Chereads / New Luden / Chapter 5 - Tanpa Teknologi Pun Jadi

Chapter 5 - Tanpa Teknologi Pun Jadi

Setengah jam perjalanan Anon habiskan dari Ibu Kota negara Glaxirta menuju kaki bukit Eksalanti menggunakan bus levtor. Selama di dalam bus Anon terus berpikir akan rute selanjutnya yang harus dia cari, sebab tak ada yang tahu di mana tepatnya markas The Ludens berada.

Bus sudah mencapai halte terakhir dari perjalanan, yang artinya gadis itu harus berjalan kaki dari sana ke hutan di gunung seorang diri. Setelah membayar ongkos dan turun dari bus, saat itulah petualangan pertama Anon di luar zona nyamannya dimulai.

Dengan bermodal pinjaman handphone dari Malia, Anon coba melacak pancaran sinyal di sekitaran gunung dan mengikuti arah datangnya. Rencana itu sudah dia susun sebelum benar-benar berangkat ke Gunung Eksalanti dan mencari markas, tentu dia tahu jalan yang akan dia tempuh bukanlah jalan yang mudah.

Sialnya lagi jika hendak mendaki gunung Eksalanti tidak akan ada teknologi penunjang di sana, karena gunung itu dikhususkan hanya untuk The Ludens yang juga didukung oleh pemerintahan. Sehingga bisa dibilang gunung itu sengaja 'dikramatkan' dan tidak dipasangi teknologi penunjang pendakian. Namun, tentu tidak seratus persen gunung itu tidak berteknologi, hanya luarnya saja yang begitu.

Maka Anon hanya bisa mengandalkan kekuatan kakinya sendiri, yang selama ini jarang dia gunakan. Sebagai anak programmer tentu kerjaan Anon hanya duduk di depan layar komputer dan berkutat dengan kode biner, dan mendaki gunung kali ini menjadi pengalaman pertama baginya melakukan aktivitas fisik melebihi biasanya.

Selama perjalanan pendakian itu Anon berpedoman pada pancaran sinyal lemah, hanya ada satu sampai dua batang yang ada, tapi masih dapat tertangkap oleh device-nya. Sinyal itu sendiri mengarah ke kiri atas dari arah kedatangan dari kaki gunung, maka ke sanalah Anon berjalan.

Lama satu jam berjalan kemudian, dengan jalanan yang amat menanjak, Anon memutuskan beristirahat di antara semak dan pepohonan, berteduh dari sinar matahari yang semakin tinggi tiap waktunya. Suara burung pun tak seramai seperti pagi baru datang, dan udara segar sudah berganti.

Pada waktu seperti inilah Anon mulai merasa gelisah, sinyal yang sedari tadi membimbingnya tak berubah, terus mengarah ke kiri atas tanpa ada petunjuk sinyal akan menguat. Mungkin jika Anon tidak bersikap tenang, dia sudah menangis setelah tersesat di tengah hutan gunung tanpa teknologi penunjang tersebut.

Tak punya pilihan, Anon memilih untuk makan siang terlebih dahulu. Mengisi perut adalah cara terbaik di saat seperti sekarang, sambil tak henti menyuap makanan ke mulutnya, Anon memeriksa arah pancaran sinyal dan menganalisa kira-kira berapa lama lagi dia harus berjalan mencari jalan menuju markas. Dalam benak dia mulai khawatir pula sebab semakin dia berjalan hutan menebal juga menutup jalan matahari ke dalam hutan.

Sejenak terdiam seperti itu menyadarkan Anon akan satu hal, bahwa dia mengikuti jalan yang salah.

Selepas makan Anon memastikan titik lokasi dari tempatnya berdiri. Dia menganalisa ke arah mana angin berembus, seberapa banyak daun bergugur, juga seramai atau sesepi apa kicau burung dan dari mana kedatangan suaranya.

Handphone di tangan langsung menjadi perhatian selanjutnya. Dengan sedikit mengutak-atik sistemnya, terkemukan pula kalau dialah yang pertama kali dibajak, sehingga pancaran sinyal yang sedari tadi dia ikuti ternyata hanyalah sebuah pengalihan dari jalan menuju markas sebenarnya.

'Sial, mengapa aku baru menyadarinya sekarang?' Kesal tentu tidak dapat Anon sembunyikan. Bersamaan dengan itu dia memutuskan mematikan handphone dan merasakan alam dalam hutan Gunung Eksalanti.

Anon memang bukan seorang yang gemar belajar segala hal hingga membuatnya menjadi terlampau pintar, satu-satunya yang dia punya adalah logika dan naluri bertahan hidup. Di saat seperti ini, hal pertama yang terlintas dalam benaknya adalah mencari aliran sungai, begitu bacaan dari sebuah web pertahanan hidup pertama yang secara kebetulan dia baca waktu memasuki umur sepuluh tahun.

Dengan menajamkan indera pendengaran, Anon kembali memulai langkah ke bagian lain dari gunung, lurus ke bagian kanan dan tidak menanjak, tapi juga tidak menurun. Namun, ternyata perjalanan yang dia tempuh kali ini jauh lebih sulit, tentu saja hanya dengan mengandalkan ilmu seadanya dan feeling tumpul membuatnya kesusahan sendiri.

Entah berapa kali kakinya tersangkut akar pohon besar di hutan itu, diperparah dengan keadaan yang mulai menggelap akibat lebat dedaunan, menutupi cahaya matahari untuk sampai ke tanah. Udara lembap tajam menusuk hidung hingga membuat dadanya sesak. Dia tidak terbiasa dalam kondisi seperti ini, hal terbaik yang bisa dia lakukan adalah berjalan secepat mungkin dan mencari celah keluar dari hutan.

Kini kondisi Anon tidak sebaik di awal tadi, belum lagi dia tak terbiasa dengan aktivitas fisik dan bau-bauan organik. Sesekali gadis itu terhenti dengan kepala pening, tanpa bisa dihindari pula rasa mual menyertai dan menambah beban perjalanan.

'Apa begini rasanya sedang mengandung anak?' Entah mengapa justru pikiran yang seperti itu yang hadir dalam benak Anon, seketika itu pula mengingatkannya pada sosok Mama yang masih terbaring sakit. Ingatan akan perban putih di sekujur tubuh Mama membuatnya bergidik ngeri.

Berkat ingatan itu Anon bangkit dari keterpurukannya dan berjalan goyah ke depan, meski begitu tak lagi dia menghentikan kedua kakinya. Terus berjalan ke depan, menuju titik cahaya.

Angin berembus pelan dari arah Anon menuju, yang juga secara perlahan membelai pipi dan rambut gadis belia itu. Kaki melangkah terus lurus ke depan, hingga pandangan menemukan celah bercahaya di antar batang pepohonan, dari situ pula langit biru tertampak sedikit, juga awan-awan berarak.

Langkah Anon percepat demi bisa melihat kondisi di depannya, rasa tak sabar dan juga sedikit lelah membuatnya ingin cepat sampai ke markas The Ludens yang masih menjadi misteri baginya. Namun, begitu keluar dari area hutan dan berjalan terus ke tebing jurang, yang dia dapatkan jauh dari apa yang selama ini dia pikirkan.

Sebuah hamparan luas hutan hijau menghampar nyata di depan matanya. Dia yang selama ini bersuka cita dengan berbagai teknologi canggih penunjang kehidupan, tentu tidak pernah melihat hamparan hutan luas seperti itu, sekalinya pernah lihat pun hanya lewat video game petualangan.

Kaki Anon bergetar melihat pemandangan hutan luas di depannya, entah bagaimana pula sebuah rasa rindu menggebu kuat tatkala visual di depannya sempat menggoncang jiwa. Apa karena manusia sudah dasarnya berasa dari alam?

Beberapa saat Anon tak mampu mengalihkan pandangannya dari hamparan hutan itu, sampai kemudian saat awan sedikit menutup cahaya matahari, terjadi sebuah hal ganjal dari bayangannya akibat awan yang melintas itu.

Di beberapa sisi bayangan terjadi semacam jeda dan perubahan spektrum warna, seolah bayangan dari awan yang melintas baru saja diunduh oleh sistem holografik.

'Apa sebab itu markas The Ludens sulit ditemukan?' Anon menganalisa temuannya tersebut. 'Ada semacam pelindung kamuflase, walau masih satu tingkat di bawah pelindung perang, tapi tetap saja pelindung itu terbilang kamuflase perang.'

Demi bisa memastikan kamuflase di depannya, Anon berjalan sedikit lebih dekat ke bibir tebing, dengan mata awas menatapi proses mimikri dari pelindung kamuflase. Namun, tanpa diduga pijakan Anon justru runtuh hingga membuat gadis itu terjatuh.