Di mana ini?
Di tempat yang gelap ini, kudengar suara ribut di ujung sana. Pada setitik cahaya kecil bagai nyala api lilin. Mendapati itu sepertinya aku sedang berada di lorong gelap, hanya butuh berjalan lurus untuk mencapai cahaya kecil itu. Hanya butuh beberapa langkah sampai aku bisa yakin suara macam apa yang kudengar di sini.
Langkahku sampai pada cahaya itu, ketika kaki menapak lantai kayu hal pertama yang kudapat adalah sebuah suasana akrab kala kecil dulu. Di tengah malam, ditemani udara dingin dan ketakutan kulihat kedua orang tuaku bertengkar hebat, saling membalas teriakan dan menunjuk tanpa takut.
Aku tidak begitu paham apa yang mereka bicarakan, juga tidak tahu mengapa mereka berteriak tentang tagihan dan kekurangan uang. Saat itu memang aku masih begitu muda, tak jauh beda dengan tunas yang baru muncul ke atas tanah, hanya tahu makan dan main. Saat kulihat hal tersebut, aku menjadi trauma.
Aku menangis keras, tapi masih kalah keras dari pertengkaran di depan. Tanpa bisa berbuat apa-apa aku duduk menelungkupkan wajah ke lutut. Di saat itu suasana berganti dan aku sudah bertambah berusia menuju belasan.
Beberapa anak seumuranku berkeliling di tempat aku terduduk, wajah mereka penuh seringai busuk, tawa mereka lebih terdengar seperti kekehan iblis daripada anak-anak pada masanya. Sementara tubuhku sudah kotor oleh minuman dan makanan kantin.
Aku ingat apa yang menimpaku kini merupakan kejadian beberapa waktu lalu, saat aku baru masuk sekolah elite jalur prestasi. Meski begitu mereka para elitis hanya membantah soal kemampuanku dan malah asik membully, tentu saja mereka senang menemukan anak miskin sepertiku, akan ada pelampiasan di hari buruk mereka yang sebenarnya tak seberapa, bahkan tak segan mengataiku anak budak.
Di hadapan mereka yang hanya berjiwa pengecut, sekuat tenaga kutahan agar air mata tidak jatuh, walau bisa kuakui sulit untuk tidak terpancing kebodohan mereka dan menjadi sama-sama bodoh sebab emosi. Gemuruh di hati tak bisa kubantah, tapi akal sehat terus menahan agar tak menambah masalah.
Begitu aku hendak berteriak, suaraku justru tertelan oleh teriakan lain di sekeliling. Atau bukan teriakan, melainkan sorak-sorai dengan namaku yang keluar dari tenggorokan mereka.
Berbagai warna memenuhi pandanganku selanjutnya, konfeti-konfeti berjatuhan dari langit seperti hujan, ikut menambah kesan kemenangan pertamaku pada saat ajang game MMORPG antar kelas. Tak kusangka saat itu trik sederhana yang kupikirkan secara mendadak justru dapat membawaku ke level tinggi, hingga aku diakui oleh banyak orang elite sekolah.
Aku ingat untuk tidak menyerah. Begitu segala hal di masa lalu datang dan menginjak impianku, aku bangkit. Tak peduli telah dijatuhkan, dihina, bahkan tak dipercaya, tapi aku berhasil membungkam mulut semua orang dengan prestasi tak terdugaku.
Perlahan, suara kicauan burung dan embusan angin masuk ke gendang telinga, ikut membawa kesadaranku kembali. Awal membuka mata, cahaya putih matahari siang sedikit menyilaukan.
Serangan rasa sakit kurasakan kemudian, bahkan emmbuatku nyaris tidak bisa bergerak. Jarak antara tebing dan tempatku jatuh memang terbilang jauh, jika saja aku tidak beruntung hari ini, bisa jadi aku sudah mati terkoyak bebatuan dan patah tulang sana-sini sebab bertabrakan dengan dahan pohon berkali-kali. Kutahan rasa itu sedikit lebih lama baru kemudian aku berusaha bangkit perlahan.
Kulihat sekeliling untuk memastikan di mana aku jatuh sebelumnya. Ternyata tepat di samping dinding markas The Ludens yang masih ditutupi plasma kamuflase, meski begitu aku masih bisa merasakan dinding markas tersebut dengan menyentuhnya. Bermodal itu pula kususur jalan menuju pintu masuk, atau jika benar menuju pintu.
Terasa selama aku berjalan, beberapa pasang mata hewan mengawasiku dengan sedikit gelagat aneh, seperti mematung dan mata berpendar kemerahan. Ada beberapa hewan yang hanya bersembunyi di balik bayangan, juga burung-burung yang terang-terangan bertengger di atas dahan.
Aku masih berjalan perlahan sekaligus ikut mengawasi mereka. Sebab pengalaman sebelumnya aku tentu tidak mau asal bertindak. Badan ini masih sakit rasanya, bahkan jika boleh, aku akan lebih memilih kembali rebahan dan melanjutkan perjalanan besok saja.
Di saat sakit seperti ini, kadang perang batin akan berisik di dalam diri. Antara memilih untuk beristirahat dan tidak memaksa diri, juga keras kepalaku akan tujuan yang hendak dicapai. Lagipula aku sudah sampai sini, kenapa tidak lanjut jalan, meski tubuh penuh rasa sakit? Sisi lainku selalu membantah.
Kira-kira setelah setengah jam aku berjalan, belum terlihat tanda-tanda akan adanya pintu masuk markas, yang ada justru hewan yang semula hanya memandangiku, berjalan mendekat sedikit demi sedikit. Tatapan mereka masih sama, yaitu memindai keseluruhan tubuhku dan memprosesnya, entah untuk apa.
Secara mengejutkan seekor puma melompat dari atas dan mendarat tepat di hadapanku. Ketajaman begitu terlihat dari sinar di giginya. Uap panas keluar dari hidung dan mulut.
Aku mundur beberapa langkah sebagai antisipasi menjaga jarak, walau terlihat sekali kalau puma di depanku adalah salah satu robot AI berbentuk hewan, tapi tetap saja berhadapan langsung dengan alat seperti ini akan membahayakan, apalagi jika dianggap musuh.
Geraman khas terdengar dari tenggorokan puma itu, mata jingganya menyalang tanda ketidaksukaan akan kehadiranku di sini. Dengan sedikit anggun dia berjalan mendekat dan sedikit mengendus, tepat saat itulah aku pun menyadari kalau hidupku tidak akan baik-baik saja.
Cepat-cepat pandangan kuedarkan, mencari semacam dahan kecil yang bisa digunakan sebagai senjata sementara. Namun, puma itu justru sudah melompat maju lebih dulu dengan mulut terbuka lebar, tanpa menunggu dan ragu memulai pertarungan tak seimbang ini.
Aku sendiri terpaku menyaksikan lompatan puma yang bagai slow motion, saking terkejutnya tubuh sampai membeku di tempat, Syaraf tubuh tak bisa kufungsikan karena syok yang kurasakan.
"Berhenti!"
Bersama datangnya teriakan itu, puma yang sudah melompat tinggi langsung me-non active-kan diri sendiri sampai akhirnya dia jatuh ke sampingku. Sosok seorang pria berambut pirang muncul dari balik pepohonan dengan langkah santai. Wajahnya seperti tidak asing bagiku, tapi aku sendiri lupa di mana pernah melihatnya. Dia tampak seperti orang penting.
"Siapa kau?" Setelah bertanya, mata perak di cekungan tengkoraknya menelisik dari kepala sampai kaki, ekspresinya berubah menjadi sedikit terkejut begitu melihat kondisi tubuhku yang kotor dan agak compang-camping. "Hei, apa yang terjadi dengan tubuhmu? Jangan bilang kau terjun dari atas tebing."
"Ya, aku memang terjun dari atas tebing." Aku menjawab jujur tentunya, lutut yang sudah tak tahan akhirnya ambruk juga, napas sedikit tersengal sebab rasa syok tadi. "Secara tidak sengaja."
"Aku tidak akan memberimu petuah soal itu. Hanya saja kau salah ambil jalan jika ingin mencari pintu masuk markas kami."