan itu aku merogoh uang yang menang ada cash di dalam kantong saku. Kemudian aku memberikan padanya seraya menatap ponsel tersebut secara saksama. Dari gayanya, ponsel itu keluaran tahun ini, kerena belum ada yang pakai di kantor.
"Mas, kenapa beli ponsel ini? Kan, punya si Mas mahal banget itu," kata penjual.
"Ini bukan untukku, tetapi untuk seseorang."
"Oh, buat pacarnya, ya?" tanyanya sangat kepo.
Karena tidak merasa punya pacar, aku pun mengambil bungkusan ponsel yang telah ada di dalam plastik berwarna putih.
'Pacar apaan, ini ponsel untuk Arjuna. Sejak kapan laki-laki pacaran sama laki-laki, dasar penjual sangat kepo,' omelku dalam hati.
Setibanya di dalam mobil, aku pun masuk dan menutup pintu sangat rapat. Kemudian, bersama si jago hitam kami beringsut pergi. Di samping kanan telah ada ponsel baru, aku tidak akan membawanya masuk ke dalam rumah karena akan mengundang pertanyaan dari si ibu.
Sehingga aku harus menyembunyikannya dan tidak ada satu orang pun yang boleh tahu. Apalagi kalau benda tersebut untuk Arjuna, laki-laki. Sudah pasti mereka akan pencak silat tujuh hari tujuh malam.
Bersambung ...