Chereads / New Luden / Chapter 4 - Satu Keberanian

Chapter 4 - Satu Keberanian

"Kanker?"

Dokter mendengkus pelan, sebentuk rasa sendu terlihat jelas pada wajahnya, seolah dialah si kanker itu dan merasa menyesal sudah menjangkiti Mama Anon.

"Bisa dibilang sel kanker yang menyerang ibumu sudah mencapai stadium akhir," Dokter menghidupkan sistem hologram dari kata kanannya, memperlihatkan hasil X-ray dari kanker yang ada di tubuh Winfrieua. "Kanker itu sudah menyebar ke hati, lambung dan juga otak. Kondisinya sudah sangat kritis."

Anon menatapi hologram yang ditampilkan dengan rasa tidak percaya, setelah bertahun-tahun hidup berdua, sang Mama tak pernah mengeluhkan sakit sekalipun, dia selalu tampil seperti batu karang yang akan tetap tegar dihantam ombak besar, tapi nyatanya kini wanita itu tak lebih dari seorang manusia sekarat.

"A–apa ada cara untuk menyembuhkannya?" Anon bertanya hingga terbata, dia menghapus air yang lagi-lagi lolos begitu saja dari pelupuk mata.

"Ada, tapi aku ragu soal satu hal."

"Apa itu?"

"Begini, karena kondisi ibumu yang amat memprihatinkan, hanya ada satu cara untuk menyembuhkannya, yaitu dengan menggunakan tabung penyembuh. Kau pasti tahu soal tabung ini, kan?"

Anon hanya mengangguk sebagai jawaban, hologram yang semula menunjukkan kondisi Winfrieua berganti menjadi sebuah bagan tabung penyembuh yang dimaksud.

"Tabung ini bekerja dengan cara memancarkan energi positif, ultraviolet ringan dan juga teknologi nano di sana, sehingga tabung ini dapat menyembuhkan luka bagian dalam ataupun luar. Namun, biaya untuk penggunaan tabung ini sangat mahal, begitu aku melihat riwayat kalian, maka aku bingung bagaimana mengatakannya padamu."

Mendengar penjelasan itu Anon pun ikut keheranan. "Berapa biaya yang harus aku keluarkan untuk penggunaan tabung penyembuh itu?"

Dokter tidak langsung membalas, tapi dia sebentar mengutak-atik handphone yang bertengger di daun telinganya kemudian menunjukkan bias hologram pada Anon.

Sederet angka tertera di bawah gambar tabung penyembuh yang sedari tadi dibahas, angka itu terbilang amat tinggi bagi siapapun, kecuali untuk keluarga bangsawan, yaitu sejumlah 2,3 triliun Lemura.

Mendadak kepala Anon terasa pusing menemukan digit angka yang begitu banyak, dokter sendiri segera mendudukan tubuh Anon di samping pintu kamar mayat, sementara dirinya segera mencari air mineral.

Isakan tertahan membuat tubuh belia Anon bergetar, jiwa pun terguncang oleh ketidakmampuan dan juga sekaratnya sang ibu. Anon hanya melamun, bisa dibilang dia kehilangan arah saat itu, dia tidak tahu harus melakukan apa sebagai langkah terbaik untuk menyembuhkan Winfrieua.

Mendadak dia teringat akan sesuatu, sebuah ingatan akan ajang The Ludens dan juga jumlah uang serta jaminan sebagai hadiah menang.

Hal itu tentu menggiurkan bagi Anon yang sedang dalam masalah, tapi masalah selanjutnya yang dia hadapi sekarang adalah handphone-nya yang raib ketika kebakaran rumah terjadi.

"Anon!"

Suara seseorang yang memanggil sedikit mengejutkan gadis itu. Begitu menoleh, Anon menemukan dua sosok manusia berjalan mendekatinya. Dia kenal akan salah satunya, tapi tidak dengan seorang lagi.

"Anon," nada dari perkataan Malia terdengar sedih, dia ikut terduduk di samping Anon, lalu menggenggam tangannya. "Aku mendengar rumah kalian meledak dan terbakar, jadi aku dan Ayah datang ke sini untuk menjenguk."

Sejenak Anon merasa senang mendapat kunjungan dari Malia, tapi begitu dia melihat sosok yang dimaksud ayah oleh sang kawan, dia kini merasa canggung.

"Bagaimana keadaanmu?" Malia bertanya dengan raut wajah khawatir, apalagi melihat perban yang ada di kepala kawannya itu.

"Aku baik-baik saja," perkataan Anon sedikit tertahan di situ, sebelum melanjutkan. "Tapi tidak dengan Mama."

"Apa yang terjadi?" Kali ini Ayah Malia yang bertanya, dia berlutut dan menatap Anon dengan raut wajah yang sama seperti anaknya.

"Ah, Mama selain terkena luka bakar serius, ternyata ditemukan sel kanker di tubuhnya yang sudah menjalar ke mana-mana."

"Astaga." Malia terkejut sampai menutup mulut dengan kedua tangan, bahkan tak lama matanya mulai berlinang sebab memahami kesedihan yang dirasakan oleh Anon.

"Apa penanganan dokter terkait penyakit yang diderita ibumu?" Ayah Malia bertanya dengan nada serius, kini tatapan matanya menajam.

Tapi Anon tidak langsung menjawab pertanyaan Ayah Malia, dia balas menatap pria seusia ibunya tersebut dengan tatapan serius juga.

"Sebelumnya aku ingin minta maaf kepada anda, Tuan Barde karena sudah merepotkan Anda selama ini." Balasan Anon itu justru membawa tanda tanya pada kedua orang di hadapannya, Anon mengusap kasar wajahnya yang basah dan mendengkus.

"Apa yang kau bicarakan?" Ayah Malia bersikap polos.

"Aku seorang programmer, Tuan Ealdwulf Barde. Dari sana aku menemuka fakta bahwa karena peran andalah aku bisa masuk ke sekolah, dan anda pula yang membantu membayar beberapa tagihan hutang ayahku, sehingga hal itu dapat mengurangi beban Mama."

Malia terhenyak, apalagi ayahnya. Malia menoleh ke arah Ealdwulf dengan tatapan penuh tanya, sementara pria tersebut mendengkus pelan.

"Yeah, aku hanya tidak tega melihat satu-satunya teman anakku kesusahan," akhirnya Ealdwulf terpaksa mengaku. "Tapi aku tidak ada maksud merendahkan kalian, ini murni atas keinginanku tanpa ada yang mengetahuinya."

"Aku sangat menghargai apa yang telah anda lakukan, Tuan Barde. Tetapi bantuan anda cukup sampai di sini saja."

Ealdwulf terkesiap saat gadis di depannya berkata demikian.

"Aku hendak mendaftarkan diri pada turnamen The Ludens, agar aku bisa membayar uang pengobatan Mama. Kata dokter dia harus dirawat melalui tabung penyembuh yang memilki biaya tak sedikit. Mungkin aku hanya butuh doa dari kalian agar aku bisa menang dalam turnamen ini."

"Anon, kamu serius?" Ucapan Malia terdengar lembut, tapi juga terasa ragu. Anon sendiri mengangguk yakin akan pilihan yang sudah dia ambil.

"Baiklah, aku tidak akan ikut campur dalam biaya pengobatan kalian berdua, kecuali jika keadaan sudah genting. Saat itu tiba uang yang kubayarkan akan menjadi hutang untukmu, bagaimana?"

"Setuju."

Anon dan Ealdwulf saling berjabat tangan sebagai persetujuan, sementara Malia yang melihat kegigihan sang kawan merasa bangga, tapi juga takut di saat yang bersamaan.

"Kapan kau akan pergi ke turnamen itu?" Malia bertanya lebih dulu setelah Anon bangkit dari tempatnya duduk.

"Besok," jawab Anon dengan memperlihatkan email yang dia isi dan terima sebelumnya. "Aku akan ke Markas Besar The Ludens sebagai peserta, tapi sebelum itu boleh kupinjam handphone-mu?"

"Ah, iya." Malia langsung merogoh benda berbentuk setengah lingkaran yang bertengger di daun telinganya, kemudian meyerahkan benda itu pada Anon.

Dalam satu gerakan cepat Anon menerima dan memasangkan handphone ke daun telinganya. Bias hologram masuk ke search engine dan Anon memasuki kata kunci lokasi Markas The Ludens berada. Dia hendak memperkirakan ongkos dan juga lama perjalanan dia ke sana, serta seberapa lama lagi waktu pendaftaran dibuka.

Tertera di laman web resmi The Ludens, waktu pendaftaran masih dibuka dalam waktu 58 jam, yang artinya Anon masih memiliki waktu dua setengah hari lagi untuk bisa mendaftarkan diri untuk ajang tersebut.

"Seperti aku harus berangkat sekarang." Sambil berkata begitu, Anon menyerahkan kembali handphone Malia dan bangkit dari duduknya. "Aku tidak mau terlambat agar bisa menjadi juara."